27.4.22

Perbedaan Tingkat Perilaku Agresif Antara Laki - Laki dan Perempuan

 

Psikologi Sosial
Semester Genap T.A 2021/2022
Untuk Memenuhi Tugas
Tentang "Mana Yang Lebih Agresif Antara Laki - Laki atau Perempuan"

Oleh:
Ahmat Ramadanil (21310410077)
Kelas A (Reguler)

Dosen Pengampu:
Dr. Arundati Shinta, M.A.
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Tingkat Agresif Berdasarkan Jenis Kelamin

Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku agresif yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Ini menunjukkan bahwa tingkat perilaku agresif siswa laki-laki dan perempuan di SMK Muhammadiyah di Kota Yogyakarta cenderung sama saja. Siswa laki-laki cenderung melakukan agresif dalam bentuk agresif fisik dan verbal, sedangkan siswa perempuan cenderung melakukan perilaku agresif dalam bentuk kemarahan dan kebencian. Tentunya ini menjadi permasalahan yang kompleks yang perlu menjadi perhatian banyak pihak, terutama di dunia pendidikan. Hasil penelitian ini diukur dengan menggunakan skala perilaku agresif (W. N. E. Saputra & Handaka, 2017a). Skala perilaku agresif yang dikembangkan tersebut terdiri dari 38 butir yang valid dengan koefisien reliabilitas 0,826 yang termasuk dalam kategori reliabilitas tinggi. Berdasarkan hasil analisis, dapat dinyatakan bahwa skala perilaku agresi layak digunakan untuk mengukur tingkat perilaku agresif siswa. Skala perilaku agresif yang digunakan untuk melakukan identifikasi tingkat perilaku agresif berdasarkan jenis kelamin siswa dikembangkan menggunakan konsep bahwa perilaku agresif sebagai perilaku atau kecenderungan perilaku yang niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis (Buss & Perry, 1992).

Agresivitas dapat dikalasifikasi menjadi empat aspek (Buss & Perry, 1992). Pertama, agresif fisik yaitu agresif yang dilakukan untuk melukai orang lain secara fisik. Contoh agresif fisik adalah memukul, menendang, dan melukai. Kedua, agresif verbal yaitu tindakan agresif yang bertujuan untuk menyakiti, mengganggu, atau membahayakan orang lain dalam bentuk penolakan dan ancaman melalui respon vokal dalam bentuk verbal. Contoh agresif verbal antara lain membentak, mengumpat, dan mengejek. Ketiga, kemarahan merupakan emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya sendiri. Beberapa bentuk kemarahan adalah perasaan marah, kesal, dan sebal. Termasuk di dalamnya adalah irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah. Keempat, hostility merupakan tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan, antagonisme, ataupun kemarahan kepada pihak lain. Hostility adalah suatu bentuk agresif yang tergolong agresi covert (tidak terlihat).

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi perbedaan tingkat perilaku agresif siswa laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan temuan penelitian ini, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tingkat perilaku agresif siswa laki-laki berbeda signifikan dengan siswa perempuan (Aulya, Ilyas & Ifdil, 2016). Perilaku agresif siswa laki-laki pada umumnya berada pada ketegori sedang (38%) dan perilaku agresif siswa perempuan pada umumnya berada pada kategori rendah (36%). Perbedaan hasil penelitian ini menjadi menarik untuk dianalisis. Salah satu faktor yang menjadi penyebab budaya. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta, sedangkan penelitian Aulya, Ilyas & Ifdil (2016) dilakukan di Sumatra Barat yang secara budaya tentunya berbeda. Sama halnya dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa laki-laki kemungkinan besar akan terlibat dalam agresif relasional teman sebaya baik proaktif maupun reaktif. Sedangkan perempuan cenderung melakukan agresif relasional romantis (Murray-Close, Ostrov, Nelson, Crick, & Coccaro, 2010). Penelitian tersebut memiliki kesamaan dengan temuan penelitian ini yang menyatakan bahwa baik siswa laki-laki dan perempuan memiliki kecenderungan yang relatif sama dalam melakukan perilaku agresif. Bedanya, jika remaja laki-laki perilaku agresif lebih cenderung proaktif dan reaktif terhadap situasi tertentu dengan teman sebayanya, sedangkan remaja perempuan lebih kepada perilaku agresif yang kaitannya dengan relational romantis. Pergeseran dan perkembangan teknologi menjadi faktor yang turut menyumbang persamaan perbedaan perilaku agresif antara laki-laki dan perempuan. Konten dan teknologi dalam video game yang mengarah pada perilaku agresi dapat dinikmati dan dimainkan oleh semua kalangan, baik siswa laki-laki dan perempuan dapat berpengaruh pada munculnya perilaku agresif sesuai dengan konten video game yang digunakan (Barlett, Rodeheffer, Baldassaro, Hinkin, & Harris, 2008; Ivory & Kalyanaraman, 2007). Dengan adanya teknologi baru, saat ini juga terjadi peningkatan risiko remaja menjadi korban agresif yang dilakukan oleh rekan sejawat (David-Ferdon & Hertz, 2007).

