4.1.21

Teori Sosial Learning dari Martin Seligman dan Walter Mischel

Lidya Aritonang

19310410033

FX Wahyu Widiantoro, S.Psi., M.A.

1.Profil Martin Seligman

 Martin Elias Peter Seligman lahir pada 12 Agustus 1942 di negara bagian New York, Albany, di Amerika Serikat. Di Albany saya akan belajar selama pendidikan dasar dan menengah. Setelah selesai yang satu ini akan mendaftar di Universitas Princeton untuk menghadiri lomba Filsafat, pada tahun 1960.

Dia lulus pada tahun 1964, melakukannya dengan pujian maksimum dengan gelar Summa cum laude. Setelah itu, ia akan menerima tawaran dari berbagai universitas untuk melanjutkan studinya dengan mereka, dengan penulis memilih University of Pennsylvania. Ia belajar Psikologi Hewan, memperoleh gelar doktor dalam bidang psikologi pada tahun 1967.


2.Profil walter Mischael

Walter Mischel lahir pada 22 Februari 1930 di Wina, Austria. Delapan tahun kemudian, ia dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat karena pendudukan Nazi baru-baru ini. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, putra pengusaha Salomón Mischel dan Lola Leah Schreck yang adalah seorang ibu rumah tangga.

Mischel tumbuh di Brooklyn, New York dari tahun 1940, di mana ia belajar di sekolah menengah, serta pendidikan universitas di universitas negeri, ketika bekerja dalam bisnis keluarganya. Meskipun telah memulai studi medisnya, Mischel akhirnya tertarik pada psikologi, terutama dalam aplikasi klinisnya.

Maka, pada tahun 1956, Mischel memperoleh gelar doktor dalam psikologi klinis dari Ohio State University, di mana ia dilatih oleh salah satu psikolog yang paling dikenal di klinik perilaku kognitif, George Kelly. Itu juga merupakan faktor penentu dalam pelatihan profesionalnya Julian Rotter, seorang psikolog yang diingat karena meletakkan dasar-dasar teori locus of control.

Setelah itu ia bertugas selama dua tahun sebagai profesor dan peneliti di Universitas Colorado, selama dua tahun di Universitas Harvard dan selama waktu yang sama di Universitas Stanford.

