Andi
Purnawan / 19310410002
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Dosen
Pembimbing: Dr. Arundati Shinta, MA
Demonstrasi
merupakan suatu unjuk rasa guna menyampaikan aspirasi maupun bentuk penolakan
dalam suatu keputusan atau kebijakan. Aksi demonstrasi menjadi bentuk tidak
terimanya suatu massa terhadap isu-isu tertentu. Isu tersebut sangatlah beragam,
baik di bidang hukum, sosial, pendidikan, kesehatan, agama, dan masih banyak
lagi. Tujuan dari demo itu sendiri yaitu meminta suatu penjelasan bahkan sampai
pencabutan terhadap keputusan oleh lembaga yang dituju. Demonstrasi dianggap
lebih efektif karena mudah, cepat, dan bisa langsung diakses oleh pengambil
kebijakan (Ramli, 2019). Demonstrasi lazimnya dilakukan oleh banyak massa,
mengingat tujuannya memperoleh suara demi kepentingan bersama. Namun, beda
halnya dengan cerita dari pengalaman penulis yang menyaksikan demonstrasi yang
tidak memiliki massa alias berdemo sendiri.
Peristiwa
ini berlangsung pada tahun 2017 saat penulis masih duduk di bangku Sekolah
Menengah Atas. Seperti hari-hari biasa, kegiatan belajar mengajar berjalan
dengan normal. Sampai pada waktu yang menunjukkan sekitar pukul 09.00 WIB
terdengan suara lantang dari luar gedung SMA. Saat sebagian guru dan siswa
mengecek ke depan aula, terlihat seorang perempuan yang berteriak-teriak sembari
mengangkat selembar kertas. Dia berkali-kali meneriakkan soal keadilan. Sekolah
kami memiliki kebijakan di saat KBM berlangsung maka gerbang utama sekolahan
ditutup. Hal itu yang membuat perempuan tersebut semakin lantang berteriak
karena menggunakan pengeras suara yang dia bawa. Satpam mencoba menenangkan
perempuan tersebut, namun hanya sia-sia.
Sampai
pada akhirnya datanglah dua guru kami yang merupakan wakil kepala sekolah dan BK
SMA yang kemudian membiarkan masuk dan mengajaknya duduk di lobi. Setelah
ditanya-tanya tentang maksud dari demo yang dia lakukan sendiri itu, perempuan
yang berinisial R tersebut merupakan wali atau orang tua dari salah satu siswa
di SMA kami. Nada bicaranya yang tinggi si R meminta penjelasan kepada pihak
sekolah khususnya kepada BK yang dalam hal ini mengurusi permasalahan siswa
tentang keadilan penerimaan beasiswa kurang mampu pada siswa. Diduga, anaknya
tidak menerima beasiswa tersebut padahal kondisi perekonomiannya tergolong kurang.
Perempuan tersebut juga memperlihatkan bukti bahwa keluarganya kurang mampu
dengan SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) yang dia bawa sendiri dari rumah. “Tetangga saya yang merupakan teman anak
saya termasuk miskin dan mendapatkan beasiswa, tetapi kenapa anak saya yang
perekonomiannya juga sulit tidak mendapatkannya pak...?”, tuturnya dengan
tegas.
Kedua
guru kami mencoba menjelaskannya dengan tenang. Wakil kepala sekolah
menyampaikan bahwa tugas pihak sekolah hanyalah mendata dan mengumpulkan serta
mengusulkan kepada Dinas Pendidikan terkait penerimaan beasiswa kurang mampu
tersebut. Urusan dapat atau tidaknya merupakan bukan kebijakan sekolah namun
dari Dinas Pendidikan langsung. BK juga menambahkan informasi bahwa penerimaan
beasiswa serupa tidak hanya berlangsung sekali, namun terdapat
gelombang-gelombang. “Gelombang
berikutnya silakan ibu melengkapi dan mengumpulkan berkas-berkas dari sekarang
agar anak ibu bisa kami usulkan lagi”, jelasnya dengan santai. Tidak lama
kemudian perempuan tersebut pergi dengan raut wajah yang masih belum lega.
Dari
peristiwa yang diceritakan penulis, tentu dapat diambil benang merahnya.
Demonstrasi merupakan hak masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya. Tidak bisa
dipungkiri bahwa kapan pun konflik sosial bisa terjadi. Namun, sebagi anggota
kelompok sosial yang baik hendaknya menyuarakan aspirasi dan tuntutannya secara
bijak dan berkesan elegan agar konflik sosial tidak menimbulkan permasalahan
yang lain. Perilaku demonstrasi yang tidak baik akan berujung anarkis dan hanya
akan menimbulkan luapan emosi yang berdampak buruk bagi kedua belah pihak. Kecerdasan
komunikasi harus dibentuk agar permasalahan bisa didengar dan segera terealisasikan.
Referensi:
Ramli,
R. (2019). Kecerdasan Isu Demonstrasi pada Pemberitaan Harian Fajar periode
2017. Jurnal Komunikologi. 16 (1):
48-54.
0 komentar:
Posting Komentar