19.5.24

Tugas Meringkas Kelas online dan diskusi konsep dasar terapi kasus adiksi : Tahap perubahan perilaku oleh C.Dian Eka P

C. Dian Eka P

22310410182

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 YOGYAKARTA

Dosen pengampu : FX. WAHYU WIDIANTORO S.Psi., MA

Mata Kuliah : Kesehatan Mental 


Pembahasan Tentang Tahapan Perubahan Perilaku dalam Terapi Adiksi

Pada kesempatan ini, pembicara menyampaikan mengenai tahapan perubahan perilaku yang merupakan kunci terapi untuk adiksi zat dan adiksi perilaku. Ini merupakan kunci terapi untuk adiksi zat dan adiksi perilaku. Adiksi ada dua macam seperti yang kita ketahui bersama, yaitu adiksi zat dan juga adiksi perilaku. Yang pertama adalah adiksi zat. Banyak pasien yang mengalami adiksi zat, ya ini tentu tidak asing bagi kita. Ada yang adiksi tembakau, alkohol, ganja, golongan opioid ya untuk pain killer, biasanya heroin. Kalau adiksi perilaku itu merupakan kecanduan di mana terdapat perilaku-perilaku yang negatif yang menimbulkan dampak buruk. Contohnya adiksi pornografi, adiksi judi, adiksi makanan, dan adiksi internet.

Kedua macam adiksi ini memiliki banyak kesamaan. Kalau pada adiksi zat, ada tahapannya ya, dari coba-coba, kemudian penggunaan yang rekreasional, kemudian yang situasional, dan akhirnya mengalami adiksi. Itu juga pada adiksi perilaku juga memiliki tahap yang serupa. Kemudian juga memiliki dampak buruk yang sama, baik ada fisiknya dan emosionalnya. Yang menjadi ciri khas apabila kita menangani pasien dengan adiksi zat maupun adiksi perilaku, kita harus mengetahui sejauh mana tahap perubahan perilaku pada pasien tersebut atau pada klien tersebut. Ini berbeda pada pasien dengan gangguan mental yang lain seperti skizofrenia, depresi, cemas. Kita tidak perlu menilai tahap perubahan perilakunya. Ini penting untuk kita ketahui agar tata laksana yang kita berikan bisa lebih tepat.

Yang pertama adalah prakontemplasi. Ini dicirikan seseorang itu belum berpikir untuk berubah dan tidak tertarik pada bantuan orang lain. Karena belum ada kesadaran, sehingga cenderung defensif, ada resistensi, dan bertahan pada kebiasaannya yang kurang baik. Jadi, ketika kita wawancara, dia mungkin sering diam, tidak mau menanggapi, atau sering membantah, atau menyalahkan orang tuanya, menyalahkan orang lain. Itu ciri-ciri klien atau pasien pada tahap prakontemplasi. Jadi, tidak merasa ada masalah dari kebiasaannya tersebut. Pada pasien dengan prakontemplasi ini, maka klien butuh untuk ditingkatkan kesadarannya sebelum ia menyadari bahwa ia perlu berubah. Nanti akan saya jelaskan bagaimana cara meningkatkan kesadarannya. Tapi kalau misalkan kita sudah berusaha tetapi pasien masih pada tahap prakontemplasi, kita cukup memberikan informasi saja atau bisa memberikan liflet atau brosur untuk pasien baca sendiri terkait adiksinya.

Selanjutnya adalah kontemplasi. Berbeda dengan tahap prakontemplasi, pada tahap ini pasien mulai menyadari konsekuensi yang muncul dari kebiasaannya dan mulai menyediakan waktu untuk berpikir mengenai masalahnya. Namun, masih ada keragu-raguan atau ambivalensi. Pada tahap ini, mulai mempertimbangkan kemungkinan menghentikan kebiasaannya, menimbang untung dan rugi, tapi masih ragu apakah ini benar buruk pada dirinya, apakah ini menguntungkan atau tidak. Untuk mencapai tahap selanjutnya ini perlu waktu beberapa minggu. Bagaimana sikap kita apabila menghadapi pasien dengan tahap kontemplasi ini? Bantu klien untuk mengakhiri ambivalensinya dan memilih untuk berubah. Bantu klien dengan timbangan pro dan kontra.