Beberapa penelitian di atas telah menunjukkan bahwa pergeseran teknologi telah menjadi suatu isu baru yang berdampak pada siswa, baik siswa laki-laki dan perempuan karena mereka memiliki peluang yang sama untuk mengaksesnya. Peran guru dan warga sekolah yang lain juga menjadi salah satu faktor yang berperan besar yang menyebabkan tidak adanya perbedaan perilaku agresif antara laki-laki dan perempuan. Meskipun sebagian besar guru memahami dampak signifikan dari cyberbullying terhadap anak-anak dan khawatir tentang cyberbullying, kebanyakan dari mereka tidak menganggapnya sebagai masalah di sekolah (Li, 2008). Hal ini tentunya memberikan peluang bagi siswa baik laki-laki maupun perempuan untuk meluapkan emosi mereka dalam bentuk agresif jika mereka sedang mengalami situasi yang berpotensi pada munculnya konflik. Ability Emotional Intelligence juga turut menyumbang muncul dan meningkatnya perilaku agresif siswa (García-Sancho, Salguero, & Fernández-Berrocal, 2017).

Menurut penelitian lain, emotional self-efficacy juga turut menyumbang pada munculnya perilaku agresif siswa (Valois, Zullig, & Revels, 2017). Berdasarkan penelitian tersebut dapat dipahami bahwa siswa yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang baik akan memiliki kecenderungan untuk mampu meminimalisir munculnya perilaku agresif. Sebaliknya, siswa yang memiliki kemampuan mengelola emosi yang rendah akan cenderung kesulitan meregulasi emosi untuk meminimalisir munculnya perilaku agresif, sehingga regulasi emosi menjadi salah satu unsur penting bagi siswa untuk memunculkan atau meminimalisir perilaku agresif. Hal ini dikarenakan regulasi emosi memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku agresif (Garofalo, Holden, Zeigler-Hill, & Velotti, 2016; Roberton, Daffern, & Bucks, 2012; Scott, Stepp, & Pilkonis, 2014).

Konseling Kedamaian untuk Mereduksi Perilaku Agresif

Penelitian ini merekomendasikan untuk menyelenggarakan layanan konseling untuk mengurangi dan mengatasi perilaku agresif siswa. Salah satunya adalah dengan konseling kedamaian (W. N. E. Saputra & Handaka, 2017b). Konseling kedamaian mendorong siswa untuk berlatih berpikir damai sehingga mampu mengurungkan niat berperilaku agresif. Konseling kedamaian itu sendiri merupakan pengembangan dari konsep pendidikan kedamaian. Ada peluang bagi pendidik terutama konselor untuk menerapkan pendidikan kedamaian di latar pendidikan dalam format konseling (Saputra, 2016). Lebih jauh, gagasan Saputra, Widiasari, & Dina, (2016) menunjukkan pendidikan kedamaian yang ditilik dari perspektif islam berpotensi untuk diimplementasikan dalam sesi konseling. Selain konseling kedamaian, bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama juga telah terbukti mampu mengurangi agresif verbal siswa (Winarlin, Lasan, & Widada, 2016). Konseling kedamaian itu sendiri merupakan pengembangan dari konsep pendidikan kedamaian (peace education) yang diintegrasikan dan diterapkan dalam sesi konseling (Saputra & Handaka, 2017b). Pendidikan kedamaian adalah suatu filosofi dan proses yang berkaitan dengan akuisisi pengetahuan dan keterampilan menciptakan perdamaian, yang mana tujuan utama dari pendidikan kedamaian adalah untuk mengekspos peserta didik dengan tidak menggunakan kekerasan dalam menangani konflik atau situasi tertentu yang berpotensi pada munculnya konflik (Adeyemi & Salawudeen, 2014), hal ini sesuai dengan pandangan dasar dari Mahatma Gandhi tentang konsep “non-violence” (Biswas, 2015). Dalam konseling kedamaian, konselor membuat program-program untuk melatih konseling agar memiliki dan mengembangkan pikiran damai, karena sejatinya kedamaian berada pada pikiran manusia (Anand, 2014). Pikiran damai itulah yang akan meminimalisir keinginan siswa untuk berperilaku agresif ketika mereka sedang mengalami situasi tertentu. Sampai di sini, dapat kita pahami bahwa konseling kedamaian adalah konseling yang berakar dari filosofis pendidikan kedamaian yang secara perlahan berusaha untuk mengikis konflik-konflik yang telah terjadi dan menimbulkan suatu ketenangan hati baik yang bersifat intrapersonal dan interpersonal.

Kesimpulan
 
Temuan dalam penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara perilaku agresi siswa laki-laki dan siswa perempuan. Temuan penelitian ini tentunya menjadi temuan yang berharga karena telah memberikan gambaran bahwa perilaku agresi adalah masalah yang perlu diperhatikan karena pelakunya tidak hanya siswa laki-laki, tetapi juga siswa perempuan. Penelitian ini merekomendasikan perlu pelayanan konseling untuk mengurangi dan mengatasi perilaku agresi siswa, salah satunya lewat konseling kedamaian.

Daftar Pustaka

Saputra, W. N. E., Hanifah, N., & Widagdo, D. N. (2017). Perbedaan Tingkat Perilaku Agresi Berdasarkan Jenis Kelamin pada Siswa Sekolah Menengah Kejuruan Kota Yogyakarta. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(4), 142–147. http://dx.doi.org/10.17977/um001v2i42017p142, diakses pada tanggal 27 April 2022 pukul 13.04 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar