Resiliensi terhadap perlakuan kepada barang bekas yang dapat menjadikan perilaku hoarding disorder
Hesmi nurhidayatun
Fakultas Psikologi Universitas 45
Yogyakarta
Mengoleksi suatu benda adalah hal yang
umum untuk dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat indonesia. Sedangkan ada
beberapa orang yang mengoleksi barang -barang yang terbilang tidak umum, seperti
tali, buku telepon, serta benda-benda lainnya. Bukan tanpa alasan banyak
masyarakat mengumpulkan barang barang bekas tersebut, barang bekas yang telah
terkumpul nantinya akan di bawa dan di timbang pada bank sampah, sehingga hasil
dari mengumpulkan barang barang bekas tersebut nantinya akan menjadi pendapatan
tambahan bagi masyarakat. Karena hal ini banyak tempat tempat yang mendirikan
bank-bank sampah agar masyarakat dapat menyetorkan sampah sampah tertentu yang
telah di tetapkan oleh bank sampah di tempat tersebut.
Aktivitas dan perilaku mengoleksi
sendiri dibedakan dari perilaku konsumtif seperti pengumpulan benda atau
akumulasi, kepemilikan, dan penimbunan. Hal ini dikarenakan apabila aktivitas
dan perilaku mengoleksi barang sudah melebihi batasnya, perilaku berikut dapat
disebut berkembang menjadi hoarding disorder. Hoarding disorder, adalah
gangguan psikopatologis yang dapat ditimbulkan dari kesulitan bagi seorang
individu untuk membuang dan melanjutkan aktivitas mengoleksi benda yang
bersifat tidak terlalu penting (American Psychiatric Association, 2013).
Penderita seringkali tidak dapat
membuang barang-barang apapun yang disimpannya, bahkan untuk barang-barang yang
sudah tidak memiliki nilai ekonomi. Mereka menyimpan barang-barang tersebut
karena mereka, secara berlebihan, berpikir bahwa barang-barang tersebut mungkin
akan mereka butuhkan lagi di masa mendatang. Penderita hoarding disorder yang
kerap menumpuk barang barang yang tidak tidak berharga di dalam rumah yang
secara terus menerus juga dapat menyebabkan menurunnya kualitas hidup seseorang.
Menimbun barang-barang membuat lingkungan tempat tinggal menjadi lebih sempit
dan kadang menjadi lebih kotor karena sulit dibersihkan. Lingkungan yang kotor
dan lembap akibat banyak barang tentu menyebabkan kuman penyakit mudah
berkembang biak. Intensitas gangguan ini bervariasi dari ringan hingga berat.
Barang-barang yang disimpan penderita
hoarding disorder beragam, mulai dari koran, buku, plastik bekas makanan, benda
kenangan, pakaian, struk belanja, alat rumah tangga, tas plastik, hingga
barang-barang bekas yang sudah kotor dan rusak. Berbeda dengan kolektor barang
yang mampu merawat dan menata barang-barang koleksinya dengan baik, penderita
hoarding disorder, menyimpan barang-barang secara sembarangan dan tidak
merawatnya. Sehingga timbunan barang miliknya hanya akan memenuhi rumah,
membuat ruang gerak menjadi terbatas, dan bisa membawa dampak buruk terhadap
kesehatan.
Tidak hanya bagi si hoarder saja,
anggota keluarga lain yang tinggal serumah dengannya juga ikut terdampak.
Mereka dapat marah dan frustasi dengan apa yang dilakukan hoarder. Konflik
dalam keluarga, seperti perceraian dan perkembangan anak yang terganggu mungkin
untuk terjadi pada keluarga dengan hoarding disorder. Penderita hoarding
disorder yang menyimpan barang barang bekas memiliki kepuasan tersendiri
didalam dirinya.
Dalam hal ini penderita hoarding
disorder erat kaitanya dengan depresi gangguan
depresi dinilai menjadi masalah serius yang sering terjadi pada masa remaja.
Menurut Kessler, Avenevoli, & Merikangas, (2001) Hasil penelitian menunjukkan
bahwa fenomena depresi pada dasarnya meningkat secara signifikan selama masa
remaja, dan diperkiraan prevalensi depresi berat selama masa remaja mencapai
14-20%.
Dampak negatif dari depresi terhadap
kehidupan remaja, membuat remaja perlu memiliki kemampuan untuk menghadapi
berbagai kesulitan. Kualitas pribadi yang memungkinkan seseorang untuk
berkembang dalam menghadapi kesulitan disebut sebagai resiliensi dalam hal ini
remaja harus memiliki kemampuan resiliensi yang baik, sehingga remaja mampu
mengatasi tekanan kehidupan yang dihadapinya sehari-hari .
