AKAR KEBIASAAN MEMBUANG MAKANAN
Andi Purnawan (19310410002)
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
2022
Topik Ketidakmampuan merupakan salah satu
aspek dari perilaku dan kebiasaan membuang makanan. Sumber Anugrah, D. (2022). Akar kebiasaan
membuang makanan. Kompas. 04 Juni,
hal. 6. Ringkasan § Economist Intelligence Unit (EIU) melaporkan 2017 Indonesia
berada di peringkat kedua pengahasil sampah makanan di dunia (300 kg per
orang). Ironinya Indonesia tercatat menempati urutan ke-73 dari 116 negara
dalam hal kelaparan. Menengok ke dampak itu semua, sisa makanan yang terbuang
menghasilkan gas metana yang berdampak buruk bagi lingkungan. § Aspek ketidakmampuan mengelola makanan oleh individu atau
kelompok turur berpartisipasi aktif dalam kebiasaan membuang makanan pada
sebagian anggota masyarakat di Tanah Air. Seseorang dapat memiliki nafsu
makan bahkan jika tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda lapar, dan
sebaliknya. Hal ini menjadi permasalahan tersendiri jika nafsu makan itu
tidak diimbangi dengan kemampuan mengelola porsi makan yang diambil. § Leon Festinger di dalam bukunya, A Theory of Cognitive Dissonance, menyebutkan situasi ini adalah
“disonansi kognitif”, yaitu konflik di dalam diri seseorang ketika
perilakunya berbeda dengan wawasan dunia yang ia pegang. Disonansi kognitif
juga menjelaskan keadaan batin, di mana orang memegang dua pandangan yang
saling bertentangan satu sama lain, yang dapat diistilahkan dengan
“spiritualitas yang terpecah”. § Spiritualitas yang terpecah memiliki akar pada
ketidakmampuan mengendalikan hasrat di dalam diri. Psikolog Yunani Klasik
meyakini jiwa manusia terdiri dari tiga aspek, yaitu: (1) epithumia atau hasrat dari perut ke
bawah yang meliputi nafsu makan, minum dan seks; (2) thumos atau hasrat di dada yang meliputi keinginan untuk diakui
dan harga diri; (3) logistikon atau
rasio yaitu akal budi. Epithumia dan
thumos adalah unsur alamiah yang
ada dalam jiwa seseorang. Dua aspek jiwa tersebut digambarkan sebagai dua kuda
yang menarik kereta perang, sementara logistikon
adalah sais atau pengendali kereta tersebut, yang mengendalikan jalan dan
arah jalan kedua kuda tersebut. Di hadapan hidangan makanan yang menggugah
selera, “kuda” epithumia akan
mendorong jiwa seseorang untuk mengambil makanan. Ini wajar dan itulah
fungsinya. Namun, epithumia bisa
saja bergerak tidak wajar dan menyeret jiwa sesorang mengambil makanan di
luar batas kemampuan mulut dan perutnya. Di sinilah peran logistikon atau akal budi menjadi
signifikan, sebab ia adalah bagian jiwa paling tinggi yang bertanggung jawab
mengontrol gerak laju epithumia yang mulai menjadi “sedikit” liar. Permasalahan Filsuf Sokrates mengatakan bahwa
“orang yang berbuat tidak baik karena tidak tahu mana yang baik”. Jika
membuang-buang makanan adalah hal yang tidak baik, maka orang yang
membuang-buang makanan hal itu adalah tidak baik. Sedangkan di Indonesia
diajarkan untuk tidak membuang-buang makanan yang sudah ada di piring. Jadi
tampaknya sebagian besar dari kita sudah tahu kalau praktik membuang-buang
makanan adalah hal yang tidak baik. Lantas kenapa praktik membuang-buang
makanan masih kerap terjadi? Opini saya § Kebiasaan membuang-buang makanan didasari bukan karena
nafsu makan, namun cenderung dari perilaku seseorang yang hanya sekadar
coba-coba semua menu makanan dan belum tentu bertanggung jawab dengan
makanannya. § Sebelum seseorang memutuskan untuk mengambil makanan di
piring hendaknya sudah dipikirkan apakah benar-benar mampu menghabiskan semua
makanan yang diambil atau tidak. Jika tidak bagaimana tindakannya (?) § Hal-hal yang saya sudah lakukan agar tidak menyisakan
makanan di piring adalah dengan mengambil sedikit porsi makanan dan
mengambilnya lagi jika makanan sudah habis dan dirasa masih kurang. Lalu jika
makanan yang saya pesan ternyata tidak habis, saya meminta pelayan restoran
membungkus sisa makanan dan saya bawa pulang.
0 komentar:
Posting Komentar