3.Peranan Psikologi Positif pada Kepribadian

Psikologi positif dipelopori pertama kali oleh Martin Seligman, seorang profesor psikologi dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat, pada tahun 1998. Kala itu beliau menjabat sebagai presiden dari American Psychological Association (APA), sebuah organisasi psikologi yang diakui secara global dan menjadi acuan bagi berbagai lembaga psikologi lainnya di dunia. Seligman mengklaim dalam salah satu bukunya (2002), "selama setengah abad terakhir psikologi telah dikonsumsi dengan satu topik saja - gangguan mental”. Melalui psikologi positif, Seligman mengkritisi psikologi yang selama ini memandang manusia secara negatif, dan menawarkan pendekatan baru dalam psikologi, yakni melalui sisi positif manusia.
 Sebenarnya, apa itu psikologi positif? Gable dan Haidt (2005) menyebut psikologi positif sebagai studi tentang kondisi dan proses yang berkontribusi pada pertumbuhan atau fungsi optimal orang, kelompok, dan institusi. Sementara itu, Peterson (2006) salah satu co-initiator dari psikologi positif, mendefinisikan psikologi positif sebagai studi ilmiah mengenai hal-hal baik yang terjadi dalam hidup manusia. Psikologi positif memelajari pengalaman subjektif manusia seperti: kesejahteraan, kecukupan hati, dan kepuasan (di masa lalu); harapan dan optimisme (untuk masa depan); dan flow maupun kebahagiaan (di masa sekarang) (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Psikologi tidak hanya lagi berfokus pada upaya untuk memperbaiki hal-hal buruk pada manusia, tetapi juga untuk membangun kualitas-kualitas positif pada hidup seseorang (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Artinya, psikologi positif merupakan sebuah gerakan psikologi yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan mengoptimalkan fungsi manusia melalui pengembangan hal-hal positif yang dimiliki oleh orang tersebut.
Psikologi positif berakar dari psikologi humanisme yang pembahasannya fokus pada kebermaknaan dan kebahagiaan. Sejak munculnya psikologi positif, kajian-kajian tentang kebermaknaan dan kebahagiaan tumbuh subur dan mengemuka di kalangan tokoh-tokoh psikologi positif,Kajian mengenai psikologi positif telah menarik minat banyak kalangan, tidak hanya mereka dari kalangan akademisi melainkan juga para praktisi, dan masyarakat luas yang haus akan pentingnya peningkatan kualitas hidup mereka. Animo mereka salah satunya ditunjukkan oleh banyaknya peminat kajian ataupun courses yang diselenggarakan di Harvard University pada tahun 2006, kala itu kajian psikologi positif menjadi kajian yang sangat popular. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa perkembangan ilmu psikologi belum mampu memuaskan dahaga orang-orang Barat yang notabene hidup gersang bebas dari nilai-nilai kebahagiaan.
4.Makna Kebahagiaan
Menurut Seligman (2002) kebahagiaan adalah keadaan psikologis yang positif dimana seseorang memiliki emosi positif berupa kepuasan hidup dan juga pikiran dan perasaan yang positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Emosi positif  bisa tentang masa lalu, masa sekarang, atau masa depan, dengan mempelajari ketiga macam kebahagiaan ini, seseorang bisa menggerakkan emosi kearah yang positif dengan mengubah perasaan tentang masa lalu, cara berpikir tentang masa depan, dan cara menjalani masa sekarang. Kebahagiaan jangka panjang muncul meningkat sejalan dengan banyaknya emosi positif yang dialami seseorang pada saat mengingat masa lalu, menatap masa mendatang, dan menjalani masa kini. Emosi positif tentang masa lalu mencakup kepuasan, kelegaan, kesuksesan, kebanggan dan kedamaian.

