23.6.24

ESSAY UAS-PSIKOLOGI LINGKUNGAN OLEH IBRAR LANEGA PRATAMA

 

Nama : Ibrar Lanega Pratama

Nim : 22310410138


Untuk membahas masalah pengelolaan sampah, ada 5 aspek yang harus diperhatikan. Lima aspek tersebut adalah (Hendra, 2016):


  1. Aspek peraturan adalah dengan hadirnya UU RI No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Jumlah peraturan tentang sampah sudah sangat banyak, termasuk peraturan dari Pemerintah Daerah. Ironinya, perilaku masyarakat masih tetap tidak bertanggung jawab (sulit diatur) terhadap sampahnya.

  2. Aspek kelembagaan yakni pengelola sampah hendaknya bukan perorangan namun sebuah lembaga. Lembaga itu antara lain TPA (Tempat Pembuangan Akhir), TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu), sekolah, perusahaan, Dinas Lingkungan Hidup, dsb.

  3. Aspek pendanaan artinya biaya mengelola sampah hendaknya diambil dari APBD, Dana Desa, dan dana-dana lainnya, bukan dana perseorangan.

  4. Aspek sosial budaya isinya antara lain perilaku masyarakat terhadap sampah, budaya masyarakat dalam hal kebersihan, mitos-mitos masyarakat tentang sampah, dan sebagainya.

  5. Aspek teknologi yakni mengenai peralatan yang memudahkan masyarakat dalam mengelola sampah. Peralatan itu misalnya komposter, mesin pencacah sampah, incenerator, dsb.


Dari lima aspek di atas, sosial budaya adalah aspek yang paling tidak mendapat perhatian. Ini karena aspek tersebut menyangkut perubahan perilaku masyarakat, dan perubahan perilaku merupakan suatu hal yang sangat sulit dilakukan (Duckworth & Gross, 2020). Perubahan perilaku itu yakni perilaku tidak bertanggungjawab menjadi bertanggungjawab terhadap sampah yang diproduksinya sendiri. Psikologi banyak membahas tentang perilaku, persepsi, ide-ide kreatif, dsb, sehingga psikologi berada pada aspek sosial budaya. Jelaskan tentang proses terjadinya perilaku tidak peduli pada masyarakat terhadap sampah yang diproduksinya sendiri, dengan menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995). Ingatlah, persepsi menjadi dasar terbentuknya suatu perilaku.



JAWABAN


Perilaku masyarakat terhadap sampah yang diproduksinya sendiri dapat dianalisis melalui skema persepsi yang diusulkan oleh Paul A. Bell dan kawan-kawan, yang menekankan bahwa persepsi menjadi dasar terbentuknya suatu perilaku. Persepsi adalah proses di mana individu mengorganisir dan menginterpretasikan stimulus dari lingkungan mereka untuk memberi makna pada dunia sekitarnya. Dalam konteks pengelolaan sampah, mari kita telusuri bagaimana persepsi ini terbentuk dan memengaruhi perilaku tidak peduli masyarakat terhadap sampah yang dihasilkan. Stimulus dalam konteks ini adalah keberadaan sampah di sekitar masyarakat. Sampah menjadi sesuatu yang mereka lihat, cium, atau rasakan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. Seringkali, stimulus ini dianggap sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari dan tidak menimbulkan reaksi signifikan karena sudah dianggap normal.

Tahap perhatian adalah di mana individu memutuskan apakah stimulus tersebut layak mendapat perhatian lebih atau tidak. Banyak anggota masyarakat tidak memberikan perhatian khusus pada sampah karena berbagai alasan. Misalnya, kesibukan sehari-hari membuat mereka kurang peka terhadap keberadaan sampah atau mereka merasa bahwa sampah bukan masalah besar yang perlu mereka atasi sendiri. Perhatian terhadap sampah mungkin juga dikaburkan oleh kenyataan bahwa pengelolaan sampah dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah atau pihak berwenang lainnya. Setelah perhatian diberikan, informasi tentang stimulus diorganisir dalam pikiran individu. Jika masyarakat memandang sampah sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari, maka informasi tersebut akan diatur sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan tindakan khusus. Pandangan ini mungkin diperkuat oleh pengalaman sebelumnya di mana sampah diabaikan tanpa konsekuensi langsung yang serius.

