12.3.21

PENGENTASAN MASALAH KEKERINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Ujian Mid Semester Psikologi Lingkungan

Andi Purnawan / 19310410002

Dosen Pengampu: Dr.Arundati Shinta,MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis dengan dua musim tiap tahunnya, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Letak dan kondisi geografis, menjadikan negara ini selalu memanfaatkan tiap musim yang berlangsung. Saat musim penghujan, air yang berlimpah tentu digunakan untuk sarana berbagai keperluan, terutama dalam bidang pertanian dalam hal pengairan. Air hujan tersebut terkadang juga ditampung untuk nantinya digunakan dalam kebutuhan sehari-hari dan sebagai sediaan pada saat musim kemarau tiba. Namun terkadang kondisi klimatoligis di Indonesia sering tidak bisa diprediksi. Jangka lama kedua musim tersebut tidak seimbang. Misalnya pada tahun ini intensitas musim kemarau lebih lama dari pada musim penghujan. Hal tersebut tentu membuat kualahan para petani terutama petani padi.

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu daerah di Yogyakarta yang merasakan dampak dari musim yang tidak stabil. Menurut data geografis, Gunungkidul sebagai salah satu kabupaten di Yogyakarta merupakan salah satu kabupaten yang mengalami ancaman kekeringan terparah (Apriani et al, 2014). Salah satu daerah di Gunungkidul yang terdampak adalah Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari. Tiap tahunnya masyarakat desa tersebut memiliki keluhan yang sama yaitu kekeringan karena kemarau yang berkepanjangan. Pekerjaan utama warga setempat yang mayoritas adalah petani, sering kesusahan dalam melakukan penghitungan masa cocok tanam dan panen padi karena terkendala masa musim. Saat waktunya penanaman padi atau  penyebutannya musim sawah, masalah pengairan menjadi PR besar bagi para petani. Proses penanaman padi yang cenderung banyak, tentu tidak akan berhasil jika persediaan air tidak memadai. Lalu langkah apa yang dilakukan warga masyarakat menghentikan permasalahan tersebut?

Warga masyarakat berinisiatif melakukan penggalian sumur di dekat persawahan yang diyakini terdapat sumber mata air. Dana penggalian tersebut didapatkan dari para donator-donatur yang sebelumnya sudah disodori proposal. Tenaga penggalian dilakukan oleh warga masyararakat itu sendiri selaku sumber daya manusia yang nantinya akan menggunakan sumur mata air tersebut. Mereka melakukan bekerja memakai asas gotong royong sebagai ciri khas kegiatan di pedesaan. Warga masyarakat membuat jadwal kerja beserta kelompoknya yang memuat jam operasional penggalian serta jatah warga yang mengirim makanan untuk santap pekerja saat istirahat. Dalam musyawarah warga sebelumnya, mereka memiliki kesepakatan bersama yaitu bagi warga yang tidak berangkat gotong royong tanpa alasan jelas saat tiba jatahnya, maka dikenai denda sebesar Rp.10.000, yang nantinya denda tersebut dimasukkan dalam kas.

Kearifan lokal terdapat pada beberapa kelompok/ masyarakat adat dan mengandung nilai luhur budaya yang masih kuat menjadi identitas karakter warga masyarakatnya (Priyatna, 2017). Nilai kearifan lokal yang terdapat dalam kegiatan warga tersebut utamanya adalah gotong royong. Namun, selain itu kearifan lokal nampak terlihat juga pada saat warga masyarakat melakukan doa bersama di dekat penggalian sumur mata air. Sudah menjadi tradisi di Desa Mertelu pada saat melakukan suatu pembangunan, mereka melakukan doa bersama yang dilanjutkan dengan makan-makan. Pada kegiatan ini nampak warga melakukan doa bersama pada malam hari. Malam hari dipilih karena jika dilakukan siang tidak semua warga yang terlibat penggalian bisa hadir. Makanan yang tersaji adalah diantaranya sego punar (nasi cetak), sayur gudangan, telur, ayam, dan masih banyak lauk lainnya. Doa dipimpin oleh ketua adat Desa Mertelu. Dalam doa tersebut terpanjat harapan warga mengenai kebutuhan air yang terpenuhi.

Usaha yang dilakukan masyarakat dalam melakukan pencarian sumber mata air merupakan salah satu langkah mengatasi permasalahan kekeringan saat kemarau. Pergantian iklim memang tidak bisa diramalkan, namun dengan kegigihan kerja keras dan sosial masyarakat tentu mereka akan lebih siap menghadapi terpaan kemarau panjang. Terus mengalir dan tersediannya air cadangan tentu kebutuhan sehari-hari dan garapan sawah tidak akan terkendala.

Referensi:

Apriani, F., Setianingsih, Y. D., Arum, U. M. P., Susanti, K. A., Wicaksono, S. I., & Faruk, A. (2014). Analisis curah hujan sebagai upaya meminimalisasi dampak kekeringan di Kabupaten Gunungkidul tahun 2014. Khazanah: Jurnal Mahasiswa. 6(2), 13-22.

Priyatna, M. (2017). Pendidikan karakter berbasis kearifan lokal. Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam5(10), 1311-1336.

0 komentar:

Posting Komentar