12.7.22

SEUTAS BENANG MERAH TENTANG NILAI DIRI

 SEUTAS BENANG MERAH TENTANG NILAI DIRI


Tugas Prestasi Psikologi Sosial


Dosen Pengampu

Dr. Arundati Shinta, M.A


Oleh

Arnoldina Leki//21310410050


Fakultas Psikologi

Program Studi Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

2022


Usaha hingga mencapai hasil melewati begitu banyak uluran proses, dengan masalah yang seperti turut meletakkan diri sendiri, menjadi sebuah problematika kehidupan. Pandangan bahwa, hargai usaha sekecil apapun selama berproses, sedemikian rupa berhasil menyita atensi saya. Berarti proses bagaimana saya terlahir ke dunia, hingga sampai pada saat ini merupakan ajang meraih prestasi yang mungkin sebagian orang tidak ada, karena cenderung dilabeli dengan "Toh, semua orang juga terlahir." Akan tetapi, hargai proses sekecil apapun? Rumit, bukan? Berprestasi itu yang mendapat juara satu! Meraih piala! Menerima medali! Diakui dunia! Disoroti publik! Apa benar prestasi hanya tentang angka? Jika dalam ajang pencarian bakat keunggulan dan prestasi yang dicari. Maka kata gagal adalah yang paling banyak dijumpai sepanjang garis kehidupan saya. Sudut pandang konstruksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat sepakat bahwa ajang pencarian bakat sama dengan mengukir prestasi. Tidak peduli seberapa keras dalam berproses, jika bisa meraih juara maka sudah dianggap layak dan sepantasnya dengan segala pujian.


Namun, segala hal yang kurang sesuai dengan prosedur kehidupan dijadikan pelajaran kedepannya. Mengingat hargai usaha selama berproses meski sekecil apapun itu, membuat saya selalu mencatat hal-hal yang terjadi dalam hidup. Kilas balik peristiwa 2017 saat pendaftaran siswa baru, saya ingin sekali mendaftar di sekolah negeri. Dengan nilai raport secukup usaha, saya berhasil mendaftar dengan harus mengikuti seleksi masuk lagi. Dihadapkan pada dua pilihan lolos atau gagal? atas dasar keraguan saya dilanda kecemasan, bagaimana kalau gagal? Yang menambah titik kecemasan adalah uji seleksi masuk yang masih dirahasiakan oleh pihak sekolah. 


Sampai hari di mana uji seleksi masuk dilaksanakan. Hingga pembagian ruang dan duduk di atas bangku kayu ruangan uji seleksi, saya masih cemas dengan konflik pikiran yang terus mempertanyakan seperti apa bentuk ujian seleksinya? Hingga sampai pada uji seleksi berakhir saya ditetapkan sebagai pembaca terbaik dalam ruangan seleksi tersebut. Ternyata membaca dijadikan sebagai uji seleksi masuk tahun itu dengan alasan banyak sekolah menengah yang siswanya kerap kali tidak bisa membaca. Hal ini semakin menarik ulur kebelakang menyadari bahwa saya pernah mengikuti lomba membaca pada tahun 2012. Kegiatan ini diselenggarakan pada tingkat Gereja yakni lomba membaca Alkitab. Dengan persiapan seadanya dan dukungan dari orang tua, sejak awal mengikuti kegiatan hingga berakhir kecemasan terus mendominasi diri akibat banyaknya penonton yang hadir.


Hingga sampai pada pengumuman kejuaraan saya dinyatakan sebagai juara tiga dengan bingkisan hadiah berupa sebuah buku Tata Perayaan Ekaristi. Puji Tuhan! Sempat melewati perdebatan juri tentang juara satu dan dua ada satu juri yang tegas membela saya harus juara satu pada saat itu. Namun kalah suara dan alih argumen oleh dua juri lainnya sehingga berakhir juara tiga. Hal ini menjadi pedoman agar saya senantiasa menghargai sekecil apapun usaha dalam berproses dengan hasil yang diperoleh. Namun, adakalanya kehendak orang lain memang perlu didengar, bahkan juga tidak memaksakan diri dengan keras untuk menolak bahwa prestasi itu harus meraih piala. Bertahan dalam proses saja sudah menjadi sebuah prestasi apresiasi diri.


0 komentar:

Posting Komentar