Gen Z dan Milenials lebih pilih nganggur, daripada tidak happy di kerjaan.
Tugas Essay : Psikologi Industri dan Organisasi
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta. MA
Siti Khasanah (21310410089)
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Akhir-Akhir ini kata – kata Gen Z dan Milenials, lebih memilih nganggur daripada kerja. Di kantor/perusahan yang toxic atau bad environment (tidak bikin happy) ini sering ada di mana-mana , di media hingga percakapan sehari-hari. Bahkan salah satu dosen saya dikelas sering menyinggung soal Generasi Z dan Y ini.
Siapakah Gen Z?
Gen Z penerus generasi milenial. Gen Z adalah orang-orag yang lahir pada 1995-2010, dan jumlah Gen Z sampai saat ini sudah mencapai angka 68 juta jiwa atau 2 kali lipat dari Gen X (kelahiran 1965-1976), sedangkan diseluruh dunia Gen Z sudah mencapai 2,5 Miliyar jiwa.
Generasi milenial hadir pada masa peralihan dari analog ke digital, Gen Z ini berbeda sama generasi milenial mereka lahir ditengah perkembangan diteknologi yang sudah maju dan tumbuh dengan menikmati teknologi tersebut, kemudian para ahli menyebutkan Gen z ini sebagai generasi NET.
Gen Z di dunia Kerja
Sebuah riset dilakukan Randstad UK mengungkapkan bahwa Gen Z dan para milenial lebih memilih pengangguran daripada tidak bahagia di tempat kerja. Sample diambil dari 35.000 karyawan Gen Z berusia 18 hingga 24 tahun, menunjukkan bahwa sedikit lebih setengah dari mereka (56%) lebih memilih berhenti dari pekerjaan daripada bekerja untuk perusahaan yang menghentikan mereka dari menikmati hidup mereka, sementara milenial ditunjukkan lebih menghargai gaya hidup dan kebahagiaan, daripada nilai-nilai perusahaan.
Katanya Gen Z itu generasi tech savvy, kreatif, terpelajar, suka tantangan, pokonya lekat dengan label-label fantastis , jauhdari kata susah.
Dimedia sosial, kita diperlihatkan Gen Z yang asik berbelanja, healing sesukanya, nongkrong di cafe instagramable.
Presiden Jokowi bahkan mengangkat staf khusus ‘milenial’ dan Gen Z yang sukses, Putri Tnajung. Indra Kenz menjadi panutan meraup harta lewat trading yang berakhir teragis itu, Lesti Kejora menampilkan kegelamoran, Jerom Polin belajar di Jepang, Livy Renata Flexing cerita privilesnya.
Data BPS 2021;
- 21 dari 100 Gen Z usia 16-18 tahun tidak sekolah
- 3,8 juta Gen Z adalah pengangguran
- Gen Z usia 15-19 tahun rata-rata mendapatkan upah Rp1,5 juta/bulan
- Gen Z usia 20-24 rata-rata mendapat upah Rp2,1 juta/bulan
Hasil riset SMERU Institute:
Anak dari keluarga miskin cenderung tetap miskin ketika dewasa. Pemerintah kita membiarkan Gen Z bertahan hidup sendiri, tanpa jaring pengaman sosial dan kesempatan pekerjaan yang layak.
“ Kesuksesan bergantung pada kerja keras seseorang. Persepsi ini jadi pembenaran bahwa kemiskinan adalah salah mereka sendiri”
Kalau menurut saya anak muda sekarang lebih aware sama eksploitasi. Bukannya kurang daya juang, tapi seringkali memang banyaknya kerjaan tidak sebanding dengan gaji yang di dapat . Ibaratnya berjuangnya sudah sampe darah titik penghabisan, cuma dikasih seblak, hehe.
Jangankan mau nabung, mau beli rumah, buat diri sendiri saja sulit. Dan ada sebagian harus biayain orang tua juga. Wajar saja pada akhirnya Gen Z ini pada memprioritaskan, mental health mereka.
Tidak setuju kalau ada yang bilang Gen z manja. Mereka masuk/hadir dikeadaan yang sulit; pandemi, inflasi yang tidak jelas, krisis iklim, political instability, kapitalisme makin-makin. Kalau lahir dari keluarga low incom atau working class biasa. Tidak ada bantuan dari orang tua, dari siapa? Sulit memang. Jadi biarkan saja mereka memprioritaskan mental health mereka. Mereka juga sedang berusaha survive supaya teapt bisa stabil dan sehat.
Referensi:
0 komentar:
Posting Komentar