23.6.24

Tugas Essay UAS: Psikologi Lingkungan - Oleh Mardianto Tiro

DOSEN PENGAMPU : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA

NAMA : MARDIANTO TIRO

NIM : 22310410139

KELAS : SJ

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA


Proses terjadinya perilaku tidak peduli pada masyarakat terhadap sampah yang diproduksinya sendiri, dengan menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell dkk

    Berdasarkan skema persepsi Paul A. Bell perilaku tidak peduli masyarakat terhadap sampah yang dihasilkannya sendiri adalah hasil dari proses yang kompleks. Proses ini dimulai dari interaksi antara masyarakat dan sampah yang mereka hasilkan setiap hari. Anggota masyarakat, dengan berbagai latar belakang pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan terkait pengelolaan sampah, membentuk persepsi mereka terhadap sampah tersebut.

    Ketika individu mempersepsikan sampah yang dihasilkannya, terdapat dua skenario utama. Pertama, jika jumlah sampah dipersepsikan masih dalam batas wajar atau normal, individu cenderung tidak melakukan apa-apa. Hal ini dikenal sebagai kondisi homeostasis, di mana mereka merasa tidak perlu mengambil tindakan karena sampah dianggap tidak mengganggu keseharian mereka. Ini adalah respons umum di banyak komunitas, di mana sampah yang tersebar belum cukup memicu reaksi atau tindakan pembersihan.

    Skenario kedua terjadi ketika jumlah sampah dipersepsikan sudah berlebihan atau mengganggu. Dalam kondisi ini, individu mulai mengalami stres karena merasa bahwa sampah tersebut mulai mempengaruhi kualitas hidup mereka. Ketika stres ini muncul, individu akan mencoba berbagai cara untuk mengatasi masalah ini, proses yang disebut coping.

    Ada beberapa cara coping yang biasanya dilakukan individu. Pertama, adaptasi, di mana individu menyesuaikan diri dengan kondisi sampah yang banyak. Misalnya, mereka mungkin mulai mengabaikan sampah atau mencari cara untuk membiasakan diri dengan keberadaannya. Cara kedua adalah adjustment, di mana individu berusaha mengurangi atau mengelola sampah. Ini bisa melibatkan tindakan seperti memilah sampah, mengurangi produksi sampah, atau bahkan mengkampanyekan pengelolaan sampah yang lebih baik di komunitas mereka.

    Jika upaya coping ini berhasil, individu akan merasa lega karena berhasil mengatasi masalah sampah. Mereka mungkin akan menjadi lebih peduli dan proaktif dalam mengelola sampah di masa mendatang, seperti berpartisipasi dalam program daur ulang atau mengajak orang lain untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Namun, jika upaya coping ini gagal, stres akan berlanjut dan individu akan merasa tidak berdaya menghadapi masalah sampah. Ketika upaya mereka untuk mengelola atau mengurangi sampah tidak membuahkan hasil yang signifikan, rasa putus asa dapat muncul, dan mereka mungkin menyerah dalam mencoba menyelesaikan masalah ini.

    Perilaku tidak peduli terhadap sampah terjadi ketika individu mempersepsikan sampah masih dalam batas wajar sehingga mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka mungkin merasa bahwa sampah yang ada belum cukup banyak untuk mempengaruhi mereka secara langsung, sehingga tidak ada dorongan untuk mengambil tindakan. Selain itu, jika upaya mengatasi masalah sampah gagal berulang kali, individu akan merasa tidak berdaya dan akhirnya menyerah. Pengalaman kegagalan ini dapat membuat mereka merasa bahwa upaya mereka tidak akan pernah cukup untuk membuat perbedaan, dan akhirnya memilih untuk tidak peduli lagi.


    Faktor-faktor seperti budaya, status sosial ekonomi, usia, dan lainnya juga mempengaruhi bagaimana individu mempersepsikan dan menyikapi masalah sampah. Dalam budaya di mana kebersihan lingkungan dianggap kurang penting, masyarakat mungkin lebih cenderung untuk mengabaikan sampah. Status sosial ekonomi juga berperan, di mana individu dengan sumber daya yang lebih terbatas mungkin tidak memiliki akses ke fasilitas pengelolaan sampah yang memadai atau edukasi yang cukup tentang pentingnya pengelolaan sampah.

    Perubahan persepsi dan perilaku memerlukan edukasi dan dukungan sistem yang memadai. Edukasi dapat meningkatkan kesadaran individu tentang dampak jangka panjang sampah terhadap lingkungan dan kesehatan mereka. Selain itu, dukungan sistem seperti penyediaan fasilitas pengelolaan sampah yang memadai, program daur ulang, dan kampanye kesadaran lingkungan dapat membantu mendorong perubahan perilaku. Dengan pendekatan yang komprehensif dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan masyarakat dapat menjadi lebih peduli dan aktif dalam mengelola sampah, sehingga masalah sampah dapat dikurangi secara signifikan.

Keadaan terkini (23 Juni 2024) di TPS dekat Stadion Mandala Krida


Daftar Pustaka:

Cahyaningrum, S. Y. (2013). Menjaga nusantara: Nelayan penyelamat terumbu karang. *Kompas*, 15 Maret, hal. 24.

Dewi, I. N., & Iwanuddin. (2005). Kajian sosial ekonomi budaya dan persepsi masyarakat sekitar Danau Tempe. Diakses pada 8 April 2013 

Fisher, J. D., Bell, P. A., & Baum, A. (1984). *Environmental psychology* (2nd ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston.

Kazdin, A. E. (2001). *Behavioral modification in applied settings* (6th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning.

Myers, D. G. (1994). *Exploring social psychology*. New York: McGraw-Hill, Inc.

Nurlia, A. (2006). Persepsi dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan ekosistem sub daerah aliran sungai (DAS) Cikundul

Sarwono, S. W. (1995). *Psikologi lingkungan*. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.

Shinta, A. (2012). Strategi mengatasi dosen yang menjemukan. *Kup45iana*.

Siregar, F. A. (2003). Pengaruh nilai dan jumlah anak pada keluarga terhadap norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Sridanti, L. P. (2012). Pemberdayaan desa adat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.



0 komentar:

Posting Komentar