27.4.21

Penanggulangan Sampah Perkotaan

 System pengelolaan sampah terutama daerah perkotaan harus dilaksanakan secara sistematis dan tepat. Kegiatan pengelolaan sampah akan melibatkan penggunaan dan pemanfaatan sarana prasarana persampahan yang meliputi pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan maupun pembuangan akhir. Masalah sampah berkaitan erat dengan dengan pola hidup serta budaya masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu penanggulangan sampah bukan hanya urusan pemerintah semata akan tetapi penanganannya membutuhkan partisipasi masyarakat secara luas. Jumlah sampah ini setiap tahun terus meningkat sejalan dan seiring meningkatnya jumlah penduduk dan kualitas kehidupan masyarakat atau manusianya dan disertai juga kemajuan ilmu pengetahuan teknologi yang menghasilkan pula pergeseran pola hidup masyarakat yang cenderung konsumtif.

Jakarta merupakan ibu kota Indonesia dengan total penduduk di dalamnya sebanyak 10,56 juta. Dengan banyaknya penduduk Jakarta tentu saja berpengaruh pada jumlah sampah yang ada. Sampah di Ibu Kota didominasi sisa makanan (53 persen), kemudian plastik (sembilan persen), residu (delapan persen), kertas (tujuh persen) dan lain-lainnya. Jumlah sampah di Jakarta s trennya meningkat dan hanya menyebutkan, jumlah sampah pada 2014 sebanyak 5.665 ton sampah/hari, 2015 sebanyak 6.419 ton sampah/hari, 2016 sebanyak 6.562 ton sampah/hari, 2017 sebanyak 6.875 ton sampah/hari,  2018 sebanyak 7.453 ton sampah/hari, 2019 sebanyak 7.702 ton sampah/hari dan pada 2020 sebanyak 7.424 ton sampah/hari.

Berdasarkan pada uraian di atas, sampah merupakan permasalah yang ada di Kota Jakarta. Kondisi pengelolaan sampah di Kota Jakarta belum dilaksanakan secara maksimal dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah sangat dibutuhkan untuk mengurangi sampah yang ada. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah yang saat ini dilakukan masyarakat dalam membuang sampah belum memperhatikan system pengelolaan sampah. Dan yang terakhir adalah upaya pemerintah Jakarta dalam mengajak masyarakat dalam pengelolaan sampah.

Pendekatan psikologi lingkungan muncul sebagai protes terhadap pendekatan yang hanya memperhatikan faktor-faktor individual sebagai penyebab dari munculnya masalah-masalah sosiat Selama tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, kontekstualisme makin diperhatikan di beberapa area penelitian psikoIogi. Para psikolog di semua bidang pemusatan utama psikologi melihat adanya kelemahan dan penelitian-penelitian yang tidak memperhatikan konteks, dan menyemkan perlunya penelitian penlaku yang tebih menggunakan pendekatan yang holistik dan memakai dasar ekologis (Stokols, 1987 dalam Stokols & Altman 1987).

Studi tentang penanggulangan sampah di perkotaan ini dilakukan untuk mencari solusi pelsoalan masyarakat dalam menghadapi masalah sampah yang dihasilkan mereka. Psikologi Iingkungan menyediakan peluang untuk meninjau masalah tersebut Iebih mendalam, karena dalam psikologi Iingkungan hubungan perilaku dan Iingkungan dibahas sebagai suatu unit yang saling terkait bukan berdiri sendiri-sendiri. Asumsi dasar mengenai studi setting perilaku adalah bahwa perilaku manusia tak dapat dipahami secara memadai tanpa mempelajari konteks di mana perilaku tersebut berlangsung. Konsep sering perilaku memberi jawaban terhadap kelemahan-kelemahan dari studi-studi perilaku yang tidak memperhatikan konteks. Studi setting perilaku mengubah analisis yang tadinya bersifat satu arah dan mekanistik menjadi model yang transaksional dan berorientasi konteks.