Pada tahap interpretasi, individu memberikan makna pada informasi yang telah diorganisir. Persepsi bahwa sampah adalah tanggung jawab pihak lain, seperti pemerintah atau petugas kebersihan, sangat memengaruhi interpretasi mereka. Keyakinan bahwa membuang sampah sembarangan adalah hal yang biasa dan diterima oleh lingkungan sosial mereka juga berperan besar. Jika lingkungan sekitar tidak menegakkan disiplin atau memberikan sanksi bagi mereka yang membuang sampah sembarangan, maka interpretasi ini semakin diperkuat. Informasi dan interpretasi yang dihasilkan disimpan dalam memori dan mempengaruhi tindakan di masa mendatang. Pengalaman masa lalu dan pembelajaran dari lingkungan sekitar memainkan peran penting dalam memperkuat atau mengubah persepsi. Misalnya, jika sejak kecil seseorang melihat orang tua atau tetangga membuang sampah sembarangan tanpa ada sanksi atau konsekuensi, maka perilaku tersebut dianggap normal dan akan diteruskan.

Berdasarkan persepsi yang terbentuk melalui proses di atas, individu akhirnya akan melakukan tindakan. Dalam hal ini, perilaku tidak peduli terhadap sampah adalah hasil dari proses persepsi yang menganggap sampah sebagai sesuatu yang tidak penting atau tidak mendesak untuk dikelola secara bertanggung jawab. Persepsi ini membentuk kebiasaan dan norma sosial yang sulit diubah tanpa intervensi yang tepat. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap sampah termasuk pengalaman masa lalu, nilai dan keyakinan, serta pengaruh sosial.

  1. Pengalaman masa lalu dalam menangani sampah sangat mempengaruhi bagaimana individu memandang masalah ini. Jika lingkungan tempat mereka tumbuh tidak memberikan contoh pengelolaan sampah yang baik, maka mereka cenderung mengulangi pola perilaku yang sama.

  2. Budaya dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat juga berperan penting. Misalnya, dalam beberapa budaya, kebersihan mungkin tidak dianggap sebagai prioritas utama, atau ada keyakinan bahwa tanggung jawab mengelola sampah sepenuhnya berada pada pemerintah.

  3. Norma dan kebiasaan sosial di lingkungan sekitar juga mempengaruhi perilaku individu. Jika norma sosial di lingkungan tertentu menganggap membuang sampah sembarangan adalah hal yang biasa dan tidak ada sanksi sosial untuk perilaku tersebut, maka perilaku ini akan terus berlanjut.

Mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah memerlukan upaya yang signifikan untuk mengubah persepsi mereka. Ini dapat dilakukan melalui pendidikan, kampanye kesadaran, dan penegakan hukum yang konsisten. Pendidikan tentang pentingnya pengelolaan sampah yang baik harus dimulai sejak usia dini dan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kampanye kesadaran perlu menekankan dampak negatif dari pengelolaan sampah yang buruk dan manfaat dari perilaku yang bertanggung jawab. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten juga penting untuk menunjukkan bahwa ada konsekuensi nyata bagi perilaku tidak bertanggung jawab terhadap sampah.

Daftar Pustaka:

Duckworth, A.L. & Gross, J.J. (2020). Behavior change. Organizational Behavior and Human Decision Processes. 161, 39–49.

Hendra, Y. (2016). The comparison between waste management system in Indonesia and South Korea: 5 aspects of waste management analysed. Aspirasi. (7)1, Juni, 77-91.

Maya, S., Haryono, S., & Kholisya, U. (2018). Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Sampah Menjadi Nilai Ekonomis dan Pembentukan Bank Sampah di Kelurahan Tanjung Barat. Proceeding of Community Development, 1(2017), 157. https://doi.org/10.30874/comdev.2017.21

Muryani, E., Widiarti, I. W., Savitri, N. D., Muryani, E., Widiarti, I. W., & Savitri, N. D. (2020). Pembentukan Komunitas Pengelola Sampah Terpadu Berbasis masyarakat. JPPM UMP, 4(1), 117–124.

Olivia, D., Firmansyah, A., Hardjasaputera, H., & Dian Mawarni, I. A. S. (2019). Pengelolaan Sampah Home Industry Berbasis Partisipatif Di Kelurahan Keranggan. Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat Dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR), 2, 666–678. https://doi.org/10.37695/pkmcsr.v2i0.475

Sandika., I. K. B., Ekayana., A. A. G., & Suryana., I. G. P. E. (2018). Edukasi Pengelolaan Sampah kepada Masyarakat di Desa Pecatu. Widyabhakti Jurnal Ilmiah Populer, I(1), 61–68.



0 komentar:

Posting Komentar