14.5.22

Fenomena Klitih Ditinjau dari Perspektif Teori Perkembagan Psikososial


Aulia Khoiru Ummatin
21310410086
Mahasiswa Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
 

Belakangan ini terdengar sedang marak-maraknya kasus klitih di wilayah Yogyakarta. Hal ini tentu saja sangat meresahkan warga sekitar karena memakan banyak korban. Sosiolog Universitas Gadjah Mada menyatakan, bahwa dulu klitih hanya bermakna menigisi waktu luang. Tidak ada konotasi negatif pada makna asli klitih itu sendiri. Namun, sekarang kata klitih dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriinalitas. Usut punya usut, alasan dibalik fenomena klitih ini mempunyai pembahasan yang erat dengan teori perkembangan Erikson, yaitu teori perkembangan psikososial.

Psikososial adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kondisi sosial seseorang dengan kesehatan mentalnya atau dengan kondisi emosionalnya. Menurut perspektif teori perkembangan erikson, perkembangan kepribadian seseorang berasal dari pengalaman sosial sepanjang hidupnya. Perkembangan ini sangat besar memengaruhi kualitas ego seseorang secara sadar. Identitas ego ini akan terus berubah dari pengalaman baru dan informasi yang diperoleh dari interaksi sehari-hari dengan orang lain. Selain identitas ego, persaingan akan memotivasi perkembangan perilaku dan tindakan.

Erikson membagi tahap perkembangan ke dalam delapan tahap, yaitu pertama tahap kepercayaan vs kecurigaan, kedua tahap otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu, ketiga tahap inisiatif vs kesalahan, keempat tahap ketekunan vs inferioritas, kelima tahap identitas vs kekacauan identitas, keenam tahap keintiman vs isolasi. Ketujuh tahap generativitas vs stagnasi, dan kedelapan tahap integritas vs keputusasaan.

Merujuk pada perspektif tahap perkembangan psikososial, ada beberapa faktor yang menyebabkan para remaja menlakukan tindakan klitih. Faktor yang pertama adalah latar belakang keluarga. Pada tahap kepercayaan vs kecurigaan yang dialami bayi usia 0-1 tahun, kebutuhan cenderung harus terpenuhi dari keluarganya sendiri. Kebutuhan akan kasih sayang, perawatan dan belajar keterampilan. Jika pada masa ini kebutuhan bayi tidak terpenuhi, masalah dan krisis yang akan timbul adalah bayi akan kekurangan kasih sayang, kehilangan ayah dan ibu, penolakan orang tua dan merasa terlantar yang menjadikan bayi ini ketika remaja tidak punya rasa percaya diri terhadap dirinya sendiri dan mencari-cari kepercayaan di luar keluarganya.

Faktor yang kedua adalah faktor lingkungan. Pada tahap inisiatif vs kesalahan dan tahap ketekunan vs inferioritas, kebutuhan yang harus terpenuhi adalah belajar, sosialisasi, bermain, stimulasi sosial dan intelektual, serta mulai mengenal hidup dalam masyarakat. Jika pada masa ini kebutuhan anak tidak terpenuhi maka krisis yang akan timbul adalah sosialisasi yang kurang memadai, kurang bimbingan, penyimpangan tingkah laku, kegagalan-kegagalan dalam belajar dan keterlibatan dalam kelompok lingkungan yang menyimpang. Ketidakterpenuhinya tahap ini menyebabkan ketika anak-anak berada di lingkungan yang kurang baik, mereka akan cenderung melakukan perilaku yang menyimpang di lingkungannya demi diakui oleh lingkungan di luar keluarganya.

Faktor yang ketiga adalah faktor internal dari diri mereka masing-masing, seperti krisis identitas dan kontrol diri yang lemah. Pada tahap identitas vs kekacauan identitas, kebutuhan yang harus terpenuhi adalah pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda. Apabila pada tahap ini tidak terpenuhi, maka krisis yang akan timbul adalah krisis identitas, pengasingan, kecanduan narkotika, kenakalan remaja dan tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah. Kurangnya pengakuan identitas diri dari lingkungan menyebabkan remaja melakukan hal-hal yang membuat dirinya diakui oleh kelompoknya, dengan cara klitih salah satunya. Menurut mereka dengan cara seseorang dapat melakukan aksi klitih dapat membuat mereka terlihat sebagai seseorang yang kuat dan dapat diakui oleh kelompoknya. Klitih juga menjadi salah satu syarat untuk masuk ke dalam kelompok atau geng agar terlihat kuat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa mayoritas pelaku aksi klitih adalah orang-orang yang pada tahap demi tahap perkembangan psikososial yang dikembangkan oleh Erikson tidak terpenuhi akan kebutuhan mereka yang seharusnya terpenuhi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ansori, A. N. 2022. Apa Itu Klitih di Yogyakarta? Berikut Asal-Usulnya. URL : https://travel.kompas.com/read/2022/04/06/051627827/apa-itu-klitih-di-yogyakarta-berikut-asal-usulnya?page=all . Diakses tanggal: 26 April 2022.

Arieza, U. 2022. Marak Kasus Klitih di Yogyakarta, Ini Motif Pelaku Menurut Kriminolog. URL : https://www.liputan6.com/health/read/4850989/marak-kasus-klitih-di-yogyakarta-ini-motif-pelaku-menurut-kriminolog . Diakses tanggal 26 April 2022.

Fuadi, A. Muti’ah, T. Hartosujono. 2019. Faktor-Faktor Determinasi Perilaku Klitih. Jurnal Spirits. 9 (2). 88-98.

Hurlock, E. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

0 komentar:

Posting Komentar