23.6.24

Tugas Essay UAS: Psikologi Lingkungan - Oleh STEFANUS FEBRYAN NUGROHO

DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA

NAMA : STEFANUS FEBRYAN NUGROHO 

NIM : 22310410155

KELAS : SJ

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

Persepsi dan Perilaku Masyarakat terhadap Pengelolaan Sampah: Analisis Berdasarkan Skema Paul A. Bell


Meskipun telah banyak regulasi yang dibentuk, masalah pengelolaan sampah masih menjadi isu serius di banyak wilayah. Pada intinya, salah satu masalah utama adalah kurangnya tanggung jawab masyarakat terhadap sampah yang mereka hasilkan. Menganalisis masalah ini melalui skema persepsi dari Paul A. Bell dapat membantu kita memahami bagaimana persepsi masyarakat terhadap sampah dapat mempengaruhi perilaku mereka dalam pengelolaan sampah.

Skema Proses Persepsi (Bell, 1996)


Menurut Bell (1996), persepsi adalah hasil dari interaksi individu dengan objek fisik di sekitarnya. Persepsi akan suatu hal ini dapat masuk dalam batas optimal yang bisa ditoleransi oleh individu, sehingga akan menciptakan kondisi homeostatis atau kondisi serba seimbang. Namun persepsi yang berada di luar batas optimal akan menghasilkan stres. Tekanan yang dirasakan oleh individu ini akan menghasilkan proses koping oleh individu tersebut. Apabila koping berhasil, individu akan menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (adaptasi) atau bisa juga lingkungan akan menyesuaikan dengan kondisi individu (adjustment). Namun bila gagal, stres akan terus berlanjut.

Dengan menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell, esai ini akan menguraikan bagaimana persepsi masyarakat terhadap sampah mempengaruhi perilaku mereka yang kurang bertanggung jawab terhadap sampah.

Skema persepsi Paul A. Bell menyatakan bahwa interaksi pertama antara manusia dan lingkungannya adalah melalui kontak fisik. Dalam konteks sampah, ini bisa diartikan sebagai interaksi sehari-hari masyarakat dengan sampah yang mereka hasilkan. Namun, apabila sampah ini tidak langsung menimbulkan dampak negatif yang dirasakan oleh individu, maka sampah tersebut sering kali tidak dilihat sebagai masalah serius. Persepsi ini dapat diperkuat oleh kebiasaan dan norma yang sudah tertanam dalam kehidupan masyarakat, dimana keberadaan sampah diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Dalam keadaan di mana sampah tidak dipersepsikan sebagai sesuatu yang merugikan (dalam batas optimal), masyarakat cenderung mempertahankan kondisi yang saat itu terjadi (homeostatis). Mereka merasa tidak ada urgensi atau kebutuhan untuk mengubah perilaku mereka dalam menangani sampah. Masyarakat menganggap sampah yang tidak dikelola atau bahkan berantakan di sembarang tempat merupakan hal biasa dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menciptakan siklus di mana tidak ada perubahan yang signifikan dalam perilaku pengelolaan sampah, meskipun berbagai regulasi dan infrastruktur mungkin sudah ada dan tersedia.

Perubahan dalam perilaku masyarakat terhadap sampah membutuhkan perubahan dalam persepsi mereka. Edukasi dan kesadaran tentang dampak negatif sampah terhadap lingkungan dan kesehatan dapat membantu mendorong perubahan ini. Melalui pendidikan dan kampanye kesadaran, masyarakat dapat mulai mempersepsikan sampah sebagai sesuatu yang 'di luar batas optimal', yang membutuhkan tindakan aktif dari mereka.

Dalam keadaan di mana sampah dipersepsikan sebagai sesuatu yang merugikan (di luar batas optimal), masyarakat akan mengalami stres dan kemudian berusaha mencari strategi koping. Namun tidak bisa kita pungkiri koping yang dilakukan oleh individu bisa juga bersifat negatif dimana individu beradaptasi dan berdamai dengan keadaan permasalahan pengelolaan sampah yang buruk (adaptasi). Bila hal ini terjadi, dapat mengembalikan individu ke dalam konsep homeostatis terhadap sampah.

Ketika masyarakat mulai merasakan konsekuensi negatif dari perilaku pengelolaan sampah yang kurang baik, seperti penumpukan sampah atau masalah kesehatan, kesadaran ini harus diarahkan pada koping yang positif dimana individu berusaha membuat lingkungan sekitarnya menyesuaikan dirinya (adjustment) seperti mengurangi penggunaan barang sekali pakai, recycling, membuat kompos, terlibat dalam program pengelolaan sampah komunal, dll. Kesuksesan dari strategi koping adjustment ini sangat bergantung pada dukungan regulasi, kelembagaan, pendanaan, dan teknologi dari pemerintah mau lembaga terkait.

Di lain sisi, ketika koping mengalami kegagalan karena hasil yang ditunjukkan tidak sepadan, individu akan mengalami stres dan ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fisik mereka. Mereka mungkin menjadi muak terhadap masalah sampah atau mengembangkan rasa ketidakberdayaan yang membuat mereka menghindari atau mengabaikan upaya pengelolaan sampah, sehingga memperburuk kondisi lingkungan.


Referensi
Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (1996). Environmental Psychology (4th ed.). Fort Worth, TX: Harcourt Brace College Publishers.

0 komentar:

Posting Komentar