3.11.21

STRATEGI RESILIENSI DALAM LINGKUNGAN SOSIAL

 

STRATEGI RESILIENSI DALAM LINGKUNGAN SOSIAL

TUGAS ESSAY PSIKOLOGI INOVASI

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Elvira Julia / 19310410075

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA

 


Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block dengan nama ego resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Resiliensi adalah kemampuan individu untuk merespon secara positif terhadap situasi merugikan yang mereka hadapi, memungkinkan individu untuk mencapai, mempertahankan, atau memulihkan kesehatan fisik atau emosional setelah mendapatkan penyakit, kerugian, atau situasi stress lainnya (Cal & Santiago, 2013). Menurut Setyowati, Hartati & Sawitri (2010) menjelaskan resiliensi adalah kekuatan yang berperan penting untuk dapat bertahan mengatasi masalah dan mempertahankan kesehatan ketika menghadapi lingkungan beresiko.

Sedangkan menurut Sumaatmadja (1988: 50) “lingkungan sosal terdiri dari kelompok manusia sendiri”. Lingkungan sosial menurut Purwanto (2009: 73) ialah “Semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi kita, baik secara langsung maupun tidak langsung”. Dapat juga disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan lingkungan sosial adalah “Tempat atau suasana dimana sekelompok orang merasa sebagai anggotanya, seperti lingkungan kerja, lingkungan RT, lingkungan pendidikan, lingkungan pesantren, dan sebagainya”. Jadi lingkungan sosial adalah semua orang dan suasana tempat yang dapat mempengaruhi kita baik secara langsung maupun tidak langsung.

Resiliensi sangat penting dalam kehidupan karena dengan resiliensi dapat mengelola kesulitan dan tekanan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Resiliensi dapat digambarkan sebagai kapasitas individu untuk pemeliharaan, pemulihan, atau peningkatan kesehatan mental, serta mampu beradaptasi terhadap tantangan hidup yang penuh tekanan dan kemampuan individu untuk melakukan perubahan dan transformasi dari tekanan hidup yang sulit (Neils & Dias, 2001). Luthans, Youssef & Avolio (2007) menjelaskan bahwa resiliensi adalah kapasitas untuk bangkit kembali dari keterpurukan, konflik, kegagalan, atau bahkan peristiwa positif, kemajuan, dan tanggung jawab meningkat.

Menurut Wagnild dan Young (1993) mengemukakan lima aspek resiliensi yang dapat dijelaskan yaitu sebagai berikut : 

  1. Equanimity atau ketenangan merupakan perspektif yang seimbang dari kehidupan dan pengalaman seseorang. Ketenangan ini berarti kemampuan untuk mempertimbangkan masalah secara lebih luas sehingga dapat menemukan solusi untuk setiap masalah. Individu yang resilien mampu memanipulasi kesulitan dengan sikap yang tenang sehingga individu cenderung berhati-hati dalam menemukan solusi atas kesulitan yang dimiliki. 
  2. Perseverence atau ketekunan merupakan sikap yang tekun walaupun sedang mengalami kesulitan atau keputus asaan. Ketekunan berarti keinginan untuk melanjutkan perjuangan hidup individu dan tetap terlibat dalam disiplin diri. Individu yang resilien mampu bersikap positif walaupun menemukan beberapa hambatan dan mampu untuk menyelesaikan kesulitan dengan mencapai tujuan hidup.
  3. Self reliance atau kemandirian merupakan kepercayaan diri dan kemampuan individu untuk membela diri serta mengenal pribadi individu dan keterbatasan yang dimiliki individu. Individu mampu untuk mengenal kekurangan dan kelebihan yang ada dalam diri sehingga individu yang resilien mampu untuk mengatasi kesulitan berdasarkan pengalaman hidup sebelumnya yang kemudian dapat meyakinkan individu akan kemampuan dalam dirinya.
  4. Meaningfulness atau kebermaknaan adalah kesadaran bahwa hidup memiliki tujuan. Kebermaknaan menyampaikan rasa syukur atas segala yang telah dimiliki individu. Individu yang resilien akan tetap bersikap positif untuk mencapai tujuan hidup walaupun dalam keadaan yang sulit.
  5. Existential aloneness atau eksistensial kesendirian adalah kesadaran bahwa setiap hidup individu merupakan hal yang unik, sementara beberapa pengalaman bersama, masih ada orang lain yang harus dihadapi sendiri. Eksistensial kesendirian memberikan rasa kebebasan dan keunikan. Individu yang existential aloneness berarti mampu untuk menerima apa adanya diri dengan semua kelemahan dan kelebihan yang dimiliki. Individu yang resilien tidak akan mudah dipengaruhi oleh orang lain karena individu mampu untuk menyelesaikan sendiri kesulitan yang dihadapi.

Menurut Bernard (dalam Desmita, 2009) misalnya, seorang yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu:

  1. Social competence (kompetensi sosial): kemampuan untuk memuncul kan respon yang positif dari orang lain, dalam artian mengadakan hubungan-hubungan yang positif de ngan orang dewasa dan teman sebaya.
  2. Problem-solving kills/metacognition (keterampilan pemecahan masalah/metakognitif): perencanaan yang memudahkan untuk mengendalikan diri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan dari orang lain.
  3. Autonomy (otonomi): suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan sense of purpose and future (Kesadaran akan tujuan dan masa depan): kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan (persistence), pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang (bright).
              Jadi dapat disimpulkan bahwa strategi resiliensi dalam menghadapi lingkungan sosial yaitu dengan cara lebih memahami dan mengenali diri sendiri baik mengenali kekurangan atau kelebihan diri sendiri. Saat individu mampu melakukan hal tersebut, ia akan mampu dalam menghadapi tekanan dan keputus-asaan yang sedang dihadapi karena ia akan lebih mampu mandiri, percaya diri, dan lebih mampu mengendalkan emosinal diri. Selain itu, individu tersebut yakin terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga ia mampu tenang dan cenderung hati-hati dalam mengambil keputusan yang sekiranya membuat ia tertekan berdasarkan pengalaman-pengalaman hidupnya karena ia memiliki kebermaknaan dalam menjalankan tujuan hidupnya.


DAFTAR PUSTAKA

Cal, S. F., & Santiago, M. B. (2013). Resilience in Systemic Lupus Erythematosus. Psychology, Health & Medicine, 18(5), 558-563.

Desmita. 2009. Mengembangkan Resiliensi Remaja Dalam Upaya Mengatasi Stres Sekolah. Ta’dib Vol. 12, No. 1 Juni.

Neils, J. T., & Dias, K. L. (2001). Adventrue Education and Resilience: The Double Edged Sword. Journal of Adventure Education and Outdoor Learning, 1(2), 35-42

Luthan, Youssef, & Avolio. (2007). Psychological Capital: Developing The Human Competitive Edge. London: Oxford University Press.

Purwanto. (2009). Evaluasi hasil belajar. Surakarta. Pustaka belajar.

Setyowati, A., Hartati, S., & Sawitri, D. R. (2010). Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Resiliensi pada Siswa Penghuni Rumah Damai. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro, 7(1), 67-77.

Sumaatmadja, N. (1988). Studi Geografi: Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Cetakan kedua. Bandung: Alumni. 

Wagnild, & Young. (1993). Development and Psychometric Evaluation of The Resilience Scale. Journal of Nursing Measurement, 1(2), 165-178.

0 komentar:

Posting Komentar