Baik klien yang berada tahap prakontemplasi maupun kontemplasi, yang pertama yang sangat menentukan adalah sikap kita. Kalau sikap kita memberikan empati, kemudian kita tidak melakukan judgment, tidak menyalahkan, kemudian kita mau mendengarkan ceritanya dengan baik, memberikan respon, memberikan afirmasi, ini sedikit banyak akan mempengaruhi klien atau pasien. Sehingga yang awalnya prakontemplasi bisa menjadi kontemplasi, yang awalnya kontemplasi akhirnya menjadi lebih bagus lagi menjadi preparasi, aksi, dan selanjutnya. Untuk mengakhiri ambivalensinya ini, ya dari sikap kita yang saya jelaskan sebelumnya. Kita juga mungkin bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan. Misalkan kita minta membayangkan pasien kalau misalkan pasien terus melakukan perilaku misalkan judi online. Kita menanyakan, kalau Bapak terus berjudi, apa yang akan terjadi kira-kira 1 bulan lagi, 3 bulan lagi, 6 bulan lagi? Ini kita menanyakan kepada pasien agar pasien berpikir apa dampaknya yang akan dia hadapi. Sehingga setelah dia berpikir seperti itu, dia akan mempertimbangkan perilakunya sehingga dia lebih termotivasi untuk berubah.

Bisa juga untuk mempertimbangkan manfaat dan dampak buruknya dari adiksinya tersebut. Misalkan pasien adiksi sabu, kita menanyakan, "Konsumsi sabu ini apa sih manfaat yang kamu rasakan?" Setelah pasien selesai bercerita, kemudian kita menanyakan, "Apa dampak buruk yang kamu dapatkan dari kecanduan sabu ini?" Setelah pasien menceritakan, kita menjelaskan, "Kalau Anda bandingkan antara dampak positif dan dampak negatifnya dari menggunakan sabu ini, kira-kira lebih dominan yang mana?" Kalau pasien menyatakan lebih banyak dampak negatifnya, maka ini merupakan tahap positif. Tahapan perubahan perilakunya bisa lebih baik. Jangan lupa untuk membantu klien membangun rasa percaya diri untuk berubah. Rasa percaya diri ini bisa menjadi penyebab kenapa pasien menjadi prakontemplasi atau masih kontemplasi. Kita bisa menceritakan pasien lain yang lebih berat kondisinya tetapi karena motivasinya kuat akhirnya bisa sukses, bisa berubah. Ini bisa diceritakan untuk membangun rasa percaya diri atau adanya dukungan dari keluarga, ini juga bisa membangun rasa percaya diri dari klien.

Selanjutnya adalah tahap preparasi. Ini sudah ada komitmen untuk berubah. Motivasi dari pasien sudah terlihat. Mulai mengambil langkah kecil untuk berhenti, sudah mengumpulkan banyak informasi mengenai cara berubah dan mengumpulkan banyak strategi yang dapat membantu mereka untuk berubah. Ada yang setelah preparasi ini lanjut ke aksi, namun ada juga yang kembali ke tahap sebelumnya, prakontemplasi maupun kontemplasi, karena gagal mendapatkan informasi yang cukup, kemudian kurangnya dukungan dari keluarganya atau lingkungan sekitarnya. Apabila kita menghadapi pasien yang tahap preparasi ini, maka kita membantu klien mengidentifikasi strategi perubahan dan pilih yang sesuai dengan keadaannya. Kemudian bantu untuk membuat perencanaan untuk berubah dan mengevaluasi kemampuan untuk berubah. Jadi, ini bersama klien atau pasien kita menentukan tujuannya apa, targetnya apa, bagaimana strategi perubahannya, kemudian memilih yang mana, setelah melakukan pemilihan melakukan perencanaan, kemudian selanjutnya adalah evaluasi. Ini hal ini sama dengan yang tahap pada aksi, tetapi lebih intens.

Setelah preparasi adalah tahap aksi. Pada tahap ini pasien yakin bisa mengubah perilaku dan kebiasaannya. Aktif mengambil langkah untuk berubah dengan teknik yang bervariasi. Mulai mereview komitmen berubahnya dan mengembangkan cara untuk bertahan, menggunakan reward untuk mempertahankan motivasi, mencari dan mau menerima bantuan serta mencari dukungan. Ini tahap lebih baik pada preparasi, namun bedanya nanti ada tahap maintenance. Kalau tahap aksi ini masih ada naik turunnya meskipun dia sudah melakukan aksi untuk melakukan perubahan, tapi ini motivasi masih naik turun. Karena adanya hambatan berupa yang dia rasakan, kemudian adanya mungkin kurangnya dukungan dari lingkungan sekitar. Pada tahap aksi ini yang kita lakukan adalah hampir sama pada tahap preparasi tadi. Bantu klien untuk memilih strategi untuk berubah. Bantu klien menjalani strategi tersebut dan bagaimana mencegah relaps. Karena yang naik turun, terkadang ada ambivalensi, ini kita lakukan lagi seperti pada tahap yang kontemplasi tadi untuk memperkuat motivasinya. Jangan lupa untuk afirmasi untuk keberhasilan. Ketika klien berhasil melaksanakan strategi tadi, kemudian berhasil mengurangi atau berhenti dari perilaku adiksinya atau menggunakan zat, maka dilakukan afirmasi atau pujian atau penghargaan.

