23.6.24

Tugas Essay UAS: Psikologi Lingkungan - Oleh KRISNA

DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA

NAMA :  KRISNA 

NIM : 22310410142

KELAS : SJ

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA


PERSEPSI RASA TANGGUNGJAWAB TERHADAP SAMPAH DAN ANOMALI SUKAR DIATUR 

Sampah merupakan suatu hal yang besar dan melebar Jiak dibicarakan pada persepsi masyarakat yang berujar. Sampah juga hasil dari kegiatan ataupun rutinitas masyakarat yang berlangsung dan bagian dari sisa-sisa yang tidak terpakai. Menjadi suatu kerangka masalah sosial dan lingkungan adalah problematika yang vital. Mengapa demikian? tentu ada suatu urgensi yang harus dihadapi. Bagaimana masyakat memiliki manajemen hidup yang  tidak sehat tersebut. Nah, dari situlah merebak dengan pesat. Arti dari pengelolahan yang tepat masih minim, akan tetapi dampak-dampak yang tidak bertanggungjawab secara jor-joran melimbangakan begitu saja.  Akan menjadi sebuah dentuman sosial dan lingkungan jika hal ini bergerak secara masif dan menggeliat tanpa transformasi yang tepat.

Peraturan pemerintah tentang pengelolahan sampah sudah ada dan merupakan patung hukum dan juga keadilan bagi sosial maupun lingkungan akan bijak dan arifnya pengelolahan sampah. Hal ini tertuang dalam UU RI No. 18 tahun 2008. Disana sudah sangat jelas tentang pengelolahan  sampah dan peraturan yang ada. Sampah itu bukan hanya masalah teritorial setempat akan tetapi pada dampak global juga menyumbang  terbesar dan salah satunya yaitu gas emisi dan juga iklim sangat berpengaruh. Paradigma yang terjadi pada pengelolahan sampah dari hulu ke hilir masih limbung, bisa saja karena sumber daya manusia yang masih belum memikirkan arah kedepannya dan jangka panjang dari sampah tersebut. Hal ini juga diperkuat dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal  28 H ayat (1)  memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapat lingkungan yang baik dan sehat. Fungsi utama diberikannya  tonggak payung hukum adalah adanya  kepastian hukum bahwa  pengelolahan sampah bijak dan berwawasan lingkungan, kemudian  komitmen dan ketegasan melarang mengimpor sampah kedalam kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berikutnya agar pemberdayaan terhadap ketertiban didalam penyelenggaraan dan bertanggung jawab terhadap pengelolahan sampah dan selanjutnya adalah adanya transparansi serta kejelasan dari instrumen sampah  yang tertuang dalam Undang-Undang  dan limbah yang diatur dalam Undang-Undang mengenai pengelolaan  lingkungan hidup.

Aspek kelembagaan adalah jalan menuju lancaranya sebuah sistem pembentukan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), kemudian TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu), sekolah, perusahaan, Dinas Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Polemik yang yang harus dihadapi oleh pembentukan tersebut tentu adanya kontra sosial. Dari masyarakat sekitar yang tidak tahan kondisi ataupun unsur kepentingan.  Nah, memadukan hal itu memang bukan hal mudah. Rangkaian aspek kelembagaan yang harusnya dibentuk sebagai penyepulai  dan payung bagi pengelolaan sampah ada disana. Berikutnya adalah pendanaan dan faktor ini sering luput dari berbagai sektor hulu hingga hilir adalah pendanaan apabila macet dan tidak lancaranya dukungan pendanaan maka akan terjadi rumpang. Sebab aspek pendanaan bisa mendukung sektor lainnya untuk memperlancar suatu proyek pengelolaan sampah secara albijak dan arif. Aspek sosial dan budaya juga mendominasi tentang persepsi masyarakat akan budaya kebersihan dan mitos-mitos yang muncul. Pada  puncaknya aspek teknologi yang sifatnya mempengaruhi pengelolaan sampah adalah teknologi yang berkaitan dengan  komposter,  mesin pencacah, incenerator dan lain sebagainya. Kalau dari sisi teknologi kurang mendukung tentu akan berpengaruh terhadap persepsi sosial dan pola masyarakat menerapkan budaya lingkungan sehat, bersih dan berbasis lingkungan berkelanjutan.

Problematika sampah telah mengucur hampir segala sisi kehidupan dan diilustrikan pada gambar diatas yaitu jalan yang bertebaran sampah, kemudian pengangkutan  sampah yang masih sederhana serta pengelolaan sampah yang masih jauh dari pemenuhan yang tepat dan standar hal ini menunjukkan betapa ironinya dan sebenarnya apa yang menjadikan sebuah konsep manusia yang bertanggungjawab bisa lepas tangan dan bahkan disegala sisi menimbulkan implikasi secara masif. Lagi dan lagi perilaku sosial yang menjadi hambatan sosial. Menurut Sarlito Wirawan (1995) mengemukakan bahwa  stimulus rangsangan dari  sel saraf-saraf reseptor atau penginderaan dan kemudian di transmisi kan ke saraf otak, dari hal itu manusia dapat mengenali dan menilai  untuk memberikan makna pada objek atau lingkungan fisik. Dari yang ditemukan oleh oleh ahli dalam teori tersebut senada dengan faktualitas yang ada. Hendak bagaimana pun pembentukan dari SDM (Sumber Daya Manusia) memanglah vital dalam membentuk tanggungjawab. Proses interaksi manusia terhadap lingkungan sejak individu berinteraksi melalui penginderaan hingga  timbulnya stimulus reaksi sebagaimana skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A.Bell. aspek sosial budaya merupakan faktor paling dominan bagaimana membentuk persepsi yang sehat dan tanggungjawab. Permasalahan sampah merupakan permasalahan tanggungjawab bersama artian setiap individu mampu bertanggungjawab.

Daftar Pustaka:

Duckworth, A.L. & Gross, J.J. (2020). Behavior change. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 161, 3949. 

Hendra, Y. (2016). The comparison between waste management system in Indonesia and South Korea: 5 aspects of waste management analysed. Aspirasi. (7)1, Juni, 77-91. 

Patimah, A.S., Shinta, A. & Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi. 20(1), Maret, 23-29. 

https://ejournal.up45.ac.id/index.php/psikologi/article/view/1807

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.

0 komentar:

Posting Komentar