Essai II. Disonansi Kognitif Pada Perokok
Dosen : Dr. Dra. Arundhati Shinta, MA
Oleh : Lodia Etding / 21310410013
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
I. Identifikasi subjek
Nama : KG
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 36
Alamat : Sleman, sinduadi, mlati.
II. Setting
Tempat : Hotel Borobudur Jombor
Waktu : 5 : 30 PM
Tgl pelaksanaan : 8/10/2023
III. Tujuan Wawancara
Agar bisa memahami disonansi kognitif, Orang dengan disonansi kognitif sulit untuk maju.
IV. Landasan Teori
Rokok yang mengandung zat adiktif dan kandungan berbahaya bagi kesehatan tentunya tidak mudah bagi perokok untuk mengurangi bahkan menghentikan kebiasaannya.Perokok bahkan telah memiliki sikap yang cenderung menggambarkan ego untuk mempertahankan pembenaran terhadap apa yang telah dilakukan pada tubuhnya Situasi ini dijelaskan oleh Mowen dan Minor (1998); Solomon (2009) sebagai sikap defensive ego suatu bentuk sikap yang bertujuan melindungi diri dari ancaman dari luar dan atau kecemasan.Beberapa perokok yang diwawancarai awal pada umumnnya menyatakan sikapnya dengan menyatakan bahwa merokok justru memberikan perasaan tenang, menambah semangat dalam menyelesaikan persoalan. Dalam pembahasan ini sikap diduga sebagai bentuk pengurangan disonansi kognitif.
Menurut Solomon (2009) teori disonansi kognitif menyatakan bahwa ketika seseorang berhadapan dengan situasi yang tidak konsisten (disonan) antara sikap atau perilakunya, maka akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi situasi “disonan’ melalui perubahan sikap atau perilakunya.Teori disonan menjelaskan mengapa evaluasi terhadap produk cenderung meningkat setelah membeli produk .Misalnya saya mengerti merokok tidak baik bagi kesehatan (elemen kognitif), tapi saya tetap merokok. (perilakunya disonan dengan elemen). Kemudian seseorang berusaha menemukan cara agar mengurangi disonansi, misalnya dengan cara merubah perilaku ‘mengurangi atau berhenti merokok’.Implikasi teori disonansi dalam perilaku konsumen bahwa seseorang aktif mencari penjelasan yang mendukung keputusan pembelian yang telah dilakukanya, sehingga pemasaran harus memberikan penguatan yang mendukung keputusannya.
V. Hasil Wawancara
Perokok KG ini merupakan Lulusan Hukum Universitas Surabaya mengaku bahwa dirinya adalah perokok aktif sejak kelas 4 SD saat itu Kg masih berumur 9 tahun namun sudah menjadi perokok, berawal dari 3 kategori yang dapat menyebabkan KG menjadi Perokok diusia kanak-kanak adalah 1). Terpengaruh lingkungan keluarga dimana ayahnya adalah seorang perokok yang membuat dia mengenal rokok. 2). Memiliki rasa ingin tahu, atau penasaran dengan rokok yang dilihat dari ayahnya. 3). Coba-coba/ iseng mencoba yang didorong oleh keinginan dirinya sendiri karena rasa ingin tahu dan penasaran.
Sampai saat ini KG menyadari merokok dapat menyebabkan kesehatan tubuhnya terganggu bahkan KG menyatakan bahwa kemungkinan paru-parunya sudah rusak, namun hal tersebut tidak dapat menghalangi KG untuk berhenti merokok. Dalam wawancara juga saya mendapatkan pernyataan bahwa hal yang membuat KG susah untuk melepaskan rokok karena menurut KG Rokok sudah menjadi ketergantungan bagi dirinya bahkan rokok sudah sangat terikat dengan dirinya, lalu juga menurut keterangannya itu membuat dirinya merasa aman, KG mengaku jika tidak merokok itu akan membuat dirinya mengalami Gangguan kecemasan.
KG juga pernah mencoba untuk berhenti merokok sehingga mengalami efek sampingnya yang membuat dirinya sulit dan mengalami sakau Nikotin seperti ngidam parah, kecemasan, tegang, frustasi, mengantuk atau insomania, peningkatan nafsu makan, kesemutan ditelapak kaki, berkeringat dan kesemutan di telapak kaki. Efek tersebut membuat dirinya tidak bisa bertahan akhirnya KG kembali untuk merokok lagi.
Jika Dikaitkan dengan Disonansi Kognitif Perokok Penyangkalan suatu elemen kognitif terhadap elemen perilaku terjadi kepada Perokok dalam wawancara ini, dimana penyangkalan ini akan mendorong terjadinya disonansi. Hal ini dapat dilihat dari Pernyataan KG yang mengetahui adanya efek samping yang dari merokok yang akan menganggu kesehatannya dan pendapat umum yang dinyatakan oleh masyarakat Indonesia yang kurang baik terhadap para perokok, misalnya di tempat kerja yang membuat para perokok menjadi lebih sulit, dimana tempat yang disediakan untuk merokok berada di tempat yang tidak nyaman, seperti tangga atau pantry, hal ini dikarenakan untuk menjaga kesehatan orang-orang yang tidak merokok dan tidak menyukai asap rokok. Terdapat tiga cara untuk mengurangi disonansi, yaitu mengubah elemen perilaku, mengubah lingkungan untuk memvalidasi perilakunya, dan menambah atau mengubah elemen kognitifinya.
VI. Kesimpulan
Hasil Wawancara menunjukkan bahwa perokok( KG) mengalami disonansi kognitif. Terdapat penyangkalan suatu elemen kognitif pada elemen perilaku, dimana penyangkalan ini akan mendorong terjadinya disonansi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan KG Ynag mengetahui adanya efek samping dari merokok yang akan menganggu kesehatannya terutama di masa yang akan datang, namun masih tetap melakukan tindakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, A. (2008). Regulasi Pengendalian Masalah Rokok di Indonesia. Kesmas: National Public Health Journal, 2(4), 161. https://doi.org/10.21109/kesmas.v2i4. 259
Harmon-Jones, E., & Mills, J. (2004). An introduction to cognitive dissonance theory and an overview of current perspectives on the theory. Cognitive Dissonance: Progress on a Pivotal Theory in Social Psychology., 3–21. https://doi.org/10.1037/10318-001
Kivirinta, S. (2014). Reducing Persisting Cognitive Dissonance and Drop-out
0 komentar:
Posting Komentar