Berani Menjadi Interviewee
Ahmad Prasetiyo / 19310410029
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Dosen Pembimbing : Dr. Arundhati Shinta, MA.
Wawancara (interview) adalah
salah satu kaedah mengumpulkan data yang paling biasa digunakan dalam
penelitian sosial. Kaedah ini digunakan ketika subjek kajian (responden) dan
peneliti berada langsung bertatap muka dalam proses mendapatkan informasi bagi
keperluan data primer. Wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi yang berhubungan
dengan fakta, kepercayaan, perasaan, keinginan, dan sebagainya yang diperlukan
untuk memenuhi tujuan penelitian. Wawancara mengharuskan kedua belah pihak baik
itu peneliti maupun subjek kajian bertemu dan berinteraksi langsung dan aktif
agar dapat mencapai tujuan dan data yang didapat baik dan akurat.
Sebenarnya aturan wawancara ini
bukanlah hal yang bisa dipelajari dari buku atau dari pakar-pakar saja, karena
wawancara tergantung dari kondisi, keadaan atau situasi. Mungkin kita pernah
berpendapat bahwa seorang yang ramah akan dengan mudah menjalankan wawancara
tanpa menjalani latihan secara formal. Namun sangat wajar bila dikatakan bahwa
kualitas wawancara oleh peneliti (interviewer)
akan bertambah baik dengan bertambahnya pengalaman.
Ketika kita menjadi seorang yang diwawancara (interviewee). Pasti kita akan
merasa grogi/malu kepada pewawancara. Hal ini sudah biasa dialami oleh banyak
orang. Apalagi jika kita dituntut untuk memberikan jawaban yang sesuai dengan
pertanyaan yang di berikan oleh interviewer.
Gaya bicara kita yang biasanya lancar, pasti akan mengalami terbatah-batah saat
memberikan jawaban. Namun, terkadang jawaban yang kita berikan sudah sesuai dengan
pertanyaan yang interviewer berikan. Sayangnya, proses wawancara tidak berjalan dengan lancar.
Pewawancara masih
kagok dan kebingungan dengan jawaban yang kita berikan. Bahkan pewawancara
tidak mengerti dengan jawaban yang kita berikan. Mungkin, pewawancara merasa
jawaban yang kita berikan kurang jelas. Sehingga sering kali kita sebagai interviewee harus mengulang-ulang
jawaban yang kita berikan. Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi
pewawancara yang masih kagok?.
Berikut 5 cara yang dapat kita lakukan
untuk menghadapi pewawancara yang masih kagok :
1.
Kita
dapat mengkondisikan keadaan dan lingkungan sehingga tidak terpengaruh oleh
keadaan lingkungan sekitar
2. Bahasa
yang kita gunakan harus sesuai dengan pewawancara agar pewawancara mengerti dan
paham
3.
Kita
dapat meminimalkan waktu, tenaga, dan biaya yang ada.
4. Menjalin
hubungan yang baik serta memberikan jawaban yang meyakinkan kepada pewawancara
5.
Selalu
memberikan semangat kepada pewawancara
Menjadi
interviewee memang tidak mudah. Banyak sekali tantangan yang harus kita hadapi.
Tidak hanya grogi/malu. Rasa takut pun pasti timbul ketika kita menjadi
interviewee.
Rasa
takut yang kita miliki harus kita buang. Kita sebagai interviewee harus berani
memberikan jawaban yang baik dan benar kepada pewawancara. Jangan sampai kita
malu dan enggan menjadi interviewee. Jika kita berani memberikan jawaban yang
baik dan benar kepada interviewer. Keuntungan yang kita dapat yaitu kita dapat
berinteraksi dengan baik secara langsung kepada pewawancara, menjadikan
pengalaman yang berharga dan membantu pewawancara untuk mendapatkan informasi
yang pewawancara butuhkan.
Namun
sebaliknya jika kita takut dan enggan memberikan jawaban yang baik dan benar
kepada pewawancara. Selamanya kita tidak akan berani untuk berinteraksi. Kita
tidak akan pernah mendapatkan pengalaman menjadi orang yang di wawancara.
Sehingga kita tidak bisa membantu pewawancara untuk mendapatkan informasi yang
pewawancara butuhkan.
Daftar
Pustaka :
Newman, 2013. Metodologi Penelitian Sosial:Pendekatan
Kulaitatif dan Kuantitatif(edisi 7), PT Indeks, Jakarta
Merriam, 1998, Introduction to Qualitative Research Methods: The Search for Meaning,
(New York : 89)
https://www.kompasiana.com/rosifa/556165c87193731a0a284abb/wawancara-observasi
( diakses 29 Maret 2020 )
0 komentar:
Posting Komentar