5.Faktor Faktor Kebahagiaan
Kebahagiaan (happiness) menjadi isu sentral yang didiskusikan dalam psikologi positif. Ada banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang berperan dalam kebahagiaan.Meskipun “kebahagiaan” dapat digunakan untuk merefer banyak hal, namun sebagian besar psikolog yang intens mengkaji tentang kebahagiaan mengerucut dengan tema-tema di bawah ini. 
1. Harta Meskipun pepatah mengatakan bahwa “bertambahnya harta kekayaaan tidak mencerminkan kebahagiaan”, namun hasil-hasil riset menunjukkan adanya korelasi positif antara kekayaan dengan kebahagiaan. Para peneliti membandingkan kesejahteraan subjektif rata-rata orang-orang yang tinggal di Negara-negara kaya dan di negaranegara miskin. Hasil penelitian menunjukkan mereka yang hidup di Negara-negara kaya memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di Negara-negara miskin. Namun demikian perbandingan kebahagiaan lintas Negara ini sangat sukar untuk dipahami, karena variabel kebahagiaan berkorelasi dengan berbagai faktor hidup lainnya. Apabila kita melontarkan pertanyaan “apakah memiliki banyak uang akan membuat anda bahagia?” Setiap orang tentu memiliki jawaban yang beragam, namun secara garis besar dapat ditebak bahwa anda bahagia, dibandingkan apabila anda hanya memiliki sedikit uang. Tapi sejauhmana uang dapat meningkatkan kebahagiaan? Apakah pengaruhnya dapat bertahan lama, atau hanya sekedar sesaat? Menurut hasil riset bahwa harta kekayaan memang dapat meningkatkan kebahagiaan, namun sifatnya sementara. 
2. Pernikahan Ada seorang kawan mengatakan semenjak ia menikah ia merasa terbelenggu oleh ikatan pernikahan itu. Kehadiran istri yang semula dibayangkan akan memberikan ketenangan dan kelancaran kegiatannya justru dirasanya menjadi penghambat. Atau sebagaimana dikatakan oleh Kierkegaard: “lebih baik saya dihukum gantung daripada menjalani pernikahan yang tidak bahagia”. Namun ada pula yang mengatakan “jikalau saya tahu bahwa pernikahan itu nikmat seperti ini, tentu saya akan menikah sejak dulu”.Selain adanya dua dikotomi pandangan, terdapat pandangan yang pesimistis tentang pengaruh pernikahan terhadap kebahagiaan. Pandangan pertama mengatakan bahwa kebahagiaan yang dapat diraih dalam pernikahan disebabkan karena sebelum menikah kedua pasangan telah terlebih dahulu bahagia, atau orang yang bahagia lebih memungkinkan untuk menemukan pasangan hidup dibandingkan dengan orang yang tidak bahagia. Pandangan kedua orang yang depresi akan menampilkan sikap dan perilaku yang tidak menarik, mereka berkutat pada orientasi diri, dan sulit untuk bekerja sama, sehingga ketika mereka menjalin hubungan mereka menjadi pasangan yang menyebalkan. Dan kalau dipaksakan menikah maka pernikahan mereka tidak bahagia (meskipun seiring perjalanan waktu kebahagiaan bisa saja hadir).
 3. Kehidupan sosial Ada seorang kenalan di Belanda yang hidupnya benar-benar sebatangkara. Ia tidak memiliki anak, istri, kakak, adik, orangtua, bahkan dia mengaku tidak memiliki Tuhan (ateis). Ia hanya punya satu sepupu, namun tinggalnya jauh di Afrika Selatan. Dalam kesendirian ia sering merasa kesepian, tidak ada orang untuk berbagi. Meskipun kini ia berlimpahan harta, namun kesendirian membuatnya tidak bahagia. Menurut Seligman& Csikszentmihalyi (2000), orang yang memiliki jalinan sosial memuaskan akan memiliki kebahagiaan. Banyaknya teman yang sayang kepadanya, karakter tetangga yang ramah dan menyenangkan, serta anggota keluarga yang selalu mendukung kegiatan dan keputusan-keputusannya akan menimbulkan kebahagiaan. Orang-orang yang sangat bahagia, paling sedikit yang memanfaatkan waktunya untuk sendirian, sebagian besar waktunya digunakan untuk kebersamaan.
 4. Usia Banyak kajian yang membahas tentang hubungan antara bertambahnya usia dengan kebahagiaan. Penelitian yang dilakukan terhadap 60.000 orang dewasa dari 40 bangsa membedakan kebahagiaan dalam tiga bagian: 
1) kepuasan hidup, kepuasan hidup meningkat seiring dengan bertambahnya usia; 
2) afek menyenangkan, bertambahnya usia membuatafek ini sedikit melemah; 
