Nama : Nurul
Khikmah
NIM : 19310410064
Dosen Pengampu
: Dr. Arundati Shinta. MA
Tugas
Essay 2 Psikologi Lingkungan
Provinsi
Jawa Tengah merupakan salah satu lumbung pangan (beras) nasional, tetapi telah menimbulkan
permasalahan bagi para petani dalam pembelian pupuk dimusim tanam. Kebutuhan
pupuk organik sebesar 65.000 ton dan pupuk anorgaik sebesar 1.528.000 ton di
tahun 2009. Permasalahan sampah di Jateng semakin nyata dengan adanya UU No.18
tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah yang memiliki kekuatan hukum bagi
pengelola sampah di tahun 2013. Sampah di TPA memiliki permasalahan dengan
waktu pakainya, tetapi berpotensi sebagai bahan baku pupuk organik. Jumlah
sampah yang dihasilkan oleh 10 kota besar penghasil sampah sebesar 12.728
m3/hari. Metoda penelitian meliputi penentuan 3 lokasi kota/ kabupaten sebagai
sampel, mengetahui jumlah dan kandungan sampah organik, umur TPA, pengetesan
kandungan kompos, luas daerah pertanian, jumlah pemakaian pupuk dan pengetahuan
petani terhadap pupuk. Kualitas pupuk organik dari sampah pasar tradisional
memenuhi persyaratan Permentan, pupuk organik dari sampah TPS untuk unsur bahan
ikutan (krikil, kaca/beling, plastik) adalah 2,56 % melebihi ketentuan, pupuk
organik dari sampah TPA masih terdapat
unsur yang melebihi ketentuan yakni
C/N ratio= 29,47, bahan ikutan =
2,77 %, Pb (58,17 ppm), Cd =18,36 ppm, Zn = 0,760 % dan Fe = 0,401%.
Ketersediaan
pupuk organik dari sampah organik
Aspek
kualitas hasil pengujian laboratorium diuji sesuai dengan
unsur yang dipersyaratkan oleh Peraturan Menteri Pertanian
No.02/Pert/HK.060/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Hal-hal di atas diuraikan
sebagaimana di bawah ini.
Kuantitas
dan kontiunitas ketersediaan pupuk organik
Ketersediaan
pupuk organik dipengaruhi oleh potensi bahan bakunya, sedangkan kontinuitas ketersediaan pupuk organik dari
sampah organik rumah tangga dan pasar tradisional yang akan dikumpulkan di TPA
dipengaruhi oleh pertambahan penduduk, dinamika serta pola konsumsi
penduduk.
Tingkat
kecukupan pupuk organik yang dihasilkan sebagai faktor suplay
dengan kebutuhan penggunaan pupuk untuk tanaman padi sebagai demand
pada masing-masing daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini. Asumsi yang digunakan adalah tiap 1 (satu) Ha
sawah menggunakan 2 ton pupuk organik untuk tanaman padi. Tanaman padi dipilih
sebagai standar ukuran kebutuhan pupuk organik, karena diusahakan secara luas
oleh petani dan efek pupuk organik dapat sampai beberapa musim tanam atau dalam
jangka waktu 1 (satu) tahun.
Di Kabupaten Jepara peran atau
ketersediaan pupuk organik dari sampah di tahun 2009 sebesar 11,04 % (8.442,29
ton/tahun dari kebutuhan 76.496 ton/tahun) dan tahun 2014 meningkat menjadi
18,05 % (14.225,75 ton/tahun dari kebutuhan 78.818 ton/tahun). Kabupaten Klaten
ketersediaan pupuk organik dari sampah perannya menurun dari 30,70 % (2009)
menjadi 29,51 % (2014), yakni
ketersediaan 36.353,36 ton/tahun dari kebutuhan 118.398 ton/tahun
menjadi ketersediaan 37.086,27 ton/tahun dari kebutuhan 125.692 ton/tahun.
Sedangkan untuk Kabupaten Temanggung perannya juga semakin menurun dari 38,76%
(2009) menjadi 34,03% (2014), yakni ketersediaan 27.669,69 ton/tahun dari
kebutuhan 71.388 ton/tahun menjadi ketersediaan pupuk organik 29.081,13
ton/tahun dari kebutuhan pupuk organik 85.458 ton/tahun.
Kualitas
pupuk organik
Penggunaan pupuk organik untuk
pertanian wajib memperhatikan ketentuan dari Peraturan Menteri Pertanian
No.02/Pert/HK.060/2006, tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah, yakni persyaratan teknis
kualitas pupuk organik. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi efek samping
dari penggunaan pupuk organik yang bahan bakunya dari berbagai sumber dan
mengandung berbagai unsur. Untuk itu, diperlukan uji laboratorium agar memenuhi
kriteria tersebut dan setelah lolos dari uji laboratorium perlu pula dilakukan
uji lapangan untuk tanaman tertentu (pangan atau palawija) dan uji kualitas
hasil produksi tanaman di laboratorium
pangan terhadap kadar kandungan logam berat yang berbahaya bagi kesehatan. Uji
laboratorium pupuk organik dilakukan dengan mengambil sampel kompos dari tiga
sampel, yaitu kompos dari sampah TPA, TPS dan Pasar Tradisional.
Manfaat sosial-ekonomi pendayagunaan
sampah organik
Manfaat sosial ekonomi pendayagunaan
sampah organik, terutama di lingkungan TPA adalah bahwa masyarakat sekitarnya
memperoleh kesempatan kerja dan peluang kerja dan akhirnya memperoleh
pendapatan, baik para pemulung dan tenaga kerja baru yang mengelola sampah organik
di TPA menjadi bahan baku pupuk organik. Di samping itu, pemulung juga
diringankan pekerjaannya, karena dengan alat ayakan memisahkan sampah organik
yang telah menjadi butir-butir tanah dengan sampah non organik yang dicari
pemulung.
Kesimpulan
1. Potensi
dan ketersediaan sampah dan pupuk organik :
a. Volume
sampah organik rata-rata per tahun di Kabupaten Jepara mencapai 137.668 m3
dengan pertumbuhan 14,15 %, di Kabupaten Klaten sebanyak 714.156 m3
dengan pertambahan 0,59% dan di Kabupaten Temanggung 376.359 m3
dengan pertumbuhan 3,58 %.
b. Ketersediaannya
sebagai bahan baku pupuk organik untuk tanaman padi sebanyak 2 ton/ha, di
Jepara 11.04-18,05 %, di Klaten 29,51-30,70% dan di Temanggung 34,03-38,76 %
dari seluruh kebutuhan pupuk organik.
c. Kontinuitas
bahan baku pupuk organik dari sampah organik terjamin 2. Kualitas
pupuk organik dari sampah pasar, TPS dan TPA :
a.
Sampah pasar tradisional memenuhi
persyaratan.
b.
Sampah TPS, unsur bahan ikutan (krikil,
kaca/beling, plastik) dengan hasil uji laboratorium sebanyak 2,56 %, (maksimum
2 %).
c.
Sampah TPA, unsur yang melebihi ketentuan
Permentan: (1) C/N ratio sebesar 29,47
> (10-25) (2) Bahan ikutan 2,77 % > maks 2 %). (3) Unsur logam
berat Pb (58,17 ppm) > di bawah 50 ppm dan Cd (18,36 ppm) > di bawah 10
ppm. (4) Unsur mikro Zn 0,760 % > maks 0,500 % dan Fe 0,401 % > 0,400 %.
3.
Manfaat sosial ekonomi dari pengolahan
sampah organik menjadi pupuk organik adalah dapat memberikan tambahan
kesempatan kerja.. Secara teknis ekonomis dapat memperpanjang umur teknis TPA.
4.
Petani yang menggunakan pupuk organik
secara intensif rata-rata baru mencapai 40%, yang tertinggi di Temanggung (65%)
dan terendah di Klaten (25%).
5.
Faktor penghambatnya adalah kebiasaan dan
ketergantungan yang telah terbentuk sejak lama, ketersediaan dipasaran yang
belum banyak, volume yang besar dan kenampakan fisik tanaman yang relatif lama.
Faktor pelancarnya adalah sering terjadinya kekurangan pupuk an-organik pada
saat diperlukan, kebijakan subsidi pupuk organik, program bantuan APPO (Alat
Pengolah Pupuk Organik) dan adanya partisipasi swasta dalam pengolahan sampah
menjadi pupuk.
Daftar Pustaka
Yovita., (2001), ”Membuat
Kompos Secara Kilat”. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setiawan, A.I., (2002), ”Memanfaatkan
Kotoran Ternak”. Cetakan ke tiga Penebar Swadaya.
Jakarta
Sutanto., (2002), ”Penerapan Pertanian Organik
(Pemasyarakatan dan Pengembangannya)”. Penerbit Kanisius,
Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar