6.4.21

POTENSI DAN MASALAH SAMPAH DI JAWA TENGAH (STUDI KASUS PENGADAAN PUPUK ORGANIK YANG BERKELANJUTAN)

 

 

Nama : Nurul Khikmah

NIM  : 19310410064

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta. MA

Tugas Essay 2 Psikologi Lingkungan

 

 

   Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu lumbung pangan (beras) nasional, tetapi telah menimbulkan permasalahan bagi para petani dalam pembelian pupuk dimusim tanam. Kebutuhan pupuk organik sebesar 65.000 ton dan pupuk anorgaik sebesar 1.528.000 ton di tahun 2009. Permasalahan sampah di Jateng semakin nyata dengan adanya UU No.18 tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang memiliki kekuatan hukum bagi pengelola sampah di tahun 2013. Sampah di TPA memiliki permasalahan dengan waktu pakainya, tetapi berpotensi sebagai bahan baku pupuk organik. Jumlah sampah yang dihasilkan oleh 10 kota besar penghasil sampah sebesar 12.728 m3/hari. Metoda penelitian meliputi penentuan 3 lokasi kota/ kabupaten sebagai sampel, mengetahui jumlah dan kandungan sampah organik, umur TPA, pengetesan kandungan kompos, luas daerah pertanian, jumlah pemakaian pupuk dan pengetahuan petani terhadap pupuk. Kualitas pupuk organik dari sampah pasar tradisional memenuhi persyaratan Permentan, pupuk organik dari sampah TPS untuk unsur bahan ikutan (krikil, kaca/beling, plastik) adalah 2,56 % melebihi ketentuan, pupuk organik dari sampah TPA masih terdapat  unsur yang melebihi ketentuan yakni  C/N ratio= 29,47,   bahan ikutan = 2,77 %, Pb (58,17 ppm), Cd =18,36 ppm, Zn = 0,760 % dan Fe = 0,401%.

Ketersediaan pupuk organik dari sampah organik

Aspek kualitas hasil pengujian laboratorium diuji sesuai dengan unsur yang dipersyaratkan oleh Peraturan Menteri Pertanian No.02/Pert/HK.060/2006, tentang Pupuk Organik dan  Pembenah Tanah. Hal-hal di atas diuraikan sebagaimana di bawah ini.

Kuantitas dan kontiunitas ketersediaan pupuk organik

Ketersediaan pupuk organik dipengaruhi oleh potensi bahan bakunya, sedangkan  kontinuitas ketersediaan pupuk organik dari sampah organik rumah tangga dan pasar tradisional yang akan dikumpulkan di TPA dipengaruhi oleh pertambahan penduduk, dinamika serta pola konsumsi penduduk. 

Tingkat kecukupan pupuk organik yang dihasilkan sebagai faktor suplay dengan kebutuhan penggunaan pupuk untuk tanaman padi sebagai demand pada masing-masing daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.  Asumsi yang digunakan adalah tiap 1 (satu) Ha sawah menggunakan 2 ton pupuk organik untuk tanaman padi. Tanaman padi dipilih sebagai standar ukuran kebutuhan pupuk organik, karena diusahakan secara luas oleh petani dan efek pupuk organik dapat sampai beberapa musim tanam atau dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. 

Di Kabupaten Jepara peran atau ketersediaan pupuk organik dari sampah di tahun 2009 sebesar 11,04 % (8.442,29 ton/tahun dari kebutuhan 76.496 ton/tahun) dan tahun 2014 meningkat menjadi 18,05 % (14.225,75 ton/tahun dari kebutuhan 78.818 ton/tahun). Kabupaten Klaten ketersediaan pupuk organik dari sampah perannya menurun dari 30,70 % (2009) menjadi 29,51 % (2014), yakni  ketersediaan 36.353,36 ton/tahun dari kebutuhan 118.398 ton/tahun menjadi ketersediaan 37.086,27 ton/tahun dari kebutuhan 125.692 ton/tahun. Sedangkan untuk Kabupaten Temanggung perannya juga semakin menurun dari 38,76% (2009) menjadi 34,03% (2014), yakni ketersediaan 27.669,69 ton/tahun dari kebutuhan 71.388 ton/tahun menjadi ketersediaan pupuk organik 29.081,13 ton/tahun dari kebutuhan pupuk organik 85.458 ton/tahun. 