3) afek tidak menyenangkan atau afek negatif tidak berubah. Yang mengalami perubahan adalah intensitas emosional, sedangkan perasaan “mencapai puncak tertinggi kehidupan” dan rasa “terpuruk dengan penyesalan” akan berkurang sejalan dengan bertambahnya usia dan pengalaman hidup (Seligman, 2000). 
5. Kesehatan Orang lain kadang-kadang menanyakan kabar kita dengan kalimat,”Apa kabar, sehat?”.Mengapa kesehatan yang ditanyakan?Rata-rata orang menanykan kabar kesehatan arena meskipun orang banyak uang, tapi kalau fisik tidak sehat dia tidak dapat menikmati kekayaannya.Asumsinya pusat dari kebahagiaan ada pada kesehatan.Penjelasan di atas tidak sepenuhnya salah, karena memang pada kenyataannya orang yang berkurang kesehatannya maka akan berkurang kebahagiaannya. Namun demikian ternyata kondisi sehat tidak selalu berkorelasi dengan kebahagiaan.Yang berpengaruh terhadap kebahagiaan adalah persepsi kita tentang kesehatan itu.Saya teringat cerita Aa’ Gym tentang adiknya yang kedua kakinya lumpuh, meskipun kondisinya lumpuh dia tetap bersemangat.Ia dapat memandang kehidupan dunia lebih positif dibandingkan dengan kakak-kakaknya yang sehat secara fisik. Meskipun secara fisik ia dikatakan sakit, namun dia tidak pernah merasa demikian. Pandangannya yang selalu positif terhadap kondisi dirinya (orang lain melihatnya sebagai penderitaan) membuatnya selalu bahagia. 
6. Agama Yang terakhir adalah agama.Dua aliran pendahulu yaitu aliran psikoanalisa dan behaviourisme sering mencerca para pemeluk agama.Misalnya Freud berpandangan orang-orang yang beragama (pemeluk agama) merupakan kumpulan orang-orang neurotik, yang mengalami ketakutan terhadap masa depan yang belum tentu kebenarannya (hari pembalasan). Ia juga mengatakan agama itu hanyalah ilusi, dan perilaku orang-orang yang percaya dengan kebenaran agama sebagai perilaku aneh dan tidak masuk akal. Sementara beberapa penganut aliran behaviourisme tidak kalah sinisnya dalam memahami para pemeluk agama.Menurut mereka kepercayaan manusia kepada Tuhan dan ibadah untuk mengagungkan-Nya, disamakan dengan perilaku takhayul dari burung dara kelaparan yang secara terus-menerus mengulangi gerakan khusus berdasarkan prinsip reinforcement.Oleh karenanya, kehidupan beragama seseorang dapat disederhanakan menjadi refleks-refleks dan respon-respon yang terkondisi.
Pandangan-pandangan negatif tentang agama dari kalangan ahli psikologi di atas tampaknya tidak dapat bertahan lama, dalam tigapuluh tahun terakhir penelitian-penelitian tentang peranan kehidupan beragama terhadap kebahagiaan telah berkembang secara massive. Misalnya: orang yang religious lebih kecil kemungkinannya terlibat kejahatan, penggunaan narkoba, perkelahian, dan bunuh diri. Keluarga yang dibangun atas dasar agama relatif lebih kondusif dibandingkan keluarga yang dibangun tanpa landasan agama.Orang yang beragama relatif lebih optimis dalam menjalani kehidupan dan mereka lebih memiliki harapan untuk terus berkembang.Di Indonesia sendiri berkembang penelitian-penelitian tentang pengaruh kehidupan beragama terhadap kebermaknaan hidup dan kebahagiaan, hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas keberagamaan seseorang maka semakin bermakna dan bahagia hidupnya. 
7. Rasa syukur Dari sekian faktor yang mempengaruhi kebahagiaan, faktor rasa syukur adalah faktor yang paling menentukan. Menurtu Seligman, harta, pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, dan agama, dapat membuat kita bahagia. Namun kebahagiaan yang ditimbulkannya bersifat sementara.Menurutnya ada satu faktor yang dapat membuat kita bahagia dalam rentang kehidupan yang lama, yaitu rasa syukur. Rasa syukur akan selalu membuat kita bahagia. Rasa syukur melintasi semua kondisi kehidupan.Orang kaya belum tentu bahagia, dan orang miskin belum tentu menderita.Kuncinya satu, sejauhmana rasa syukur mereka atas segala nikmat yang mereka terima. Meskipun kita bergelimang kemewahan namun karena kita tidak mensyukurinya, kita akan selalu merasa kekurangan, sebaliknya meskipun kita hidup dengan kesederhanaan tapi kalau pada setiap tarikan nafas kita selalu mensyukurinya maka kita akan bahagia. Rasa syukur tidak akan berkurang meski kondisi telah berubah, ketika kita memiliki mobil kita bersyukur, ketika mobil itu harus dijual karena pertimbangan kebutuhan dan kini kita punya sepeda motor kita pun tidak berkurang rasa syukurnya, dan pada gilirannya kita harus menjual sepeda motor kita dan kini digantikan dengan sepeda onthel maka kitapun tetap mensyukurinya, dan seterusnya. Selagi rasa syukur itu tetap terpatri dalam sanubari kita, maka kebahagiaan tetap bisa kita temukan disana. Tentunya kita akan semakin bahagia apabila berhasil memadukan kualitas beragama kita dengan rasa syukur. 
