Walter Mischel lahir pada 22 Februari 1930 di Wina, Austria. Delapan tahun kemudian, ia dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat karena pendudukan Nazi baru-baru ini. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, putra pengusaha Salomón Mischel dan Lola Leah Schreck yang adalah seorang ibu rumah tangga.
Mischel tumbuh di Brooklyn, New York dari tahun 1940, di mana ia belajar di sekolah menengah, serta pendidikan universitas di universitas negeri, ketika bekerja dalam bisnis keluarganya. Meskipun telah memulai studi medisnya, Mischel akhirnya tertarik pada psikologi, terutama dalam aplikasi klinisnya.
Maka, pada tahun 1956, Mischel memperoleh gelar doktor dalam psikologi klinis dari Ohio State University, di mana ia dilatih oleh salah satu psikolog yang paling dikenal di klinik perilaku kognitif, George Kelly. Itu juga merupakan faktor penentu dalam pelatihan profesionalnya Julian Rotter, seorang psikolog yang diingat karena meletakkan dasar-dasar teori locus of control.
Setelah itu ia bertugas selama dua tahun sebagai profesor dan peneliti di Universitas Colorado, selama dua tahun di Universitas Harvard dan selama waktu yang sama di Universitas Stanford.
3.Peranan Psikologi Positif pada Kepribadian
Psikologi positif dipelopori pertama kali oleh Martin Seligman, seorang profesor psikologi dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat, pada tahun 1998. Kala itu beliau menjabat sebagai presiden dari American Psychological Association (APA), sebuah organisasi psikologi yang diakui secara global dan menjadi acuan bagi berbagai lembaga psikologi lainnya di dunia. Seligman mengklaim dalam salah satu bukunya (2002), "selama setengah abad terakhir psikologi telah dikonsumsi dengan satu topik saja - gangguan mental”. Melalui psikologi positif, Seligman mengkritisi psikologi yang selama ini memandang manusia secara negatif, dan menawarkan pendekatan baru dalam psikologi, yakni melalui sisi positif manusia.
Sebenarnya, apa itu psikologi positif? Gable dan Haidt (2005) menyebut psikologi positif sebagai studi tentang kondisi dan proses yang berkontribusi pada pertumbuhan atau fungsi optimal orang, kelompok, dan institusi. Sementara itu, Peterson (2006) salah satu co-initiator dari psikologi positif, mendefinisikan psikologi positif sebagai studi ilmiah mengenai hal-hal baik yang terjadi dalam hidup manusia. Psikologi positif memelajari pengalaman subjektif manusia seperti: kesejahteraan, kecukupan hati, dan kepuasan (di masa lalu); harapan dan optimisme (untuk masa depan); dan flow maupun kebahagiaan (di masa sekarang) (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Psikologi tidak hanya lagi berfokus pada upaya untuk memperbaiki hal-hal buruk pada manusia, tetapi juga untuk membangun kualitas-kualitas positif pada hidup seseorang (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Artinya, psikologi positif merupakan sebuah gerakan psikologi yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan mengoptimalkan fungsi manusia melalui pengembangan hal-hal positif yang dimiliki oleh orang tersebut.
Psikologi positif berakar dari psikologi
humanisme yang pembahasannya fokus pada
kebermaknaan dan kebahagiaan. Sejak
munculnya psikologi positif, kajian-kajian
tentang kebermaknaan dan kebahagiaan
tumbuh subur dan mengemuka di kalangan
tokoh-tokoh psikologi positif,Kajian mengenai psikologi positif telah
menarik minat banyak kalangan, tidak hanya
mereka dari kalangan akademisi melainkan
juga para praktisi, dan masyarakat luas yang
haus akan pentingnya peningkatan kualitas
hidup mereka. Animo mereka salah satunya
ditunjukkan oleh banyaknya peminat kajian
ataupun courses yang diselenggarakan di
Harvard University pada tahun 2006, kala itu
kajian psikologi positif menjadi kajian yang
sangat popular. Fenomena ini sekaligus
menunjukkan bahwa perkembangan ilmu
psikologi belum mampu memuaskan dahaga
orang-orang Barat yang notabene hidup
gersang bebas dari nilai-nilai kebahagiaan.
4.Makna Kebahagiaan
Menurut Seligman (2002) kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif dimana seseorang memiliki emosi positif berupa kepuasan hidup dan juga pikiran dan perasaan yang positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Emosi positif bisa tentang masa lalu, masa sekarang, atau masa depan, dengan mempelajari ketiga macam kebahagiaan ini, seseorang bisa menggerakkan emosi kearah yang positif dengan mengubah perasaan tentang masa lalu, cara berpikir tentang masa depan, dan cara menjalani masa sekarang. Kebahagiaan jangka panjang muncul meningkat sejalan dengan banyaknya emosi positif yang dialami seseorang pada saat mengingat masa lalu, menatap masa mendatang, dan menjalani masa kini. Emosi positif tentang masa lalu mencakup kepuasan, kelegaan, kesuksesan, kebanggan dan kedamaian.
5.Faktor Faktor Kebahagiaan
Kebahagiaan (happiness) menjadi isu
sentral yang didiskusikan dalam psikologi
positif. Ada banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam kebahagiaan.Meskipun
“kebahagiaan” dapat digunakan untuk merefer
banyak hal, namun sebagian besar psikolog
yang intens mengkaji tentang kebahagiaan
mengerucut dengan tema-tema di bawah ini.
1. Harta
Meskipun pepatah mengatakan
bahwa “bertambahnya harta kekayaaan
tidak mencerminkan kebahagiaan”,
namun hasil-hasil riset menunjukkan
adanya korelasi positif antara kekayaan
dengan kebahagiaan. Para peneliti
membandingkan kesejahteraan subjektif
rata-rata orang-orang yang tinggal di
Negara-negara kaya dan di negaranegara miskin. Hasil penelitian
menunjukkan mereka yang hidup di
Negara-negara kaya memiliki indeks
kebahagiaan yang lebih tinggi
dibandingkan mereka yang tinggal di
Negara-negara miskin. Namun demikian
perbandingan kebahagiaan lintas Negara
ini sangat sukar untuk dipahami, karena
variabel kebahagiaan berkorelasi dengan
berbagai faktor hidup lainnya.
Apabila kita melontarkan
pertanyaan “apakah memiliki banyak
uang akan membuat anda bahagia?”
Setiap orang tentu memiliki jawaban
yang beragam, namun secara garis besar
dapat ditebak bahwa anda bahagia,
dibandingkan apabila anda hanya
memiliki sedikit uang. Tapi sejauhmana
uang dapat meningkatkan kebahagiaan?
Apakah pengaruhnya dapat bertahan
lama, atau hanya sekedar sesaat?
Menurut hasil riset bahwa harta
kekayaan memang dapat meningkatkan
kebahagiaan, namun sifatnya sementara.
2. Pernikahan
Ada seorang kawan mengatakan
semenjak ia menikah ia merasa
terbelenggu oleh ikatan pernikahan itu.
Kehadiran istri yang semula
dibayangkan akan memberikan
ketenangan dan kelancaran kegiatannya justru dirasanya menjadi penghambat.
Atau sebagaimana dikatakan oleh
Kierkegaard: “lebih baik saya dihukum
gantung daripada menjalani pernikahan
yang tidak bahagia”. Namun ada pula
yang mengatakan “jikalau saya tahu
bahwa pernikahan itu nikmat seperti ini,
tentu saya akan menikah sejak
dulu”.Selain adanya dua dikotomi
pandangan, terdapat pandangan yang
pesimistis tentang pengaruh pernikahan
terhadap kebahagiaan. Pandangan
pertama mengatakan bahwa kebahagiaan
yang dapat diraih dalam pernikahan
disebabkan karena sebelum menikah
kedua pasangan telah terlebih dahulu
bahagia, atau orang yang bahagia lebih
memungkinkan untuk menemukan
pasangan hidup dibandingkan dengan
orang yang tidak bahagia. Pandangan
kedua orang yang depresi akan
menampilkan sikap dan perilaku yang
tidak menarik, mereka berkutat pada
orientasi diri, dan sulit untuk bekerja
sama, sehingga ketika mereka menjalin
hubungan mereka menjadi pasangan
yang menyebalkan. Dan kalau
dipaksakan menikah maka pernikahan
mereka tidak bahagia (meskipun seiring
perjalanan waktu kebahagiaan bisa saja
hadir).
3. Kehidupan sosial
Ada seorang kenalan di Belanda
yang hidupnya benar-benar
sebatangkara. Ia tidak memiliki anak,
istri, kakak, adik, orangtua, bahkan dia
mengaku tidak memiliki Tuhan (ateis).
Ia hanya punya satu sepupu, namun
tinggalnya jauh di Afrika Selatan.
Dalam kesendirian ia sering merasa
kesepian, tidak ada orang untuk berbagi.
Meskipun kini ia berlimpahan harta,
namun kesendirian membuatnya tidak
bahagia. Menurut Seligman&
Csikszentmihalyi (2000), orang yang
memiliki jalinan sosial memuaskan akan memiliki kebahagiaan. Banyaknya
teman yang sayang kepadanya, karakter
tetangga yang ramah dan
menyenangkan, serta anggota keluarga
yang selalu mendukung kegiatan dan
keputusan-keputusannya akan
menimbulkan kebahagiaan. Orang-orang
yang sangat bahagia, paling sedikit yang
memanfaatkan waktunya untuk
sendirian, sebagian besar waktunya
digunakan untuk kebersamaan.
4. Usia
Banyak kajian yang membahas
tentang hubungan antara bertambahnya
usia dengan kebahagiaan. Penelitian
yang dilakukan terhadap 60.000 orang
dewasa dari 40 bangsa membedakan
kebahagiaan dalam tiga bagian:
1)
kepuasan hidup, kepuasan hidup
meningkat seiring dengan bertambahnya
usia;
2) afek menyenangkan,
bertambahnya usia membuatafek ini
sedikit melemah;
3) afek tidak
menyenangkan atau afek negatif tidak
berubah. Yang mengalami perubahan
adalah intensitas emosional, sedangkan
perasaan “mencapai puncak tertinggi
kehidupan” dan rasa “terpuruk dengan
penyesalan” akan berkurang sejalan
dengan bertambahnya usia dan
pengalaman hidup (Seligman, 2000).
5. Kesehatan
Orang lain kadang-kadang
menanyakan kabar kita dengan
kalimat,”Apa kabar, sehat?”.Mengapa
kesehatan yang ditanyakan?Rata-rata
orang menanykan kabar kesehatan arena
meskipun orang banyak uang, tapi kalau
fisik tidak sehat dia tidak dapat
menikmati kekayaannya.Asumsinya
pusat dari kebahagiaan ada pada
kesehatan.Penjelasan di atas tidak
sepenuhnya salah, karena memang pada
kenyataannya orang yang berkurang
kesehatannya maka akan berkurang
kebahagiaannya. Namun demikian ternyata kondisi sehat tidak selalu
berkorelasi dengan kebahagiaan.Yang
berpengaruh terhadap kebahagiaan
adalah persepsi kita tentang kesehatan
itu.Saya teringat cerita Aa’ Gym tentang
adiknya yang kedua kakinya lumpuh,
meskipun kondisinya lumpuh dia tetap
bersemangat.Ia dapat memandang
kehidupan dunia lebih positif
dibandingkan dengan kakak-kakaknya
yang sehat secara fisik. Meskipun secara
fisik ia dikatakan sakit, namun dia tidak
pernah merasa demikian. Pandangannya
yang selalu positif terhadap kondisi
dirinya (orang lain melihatnya sebagai
penderitaan) membuatnya selalu
bahagia.
