4.10.22

MERINGKAS ARTIKEL KORAN & OPINI SAYA TENTANG PERILAKU MEMBUANG MAKANAN

 

AKAR KEBIASAAN MEMBUANG MAKANAN

Andi Purnawan (19310410002)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

2022

Topik

Ketidakmampuan merupakan salah satu aspek dari perilaku dan kebiasaan membuang makanan.

Sumber

Anugrah, D. (2022). Akar kebiasaan membuang makanan. Kompas. 04 Juni, hal. 6.

Ringkasan

§  Economist Intelligence Unit (EIU) melaporkan 2017 Indonesia berada di peringkat kedua pengahasil sampah makanan di dunia (300 kg per orang). Ironinya Indonesia tercatat menempati urutan ke-73 dari 116 negara dalam hal kelaparan. Menengok ke dampak itu semua, sisa makanan yang terbuang menghasilkan gas metana yang berdampak buruk bagi lingkungan.

§  Aspek ketidakmampuan mengelola makanan oleh individu atau kelompok turur berpartisipasi aktif dalam kebiasaan membuang makanan pada sebagian anggota masyarakat di Tanah Air. Seseorang dapat memiliki nafsu makan bahkan jika tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda lapar, dan sebaliknya. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri jika nafsu makan itu tidak diimbangi dengan kemampuan mengelola porsi makan yang diambil.

§  Leon Festinger di dalam bukunya, A Theory of Cognitive Dissonance, menyebutkan situasi ini adalah “disonansi kognitif”, yaitu konflik di dalam diri seseorang ketika perilakunya berbeda dengan wawasan dunia yang ia pegang. Disonansi kognitif juga menjelaskan keadaan batin, di mana orang memegang dua pandangan yang saling bertentangan satu sama lain, yang dapat diistilahkan dengan “spiritualitas yang terpecah”.

§  Spiritualitas yang terpecah memiliki akar pada ketidakmampuan mengendalikan hasrat di dalam diri. Psikolog Yunani Klasik meyakini jiwa manusia terdiri dari tiga aspek, yaitu: (1) epithumia atau hasrat dari perut ke bawah yang meliputi nafsu makan, minum dan seks; (2) thumos atau hasrat di dada yang meliputi keinginan untuk diakui dan harga diri; (3) logistikon atau rasio yaitu akal budi. Epithumia dan thumos adalah unsur alamiah yang ada dalam jiwa seseorang. Dua aspek jiwa tersebut digambarkan sebagai dua kuda yang menarik kereta perang, sementara logistikon adalah sais atau pengendali kereta tersebut, yang mengendalikan jalan dan arah jalan kedua kuda tersebut. Di hadapan hidangan makanan yang menggugah selera, “kuda” epithumia akan mendorong jiwa seseorang untuk mengambil makanan. Ini wajar dan itulah fungsinya. Namun, epithumia bisa saja bergerak tidak wajar dan menyeret jiwa sesorang mengambil makanan di luar batas kemampuan mulut dan perutnya. Di sinilah peran logistikon atau akal budi menjadi signifikan, sebab ia adalah bagian jiwa paling tinggi yang bertanggung jawab mengontrol gerak laju epithumia yang mulai menjadi “sedikit” liar.

Permasalahan

Filsuf Sokrates mengatakan bahwa “orang yang berbuat tidak baik karena tidak tahu mana yang baik”. Jika membuang-buang makanan adalah hal yang tidak baik, maka orang yang membuang-buang makanan hal itu adalah tidak baik. Sedangkan di Indonesia diajarkan untuk tidak membuang-buang makanan yang sudah ada di piring. Jadi tampaknya sebagian besar dari kita sudah tahu kalau praktik membuang-buang makanan adalah hal yang tidak baik. Lantas kenapa praktik membuang-buang makanan masih kerap terjadi? 

Opini saya

§  Kebiasaan membuang-buang makanan didasari bukan karena nafsu makan, namun cenderung dari perilaku seseorang yang hanya sekadar coba-coba semua menu makanan dan belum tentu bertanggung jawab dengan makanannya.

§  Sebelum seseorang memutuskan untuk mengambil makanan di piring hendaknya sudah dipikirkan apakah benar-benar mampu menghabiskan semua makanan yang diambil atau tidak. Jika tidak bagaimana tindakannya (?)

§  Hal-hal yang saya sudah lakukan agar tidak menyisakan makanan di piring adalah dengan mengambil sedikit porsi makanan dan mengambilnya lagi jika makanan sudah habis dan dirasa masih kurang. Lalu jika makanan yang saya pesan ternyata tidak habis, saya meminta pelayan restoran membungkus sisa makanan dan saya bawa pulang.




0 komentar:

Posting Komentar