Selain resiliensi, hal lain yang perlu
dimiliki oleh remaja untuk mencegah kemunculan depresi adalah kemampuan sosial
mereka, kemampuan sosial dinilai penting keberhasilan seseorang dalam menjalin
hubungan sosial dengan orang lain dapat dilihat dari kemampuannya dalam
memahami kondisi dan perasaan orang lain. Akan tetapi apabila seorang remaja
kurang dalam kemampuan memahami emosi orang ain (empati), sehingga penurunan
kemampuan memahami orang lain ini berhubungan juga dengan adanya gejala depresi.
Individu yang mengalami kegagalan, akan berdampak pada ketidak bahagiaan,
mengalami gangguan psikososial, ketidakstabilan emosi, bahkan pada akhirnya
dapat memunculkan gangguan depresi.
Selain erat kaitannya dengan depresi
hoarding disorder juga berkaitan dengan gangguan kecemasan, kecemasan berasal
dari kata Latin anxius, yang berarti penyempitan atau pencekikan, kecemasan
merupakan keadaan emosional negatif yang ditandai dengan adanya firasat dan
somatik ketegangan, seperti hati berdetak kencang, berkeringat, kesulitan
bernapas. Sehingga timbulnya rasa tidak nyaman pada diri seseorang, dan
merupakan pengalaman yang samar-samar disertai dengan perasaan yang tidak
berdaya serta tidak menentu yang disebabkan oleh suatu hal yang belum jelas (Steven
Schwartz, S 2000: 139).
Adler dan Rodman (dalam M. Nur Ghufron
& Rini Risnawita, S, 2014: 145- 146) menyatakan terdapat dua faktor yang
dapat menimbulkan kecemasan, yaitu:
1. Pengalaman negatif pada masa lalu Sebab
utama dari timbulnya rasa cemas kembali pada masa kanak-kanak, yaitu timbulnya
rasa tidak menyenangkan mengenai peristiwa yang dapat terulang lagi pada masa
mendatang, apabila individu menghadapi situasi yang sama dan juga menimbulkan
ketidaknyamanan, seperti pengalaman pernah gagal dalam mengikuti tes.
2. Pikiran yang tidak rasional pikiran
yang tidak rasional terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a.
Kegagalan
ketastropik, yaitu adanya asumsi dari individu bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi pada dirinya. Individu mengalami kecemasan serta perasaan
ketidakmampuan dan ketidaksanggupan dalam mengatasi permaslaahannya.
b.
Kesempurnaan,
individu mengharapkan kepada dirinya untuk berperilaku sempurna dan tidak memiliki
cacat. Individu menjadikan ukuran kesempurnaan sebagai sebuah target dan sumber
yang dapat memberikan inspirasi.
c.
Persetujuan
d.
Generalisasi
yang tidak tepat, yaitu generalisasi yang berlebihan, ini terjadi pada orang
yang memiliki sedikit pengalaman.
Penderita hoarding disorder merupakan
kondisi klinis yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk membuang
atau berpisah dengan barang-barang yang dimilikinya, penderita yang menimbun
barang bukan hanya sekedar mengumpulkan barang-barang, penderita juga menunjukkan ikatan emosi yang sangat kuat pada
barang-barang yang dimilikinya dan merasa bahwa rasa memiliki dapat memberikan
kenyamanan dan keamanan baginya. Banyak penimbun yang mengakui perilaku
menimbun barangnya atau hanya ingin menjaga barang-barang yang dimilikinya.
Sayangnya, mereka tidak memahami masalah kesehatan dan keselamatan yang dapat
muncul dari perilaku tersebut
Apabila penderita kehilangan
barang-barang yang dimilikinya dapat membuatnya merasa seperti kehilangan
separuh jiwanya. Perilaku seperti ini seringkali menyebabkan masalah, baik bagi
penderita maupun orang-orang yang dicintainya, mereka mungkin tidak menganggap
perilaku mereka sebagai sebuah masalah, dan seringkali tidak menyadari dampak
dari perilaku mereka pada orang lain. Sehingga dalam hal ini apabila ada
saudara ataupun teman terdekat yang menunjukan gejala hoarding disorder bisa di
deteksi sedini mungkin untuk mencegah terjadinya gangguan yang lebih mendalam.
Daftar pustaka
American Psychiatric Associaton. (2013). Diagnostic
And Statistical Manual of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC:
American Psychiatric Publishing. Washinton DC.
Kessler, R. C., Avenevoli, S. & Merikangas, K. R. (2001). Mood disorders inchildren and adolescents: An pidemiologic
perspective. Biological Psychiatry,
49:1002–1014.
M. Nur Ghufron & Rini
Risnawita, S. (2014). Teori-Teori Psikologi. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media.
Steven Schwartz, S. (2000). Abnormal
Psychology: a discovery approach. California: Mayfield PublishingCompany.
0 komentar:
Posting Komentar