9.1.21

Resiliensi terhadap perlakuan kepada barang bekas yang dapat menjadikan perilaku hoarding disorder

 

Resiliensi terhadap perlakuan kepada barang bekas yang dapat menjadikan perilaku hoarding disorder


Hesmi nurhidayatun

Fakultas Psikologi Universitas 45

Yogyakarta

Ujian Psikologi Inovasi

Dosen Pengampu: Arundati Shinta 



Mengoleksi suatu benda adalah hal yang umum untuk dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat indonesia. Sedangkan ada beberapa orang yang mengoleksi barang -barang yang terbilang tidak umum, seperti tali, buku telepon, serta benda-benda lainnya. Bukan tanpa alasan banyak masyarakat mengumpulkan barang barang bekas tersebut, barang bekas yang telah terkumpul nantinya akan di bawa dan di timbang pada bank sampah, sehingga hasil dari mengumpulkan barang barang bekas tersebut nantinya akan menjadi pendapatan tambahan bagi masyarakat. Karena hal ini banyak tempat tempat yang mendirikan bank-bank sampah agar masyarakat dapat menyetorkan sampah sampah tertentu yang telah di tetapkan oleh bank sampah di tempat tersebut.

Aktivitas dan perilaku mengoleksi sendiri dibedakan dari perilaku konsumtif seperti pengumpulan benda atau akumulasi, kepemilikan, dan penimbunan. Hal ini dikarenakan apabila aktivitas dan perilaku mengoleksi barang sudah melebihi batasnya, perilaku berikut dapat disebut berkembang menjadi hoarding disorder. Hoarding disorder, adalah gangguan psikopatologis yang dapat ditimbulkan dari kesulitan bagi seorang individu untuk membuang dan melanjutkan aktivitas mengoleksi benda yang bersifat tidak terlalu penting (American Psychiatric Association, 2013).

Penderita seringkali tidak dapat membuang barang-barang apapun yang disimpannya, bahkan untuk barang-barang yang sudah tidak memiliki nilai ekonomi. Mereka menyimpan barang-barang tersebut karena mereka, secara berlebihan, berpikir bahwa barang-barang tersebut mungkin akan mereka butuhkan lagi di masa mendatang. Penderita hoarding disorder yang kerap menumpuk barang barang yang tidak tidak berharga di dalam rumah yang secara terus menerus juga dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup seseorang. Menimbun barang-barang membuat lingkungan tempat tinggal menjadi lebih sempit dan kadang menjadi lebih kotor karena sulit dibersihkan. Lingkungan yang kotor dan lembap akibat banyak barang tentu menyebabkan kuman penyakit mudah berkembang biak. Intensitas gangguan ini bervariasi dari ringan hingga berat.

Barang-barang yang disimpan penderita hoarding disorder beragam, mulai dari koran, buku, plastik bekas makanan, benda kenangan, pakaian, struk belanja, alat rumah tangga, tas plastik, hingga barang-barang bekas yang sudah kotor dan rusak. Berbeda dengan kolektor barang yang mampu merawat dan menata barang-barang koleksinya dengan baik, penderita hoarding disorder, menyimpan barang-barang secara sembarangan dan tidak merawatnya. Sehingga timbunan barang miliknya hanya akan memenuhi rumah, membuat ruang gerak menjadi terbatas, dan bisa membawa dampak buruk terhadap kesehatan.

Tidak hanya bagi si hoarder saja, anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengannya juga ikut terdampak. Mereka dapat marah dan frustasi dengan apa yang dilakukan hoarder. Konflik dalam keluarga, seperti perceraian dan perkembangan anak yang terganggu mungkin untuk terjadi pada keluarga dengan hoarding disorder. Penderita hoarding disorder yang menyimpan barang barang bekas memiliki kepuasan tersendiri didalam dirinya.

Dalam hal ini penderita hoarding disorder erat kaitanya dengan depresi  gangguan depresi dinilai menjadi masalah serius yang sering terjadi pada masa remaja. Menurut Kessler, Avenevoli, & Merikangas, (2001) Hasil penelitian menunjukkan bahwa fenomena depresi pada dasarnya meningkat secara signifikan selama masa remaja, dan diperkiraan prevalensi depresi berat selama masa remaja mencapai 14-20%.