Tingkat kebersihan lingkungan di perkotaan bervariasi dan tergantung pada pola perilaku kebersihan menetap yang dibentuk oleh penghuni dalam kehidupan keseharian mereka. Dalam praktik, pengoperasian peralatan kebersihan sesuai dengan kapasitasnya serta kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah yang mengurusi sampah dalam suatu wilayah terjalin baik dan lancar sangat berperan dalam pembentukan pola perilaku kebersihan Y. Kondisi lingkungan bersih dan kotor masih terdapat baik di wilayah pemukiman yang teratur kualitas tinggi maupun di wilayah pemukiman yang tidak teratur kualitas rendah. Dapat dinyatakan bahwa tingkat sosial-ekonomi penghuni dan tata-kelola wilayah pemukiman kota tidak berpengaruh dalam pembentukan pola perilaku kebersihan warganya. Dibanding dengan adanya koordinasi antar wilayah dan unit-unit yang berkepentingan. Peran serta masyarakat belum optimal, kebijakan pemerintah berupa peraturan di bidang kebersihan, belum sepenuhnya dapat dipahami dan diindahkan warga. Tugas pekerjaan pengelolaan sampah dari beberapa instansi pemerintah belum terkoordinasi dengan baik sehingga menimbulkan kerancuan kerja di lapangan.

Kebijakan strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah baru pada tahap aspek teknis yaitu dengan melakukan pengurangan timbulan sampah dengan menerapkan Reduce, Reuse dan Recycle ( 3 R ), dengan harapan pada tahun 2025 tercapai “zero waste“.Pendekatan pengelolaaan persampahan yang semula didekati dengan wilayah administrasi, dapat diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan secara regional dengan menggabungkan beberapa kota dan kabupaten dalam pengelolaan persampahan. Hal ini sangat menguntungkan karena akan mencapai skala ekonomis baik dalam tingkat pengelolaan TPA, dan pengangkutan dari TPS ke TPA. Untuk menerapkan indikator tersebut diatas dapat dilakukan beberapa hal pada tahapan pengelolaan persampahan, yaitu:

1. Pada tahap pengumpulan sampah disumber timbulan harus menerapkan program penghematan lahan TPA yaitu dengan melakukan pemisahan jenis-jenis sampah (smpah organik dan non organik). Untuk dapat melaksanakan pemisahan ini perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut : konsumen perlu menyediakan tempat sampah yang terpisah untuk sampah yang organik dan non organik, melakukan sosialisasi dan pelatihan bagi pemisah sampah di sumber timbulan. Pengatur perlu membuat Peraturan Daerah yang mengatur tentang pelaksanaan pemisahan jenis sampah, disertai dengan enforcement yang ketat. Untuk kawasan fasilitas umum perlu ada operator pengumpulan sampah, yang ditunjuk oleh badan pengatur dan pembiayaannya dilakukan melalui subsidi silang dari kawasan komersial atau domestik, atau melalui subsidi pemerintah daerah yang diberikan dengan cara pelelangan, dimana operator yang paling rendah meminta subsidi pemerintah daerah akan ditunjuk sebagai pengelola persampahan di kawasan fasilitas umum,

2. Tempat pembuangan sementara sedapat mungkin dilakukan dengan menggunakan kontainer tertutup agar mudah diangkut sehingga penggunaan truk akan semakin efisien dan tidak menimbulkan kemacetan lalu lintas pada saat pemindahan sampah dari TPS ke truk pengangkut. Truk harus didisain Hal tersebut akan meningkatkan biaya investasi tetapi biaya operasi dan perawatan serta biaya sosial yang ditimbulkan dapat ditekan menjadi lebih rendah,

3. Dengan menggunakan kontainer sebagai TPS maka, truk pengangkut yang digunakan haruslah yang sesuai dengan kontainer tersebut. Dengan demikian pemindahan sampah dari TPS cukup dilakukan dengan mengangkat kontainer yang terlah disediakan. Hak ini akan mempersingkat waktu pemindahan sampah dari TPS ke TPA.

Telaah Kebijakan Pemda mengenai Kebersihan Lingkungan di Wilayah DKI Jakarta. Kebijakan pemerintah mengenai kebersihan kota dituangkan dalam berbagai peraturan-peraturan pemerintah. Peraturan tentang kebersihan lingkungan di wilayah DKI Jakarta secara tertulis dituangkan dalam Keputusan, Instruksi Gubernur dan Peraturan Daerah/Perda. Berbagai kebijakan di atas dibuat berdasarkan pertimbangan: (1) bahwa kebersihan lingkungan di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan antara Pemerintah Daerah dan seluruh lapisan masyarakat, (2) bahwa kebersihan lingkungan bukan semata-mata tanggung jawab Pemerintah Daerah tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah Daerah dan masyarakat.

oleh : Satria Alfian Rifqi Nugroho/19310410062

0 komentar:

Posting Komentar