Orang-orang Barat dapat mengekspresikan rasa syukur, meskipun mereka tidak beragama.Hanya saja sebatas syukur, mereka tidak tahu kepada siapa rasa syukur ditujukan, karena sebagain besar mereka tidak mempercayai adanya Tuhan.Yang dimaksud dengan rasa syukur oleh mereka adalah menikmati dan menerima apapun kondisi yang ada.Sebenarnya pengertian ini tidak begitu jauh berbeda dengan pengertian rasa syukur menurut kita, perbedaannya terletak kepada objek tujuannya, yaitu Allah SWT. Kita percaya bahwa Allah SWT akan selalu menambah kenikmatan (baca kebahagiaan) kepada kita jika kita selalu bersyukur atas apapun yang Allah berikan kepada kita.
6.Cara Meraih Kebahagiaan Yang Mempengaruhi Proses Pembentukan Kepribadian
Seligman (2005: 9) menjelaskan bahwa pada kenyataannya individu menginginkan emosi positif, namun sering memilih jalan pintas imajiner yang tak terhingga banyaknya untuk merasa bahagia, seperti melalui narkotika, cokelat, seks tanpa cinta, berbelanja, masturbasi, dan televisi. Kebahagiaan yang diperoleh dengan cara tersebut hanya bersifat sementara, sehingga tidak akan menimbulkan kebahagiaan yang seutuhnya. Kegiatan-kegiatan tersebut menimbulkan ketergantungan atau bahkan dapat menimbulkan depresi. Kebahagiaan sebagai emosi positif yang didapat melalui jalan pintas akan mengurangi nilai kebahagiaan itu sendiri. Jalan pintas tersebut membuat individu menjadi pribadi yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Seligman (2005: 10) yaitu jika emosi positif yang terpisah dari penggunaan karakter akan mengarah pada kepalsuan, kehampaan, depresi dan sejalan dengan semakin menuanya manusia, ada kesadaran yang mengusik hati yaitu berupa kegelisahan sepanjang hayat manusia. Kebahagiaan yang semu tersebut dapat mengakibatkan kegelisahan bagi individu dalam menjalani kehidupan. Adanya pengalaman negatif juga dapat menimbulkan emosi yang negatif. Individu yang hidup dengan berusaha menjadi apa yang orang lain inginkan akan membuat individu tersebut memiliki konsep diri yang menyimpang. Akibatnya, pengalaman yang dialami individu yang tidak 8 selaras dengan konsep diri akan menimbulkan kecemasan (Muh. Farozin dan Kartika Nur Fathiyah, 2004: 96). Kurangnya kebahagiaan membuat individu terlihat murung dan seperti mengucilkan diri dari lingkungan sekitar. Ketika muram, individu menjadi gampang curiga, suka menyendiri, dan defensif berfokus pada kebutuhan diri sendiri, sedangkan mementingkan diri sendiri lebih merupakan karakteristik kesedihan daripada kebahagiaan (Seligman, 2005: 55). Kurangnya kebahagiaan yang dialami individu mengakibatkan kepribadian dan kehidupan sosial terganggu. Ketidakbahagiaan dapat menimbulkan hancurnya penyesuaian diri baik secara sosial maupun pribadi (Hurlock, 1997: 19). Individu yang kurang bahagia memiliki penilaian yang negatif mengenai diri maupun kepada orang yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu individu yang kurang bahagia memiliki penyesuaian diri yang kurang baik. Apabila hal tersebut terus terjadi, maka individu dapat mengalami kegagalan tugas perkembangan, khususnya pada aspek pribadi dan sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA :
Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human Strength. New York: BrunnerRoutledg
Seligman, M. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfill-ment. New York: Free Press
Kadir Ruslan. (2014). Menggenjot Kebahagiaan Diakses dari http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2014/04/21/menggenjotkebahagiaan-649768.html. pada tanggal 4 januari 2020

0 komentar:

Posting Komentar