Kualitas pupuk organik

Penggunaan pupuk organik untuk pertanian wajib memperhatikan ketentuan dari Peraturan Menteri Pertanian No.02/Pert/HK.060/2006, tentang Pupuk Organik dan  Pembenah Tanah, yakni persyaratan teknis kualitas pupuk organik. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi efek samping dari penggunaan pupuk organik yang bahan bakunya dari berbagai sumber dan mengandung berbagai unsur. Untuk itu, diperlukan uji laboratorium agar memenuhi kriteria tersebut dan setelah lolos dari uji laboratorium perlu pula dilakukan uji lapangan untuk tanaman tertentu (pangan atau palawija) dan uji kualitas hasil produksi tanaman di  laboratorium pangan terhadap kadar kandungan logam berat yang berbahaya bagi kesehatan. Uji laboratorium pupuk organik dilakukan dengan mengambil sampel kompos dari tiga sampel, yaitu kompos dari sampah TPA, TPS dan Pasar Tradisional.

Manfaat sosial-ekonomi pendayagunaan sampah organik

Manfaat sosial ekonomi pendayagunaan sampah organik, terutama di lingkungan TPA adalah bahwa masyarakat sekitarnya memperoleh kesempatan kerja dan peluang kerja dan akhirnya memperoleh pendapatan, baik para pemulung dan tenaga kerja baru yang mengelola sampah organik di TPA menjadi bahan baku pupuk organik. Di samping itu, pemulung juga diringankan pekerjaannya, karena dengan alat ayakan memisahkan sampah organik yang telah menjadi butir-butir tanah dengan sampah non organik yang dicari pemulung.

Kesimpulan

1. Potensi dan ketersediaan sampah dan pupuk organik :

a.    Volume sampah organik rata-rata per tahun di Kabupaten Jepara mencapai 137.668 m3 dengan pertumbuhan 14,15 %, di Kabupaten Klaten sebanyak 714.156 m3 dengan pertambahan 0,59% dan di Kabupaten Temanggung 376.359 m3 dengan pertumbuhan 3,58 %.

b.    Ketersediaannya sebagai bahan baku pupuk organik untuk tanaman padi sebanyak 2 ton/ha, di Jepara 11.04-18,05 %, di Klaten 29,51-30,70% dan di Temanggung 34,03-38,76 % dari seluruh kebutuhan pupuk organik. 

c.    Kontinuitas bahan baku pupuk organik dari sampah organik terjamin  2. Kualitas pupuk organik dari sampah pasar, TPS dan TPA :

a.      Sampah pasar tradisional memenuhi persyaratan.

b.      Sampah TPS, unsur bahan ikutan (krikil, kaca/beling, plastik) dengan hasil uji laboratorium sebanyak 2,56 %, (maksimum 2 %).

c.      Sampah TPA, unsur yang melebihi ketentuan Permentan: (1) C/N ratio sebesar 29,47  > (10-25) (2) Bahan ikutan 2,77 % > maks 2 %). (3) Unsur logam berat Pb (58,17 ppm) > di bawah 50 ppm dan Cd (18,36 ppm) > di bawah 10 ppm. (4) Unsur mikro Zn 0,760 % > maks 0,500 % dan Fe 0,401 % > 0,400 %.

3.      Manfaat sosial ekonomi dari pengolahan sampah organik menjadi pupuk organik adalah dapat memberikan tambahan kesempatan kerja.. Secara teknis ekonomis dapat memperpanjang umur teknis TPA.

4.      Petani yang menggunakan pupuk organik secara intensif rata-rata baru mencapai 40%, yang tertinggi di Temanggung (65%) dan terendah di Klaten (25%). 

5.      Faktor penghambatnya adalah kebiasaan dan ketergantungan yang telah terbentuk sejak lama, ketersediaan dipasaran yang belum banyak, volume yang besar dan kenampakan fisik tanaman yang relatif lama. Faktor pelancarnya adalah sering terjadinya kekurangan pupuk an-organik pada saat diperlukan, kebijakan subsidi pupuk organik, program bantuan APPO (Alat Pengolah Pupuk Organik) dan adanya partisipasi swasta dalam pengolahan sampah menjadi pupuk.

 

Daftar  Pustaka

Yovita., (2001), ”Membuat Kompos Secara Kilat”. Penebar Swadaya. Jakarta.

Setiawan, A.I., (2002), ”Memanfaatkan Kotoran Ternak”. Cetakan ke tiga Penebar Swadaya. Jakarta 

Sutanto., (2002),    ”Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan Pengembangannya)”. Penerbit Kanisius, Jakarta. 

 


0 komentar:

Posting Komentar