6. Agama
Yang terakhir adalah agama.Dua
aliran pendahulu yaitu aliran
psikoanalisa dan behaviourisme sering
mencerca para pemeluk agama.Misalnya
Freud berpandangan orang-orang yang
beragama (pemeluk agama) merupakan
kumpulan orang-orang neurotik, yang
mengalami ketakutan terhadap masa
depan yang belum tentu kebenarannya
(hari pembalasan). Ia juga mengatakan
agama itu hanyalah ilusi, dan perilaku
orang-orang yang percaya dengan
kebenaran agama sebagai perilaku aneh
dan tidak masuk akal. Sementara
beberapa penganut aliran behaviourisme
tidak kalah sinisnya dalam memahami
para pemeluk agama.Menurut mereka
kepercayaan manusia kepada Tuhan dan
ibadah untuk mengagungkan-Nya,
disamakan dengan perilaku takhayul
dari burung dara kelaparan yang secara
terus-menerus mengulangi gerakan
khusus berdasarkan prinsip
reinforcement.Oleh karenanya,
kehidupan beragama seseorang dapat
disederhanakan menjadi refleks-refleks
dan respon-respon yang terkondisi.
Pandangan-pandangan negatif
tentang agama dari kalangan ahli
psikologi di atas tampaknya tidak dapat
bertahan lama, dalam tigapuluh tahun
terakhir penelitian-penelitian tentang
peranan kehidupan beragama terhadap
kebahagiaan telah berkembang secara
massive. Misalnya: orang yang religious
lebih kecil kemungkinannya terlibat
kejahatan, penggunaan narkoba,
perkelahian, dan bunuh diri. Keluarga
yang dibangun atas dasar agama relatif
lebih kondusif dibandingkan keluarga
yang dibangun tanpa landasan
agama.Orang yang beragama relatif
lebih optimis dalam menjalani
kehidupan dan mereka lebih memiliki
harapan untuk terus berkembang.Di
Indonesia sendiri berkembang
penelitian-penelitian tentang pengaruh
kehidupan beragama terhadap
kebermaknaan hidup dan kebahagiaan,
hasilnya menunjukkan bahwa semakin
tinggi kualitas keberagamaan seseorang
maka semakin bermakna dan bahagia
hidupnya.
7. Rasa syukur
Dari sekian faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan, faktor rasa
syukur adalah faktor yang paling
menentukan. Menurtu Seligman, harta,
pernikahan, kehidupan sosial, usia,
kesehatan, dan agama, dapat membuat
kita bahagia. Namun kebahagiaan yang
ditimbulkannya bersifat
sementara.Menurutnya ada satu faktor
yang dapat membuat kita bahagia dalam
rentang kehidupan yang lama, yaitu rasa
syukur. Rasa syukur akan selalu
membuat kita bahagia. Rasa syukur
melintasi semua kondisi
kehidupan.Orang kaya belum tentu
bahagia, dan orang miskin belum tentu
menderita.Kuncinya satu, sejauhmana
rasa syukur mereka atas segala nikmat
yang mereka terima. Meskipun kita bergelimang kemewahan namun karena
kita tidak mensyukurinya, kita akan
selalu merasa kekurangan, sebaliknya
meskipun kita hidup dengan
kesederhanaan tapi kalau pada setiap
tarikan nafas kita selalu mensyukurinya
maka kita akan bahagia. Rasa syukur
tidak akan berkurang meski kondisi
telah berubah, ketika kita memiliki
mobil kita bersyukur, ketika mobil itu
harus dijual karena pertimbangan
kebutuhan dan kini kita punya sepeda
motor kita pun tidak berkurang rasa
syukurnya, dan pada gilirannya kita
harus menjual sepeda motor kita dan
kini digantikan dengan sepeda onthel
maka kitapun tetap mensyukurinya, dan
seterusnya. Selagi rasa syukur itu tetap
terpatri dalam sanubari kita, maka
kebahagiaan tetap bisa kita temukan
disana.
Tentunya kita akan semakin bahagia
apabila berhasil memadukan kualitas
beragama kita dengan rasa syukur.
Orang-orang Barat dapat
mengekspresikan rasa syukur, meskipun
mereka tidak beragama.Hanya saja
sebatas syukur, mereka tidak tahu
kepada siapa rasa syukur ditujukan,
karena sebagain besar mereka tidak
mempercayai adanya Tuhan.Yang
dimaksud dengan rasa syukur oleh
mereka adalah menikmati dan menerima
apapun kondisi yang ada.Sebenarnya
pengertian ini tidak begitu jauh berbeda
dengan pengertian rasa syukur menurut
kita, perbedaannya terletak kepada objek
tujuannya, yaitu Allah SWT. Kita
percaya bahwa Allah SWT akan selalu
menambah kenikmatan (baca
kebahagiaan) kepada kita jika kita selalu
bersyukur atas apapun yang Allah
berikan kepada kita.
6.Cara Meraih Kebahagiaan Yang Mempengaruhi Proses Pembentukan Kepribadian
Seligman (2005: 9) menjelaskan bahwa pada
kenyataannya individu menginginkan emosi positif, namun sering memilih
jalan pintas imajiner yang tak terhingga banyaknya untuk merasa bahagia,
seperti melalui narkotika, cokelat, seks tanpa cinta, berbelanja, masturbasi,
dan televisi. Kebahagiaan yang diperoleh dengan cara tersebut hanya bersifat
sementara, sehingga tidak akan menimbulkan kebahagiaan yang seutuhnya.
Kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan ketergantungan atau bahkan dapat
menimbulkan depresi.
Kebahagiaan sebagai emosi positif yang didapat melalui jalan pintas
akan mengurangi nilai kebahagiaan itu sendiri. Jalan pintas tersebut membuat
individu menjadi pribadi yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Seligman
(2005: 10) yaitu jika emosi positif yang terpisah dari penggunaan karakter
akan mengarah pada kepalsuan, kehampaan, depresi dan sejalan dengan
semakin menuanya manusia, ada kesadaran yang mengusik hati yaitu berupa
kegelisahan sepanjang hayat manusia. Kebahagiaan yang semu tersebut dapat
mengakibatkan kegelisahan bagi individu dalam menjalani kehidupan.
Adanya pengalaman negatif juga dapat menimbulkan emosi yang
negatif. Individu yang hidup dengan berusaha menjadi apa yang orang lain
inginkan akan membuat individu tersebut memiliki konsep diri yang
menyimpang. Akibatnya, pengalaman yang dialami individu yang tidak
8
selaras dengan konsep diri akan menimbulkan kecemasan (Muh. Farozin dan
Kartika Nur Fathiyah, 2004: 96).
Kurangnya kebahagiaan membuat individu terlihat murung dan seperti
mengucilkan diri dari lingkungan sekitar. Ketika muram, individu menjadi
gampang curiga, suka menyendiri, dan defensif berfokus pada kebutuhan diri
sendiri, sedangkan mementingkan diri sendiri lebih merupakan karakteristik
kesedihan daripada kebahagiaan (Seligman, 2005: 55). Kurangnya
kebahagiaan yang dialami individu mengakibatkan kepribadian dan
kehidupan sosial terganggu.
Ketidakbahagiaan dapat menimbulkan hancurnya penyesuaian diri baik
secara sosial maupun pribadi (Hurlock, 1997: 19). Individu yang kurang
bahagia memiliki penilaian yang negatif mengenai diri maupun kepada orang
yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu individu yang kurang bahagia memiliki
penyesuaian diri yang kurang baik. Apabila hal tersebut terus terjadi, maka
individu dapat mengalami kegagalan tugas perkembangan, khususnya pada
aspek pribadi dan sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA :
Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strength. New York: BrunnerRoutledg
Seligman, M. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfill-ment. New York: Free Press
Kadir Ruslan. (2014). Menggenjot Kebahagiaan Diakses dari
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/04/21/menggenjotkebahagiaan-649768.html. pada tanggal 4 januari 2020
0 komentar:
Posting Komentar