Kemudian tahap maintenance atau pemeliharaan. Pada tahap ini ini lebih kuat, lebih bagus daripada tahap sebelumnya. Mampu menghindari godaan untuk kembali ke kebiasaan lama, tahan dan mulai mengingatkan diri mengenai perubahan yang sudah mereka alami. Mulai membuat aturan dan menerima keterampilan baru dalam menghadapi kehidupan dan mencegah relaps. Mampu mengantisipasi situasi berisiko yang bisa membuat relaps. Pada tahap maintenance ini karena kondisinya lebih bagus tetapi harus diantisipasi untuk kemungkinan relaps atau kambuh. Pada tahap maintenance ini yang perlu kita lakukan adalah membantu klien untuk mengembangkan keterampilan baru untuk bersosialisasi dan aktivitas untuk memperkuat pemulihannya. Bantu dan dukung klien dalam mempertahankan koping yang baik dan untuk mengembangkan tujuan hidup. Intinya dari semua ini adalah untuk menjaga kondisinya ini dan untuk mencegah relaps. 

Tetapi kalau misalkan terjadi relaps, maka kembali ke tahap awal lagi. Pasien mulai pada tahap prakontemplasi ataupun kontemplasi, mengalami kemunduran, sehingga ada keengganan untuk memulai perubahan atau ada keraguan untuk kembali memulai perubahan. Yang kita lakukan dalam menghadapi pasien yang mengalami relaps, bantu untuk segera pulih, kemudian bantu untuk meningkatkan rasa percaya diri untuk bisa berubah. Mungkin kita memberikan reassurance, memberikan penjaminan, dulu masalah kamu lebih berat, dulu adiksi kamu lebih berat, kamu bisa bertahan selama beberapa bulan, saya yakin bahwa kamu akan bisa kembali pulih. Jadi, kita melakukan apa? Meningkatkan rasa percaya diri pada klien, kemudian membantu kembali untuk menjalani proses pemulihan, kemudian kenali dan antisipasi faktor internal dan eksternal penyebab relaps. Jadi secara garis besar kenapa pasien bisa kambuh, ada faktor internal maupun eksternal. Faktor internal itu dari dalam diri pasien, eksternal itu dari luar dirinya. Faktor internal itu dari kondisi emosional, psikologis. Mungkin ada perasaan cemas, takut, atau perasaan marah sehingga untuk lari dari perasaan itu dia kembali menggunakan zat atau melakukan perilaku buruknya. 

Faktor eksternal itu dari lingkungan. Mungkin dari tempat kerja, dari lingkungan keluarga yang membuat dia kembali pada perilaku buruknya atau menggunakan zat. Jadi, kita kenali dua faktor ini kemudian antisipasi. Apabila faktor dari lingkungan yang menyebabkan pasien relaps, kita atasi bersama dengan keluarga, kita berikan pengertian kepada keluarga, tempat kerja, dan sebagainya. Kita berikan konseling pada klien tersebut. Kalau dari faktor internal, kita bisa berikan untuk meningkatkan coping skill dari pasien. Misalkan, ketika pasien merasa marah, bagaimana cara mengontrol marah itu, bagaimana cara mengurangi rasa cemas itu. Coping skill ini bisa di ajarkan kepada klien tersebut.

Untuk kesimpulannya, tahap perubahan perilaku itu penting untuk kita kenali dan kita menilai sejauh mana perubahan dari pasien atau klien tersebut. Ini penting agar kita bisa melakukan tata laksana yang tepat pada klien tersebut. Pada prakontemplasi dan kontemplasi, bantu klien atau pasien mengakhiri ambivalensi atau keraguannya dan untuk meningkatkan motivasinya agar bisa berlanjut ke tahap selanjutnya. Pada tahap preparasi dan aksi, bantu untuk memilih strategi perubahan, kemudian untuk menjalankan strategi perubahan tersebut dan mencegah relaps. Kalau pada tahap maintenance, bantu untuk mempertahankan koping yang baik, membantu untuk meningkatkan keterampilan sosial, dan membantu untuk mempertahankan tahap tersebut agar pasien tidak mengalami relaps.



0 komentar:

Posting Komentar