Dampak negatif dari depresi terhadap kehidupan remaja, membuat remaja perlu memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai kesulitan. Kualitas pribadi yang memungkinkan seseorang untuk berkembang dalam menghadapi kesulitan disebut sebagai resiliensi dalam hal ini remaja harus memiliki kemampuan resiliensi yang baik, sehingga remaja mampu mengatasi tekanan kehidupan yang dihadapinya sehari-hari .

Selain resiliensi, hal lain yang perlu dimiliki oleh remaja untuk mencegah kemunculan depresi adalah kemampuan sosial mereka, kemampuan sosial dinilai penting keberhasilan seseorang dalam menjalin hubungan sosial dengan orang lain dapat dilihat dari kemampuannya dalam memahami kondisi dan perasaan orang lain. Akan tetapi apabila seorang remaja kurang dalam kemampuan memahami emosi orang ain (empati), sehingga penurunan kemampuan memahami orang lain ini berhubungan juga dengan adanya gejala depresi. Individu yang mengalami kegagalan, akan berdampak pada ketidak bahagiaan, mengalami gangguan psikososial, ketidakstabilan emosi, bahkan pada akhirnya dapat memunculkan gangguan depresi.

Selain erat kaitannya dengan depresi hoarding disorder juga berkaitan dengan gangguan kecemasan, kecemasan berasal dari kata Latin anxius, yang berarti penyempitan atau pencekikan, kecemasan merupakan keadaan emosional negatif yang ditandai dengan adanya firasat dan somatik ketegangan, seperti hati berdetak kencang, berkeringat, kesulitan bernapas. Sehingga timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum jelas (Steven Schwartz, S 2000: 139).

Adler dan Rodman (dalam M. Nur Ghufron & Rini Risnawita, S, 2014: 145- 146) menyatakan terdapat dua faktor yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:

1.    Pengalaman negatif pada masa lalu Sebab utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu timbulnya rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan juga menimbulkan ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam mengikuti tes.

2.    Pikiran yang tidak rasional pikiran yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu:

a.    Kegagalan ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta perasaan ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi permaslaahannya.

b.    Kesempurnaan, individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku sempurna dan tidak memiliki cacat. Individu menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber yang dapat memberikan inspirasi.

c.    Persetujuan

d.    Generalisasi yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi pada orang yang memiliki sedikit pengalaman.

Penderita hoarding disorder merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk membuang atau berpisah dengan barang-barang yang dimilikinya, penderita yang menimbun barang bukan hanya sekedar mengumpulkan barang-barang, penderita juga  menunjukkan ikatan emosi yang sangat kuat pada barang-barang yang dimilikinya dan merasa bahwa rasa memiliki dapat memberikan kenyamanan dan keamanan baginya. Banyak penimbun yang mengakui perilaku menimbun barangnya atau hanya ingin menjaga barang-barang yang dimilikinya. Sayangnya, mereka tidak memahami masalah kesehatan dan keselamatan yang dapat muncul dari perilaku tersebut

Apabila penderita kehilangan barang-barang yang dimilikinya dapat membuatnya merasa seperti kehilangan separuh jiwanya. Perilaku seperti ini seringkali menyebabkan masalah, baik bagi penderita maupun orang-orang yang dicintainya, mereka mungkin tidak menganggap perilaku mereka sebagai sebuah masalah, dan seringkali tidak menyadari dampak dari perilaku mereka pada orang lain. Sehingga dalam hal ini apabila ada saudara ataupun teman terdekat yang menunjukan gejala hoarding disorder bisa di deteksi sedini mungkin untuk mencegah terjadinya gangguan yang lebih mendalam.

Daftar pustaka

American        Psychiatric      Associaton.     (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric Publishing. Washinton DC.

Kessler,           R.        C.,       Avenevoli,       S.         &          Merikangas,    K. R. (2001). Mood disorders inchildren and adolescents: An pidemiologic perspective. Biological Psychiatry, 49:1002–1014.

M.        Nur Ghufron    &          Rini Risnawita,            S. (2014). Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar- Ruzz Media.

Steven             Schwartz,        S. (2000). Abnormal Psychology: a discovery approach. California: Mayfield PublishingCompany.

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar