Mengungkap Rahasia
Emosi
Rr.Sekarlangit Ayuningtyas Rahawarin
18.310.410.1179
Psikologi umum II
Kita
semua pasti pernah melihat anak yang di
mall atau di toko-toko merengek ,berteriak hingga meronta tidak terkendali
meminta di belikan sesuatu kan ? hal itu adalah bagian dari emosi anak yang di
sebut tantrum , di artikel kali ini saya akan membahas tentang fisiologis emosi dan bagaimana cara menstimulasi emosi pada anak terutama anak pada masa
golden age yang menjadi awal pembentukan karakter pad masa dewasa nanti
Emosional
merupakan reaksi stimulus yang berasal dari luar tubuh manusia. Rangsangan rangsangan
yang dari luar tubuh manusia mempengaruhi atau membuat reaksi yang ada dalam
tubuh manusia. Perubahan emosi yang kuat dapat mengakibatkan dua perubahan,
perubahan internal dan eksternal. Perubahan internal yang tidak begitu tampak,
seperti: kecepatan detak jantung, tekanan darah, sekresi keringat, kontraksi
otot Perubahan yang kedua, perubahan eksternal terlihat diantaranya perubahan
air muka, gerakan motorik dan lain-lain.
Sistem
kelenjar endokrin juga berubah selama emosi. Kenyataannya, beberapa emosi yang
bertahan cukup lama disertai oleh perubahan yang cukup dramatik pada kelenjar
adrenal. Adrenal melepas substansi-substansi yang membantu memperkuat kerja
sistem syaraf otonom. Misalnya, selama kemarahan sistem syaraf otonom
meningkatkan detak jantung, dan juga menstimulasi adrenal untuk melepas
adrenalin/epinephrine, yang juga menyebabkan detak jantung meningkat. Contoh
kasus yang Baru-baru ini menyita perhatian adalah seorang anak SMA yang membakar rumah orangtua kandungnya
lantaran emosi karena tidak di belikan sepeda motor oleh ayahnya di jawa timur
Pakar
psikologis yang terkenal menyebutkan bahwa, persepsi terhadap perubahan
fisiologis merupakan emosi. William James, yakin emosi yang terjadi adalah
umpan balik yang berasal dari badani karena respon terhadap situasi yang
menakutkan. Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut pengalaman emosional muncul
dari kesadaran akan adanya perubahan kondisi internal tubuh atau dengan kata
lain ‘seseorang takut karena ia lari’. Menurut James, kesadaran akan
perubahan-perubahan ini membentuk emosi. Pakar fisiologi Denmark, juga
mencetuskan hal yang nyaris serupa, sehingga teori ini disebut dengan teori
James-Lange. Kondisi kongkritnya adalah, sesorang yang akan jatuh dari tangga
akan segera berpegangan, individu tersebut belum menyadari adanya rasa takut.
Setelah hal tersebut berlalu dan reaksi tubuh yang masih terjadi –
terengah-engah, gemetar, tubuh terasa lemas baru timbul perasaan takut.
Beberapa aspek teori James-Lange juga sejalan dengan bukti-bukti eksperimental.
Umpan balik dari tubuh, misalnya juga menyumbang pada pengalaman emosional. Hohman
melaporkan bahwa pasien yang mengalami kerusakan ruas tulang belakang
menunjukkan penurunan intensitas emosi yang mereka alami. Penurunan ini,
selanjutnya, berkaitan dengan letak kerusakan: makin tinggi letaknya, makin
sedikit umpan balik dari tubuh, dan makin datar respon emosinya. Subjek diminta
menggambarkan suatu emosi sebelum luka tersebut terjadi dan peristiwa sebanding
setelah terjadinya luka. Tinggi letak luka sangat mempengaruhi berkurangnya
sensasi tubuh yang ujungujungnya, penurunan emosi semakin besar. Hal yang sama
terjadi pada keadaan sedih dan kegairahan seksual. Secara operasional, pasien
yang mengalami luka-luka ini, mereka dapat bertindak emosional bila situasi
mengharuskan timbulnya tindakan itu. Tetapi sesungguhnya mereka tidak benar-benar
emosional. Perubahan-perubahan tersebut
apabila diterangkan dengan teori James-Lange dapat digambarkan sebagai
berikut: Reseptor (alat-alat indera)
akan menerima stimulus yang diteruskan melalui serabut syaraf sensorik menuju
cortex. Di cortex informasi dikode, dan perintah untuk mereaksi dikirim melalui
serabut syaraf motorik menuju effector motorik agar bereaksi. Ini terjadi .misalnya
kalau telapak kaki yang telanjang menginjak puntung rokok yang menyala.
Informasi sakit sampai ke cortex dan cortex akan mengirimkan perintah ke kaki
untuk menjauh dari puntung, ke mata untuk melihat ke arah kaki yang sakit, ke
pinggang untuk membungkuk, dan sebagainya. Pada saat yang bersamaan cortex juga
mengirimkan informasi ke alat-alat dalam melalui serabut syaraf otonom,
sehingga pada saat itu terjadi misalnya, jantung berdetak lebih cepat, pembuluh
darah mengkerut, dan sebagainya. Perubahan-perubahan yang terjadi ini kemudian
akan menjadi informasi kembali ke cortex dan memberi intensitas pada emosi yang
dirasakan. Teori James-Lange tidak dapat menjelaskan semua aspek dari emosi.
Ada emosi yang bertahan tetapi respon fisiologiknya hanya sebentar. Jika
penjelasannya adalah umpan balik tubuh, maka seharusnya emosi tidak akan hilang
sebelum perubahan fisiologik terjadi.
Masalahnya, ada emosi yang sangat cepat, lebih cepat dari pada perubahan
fisiologik.
Anak
tidak berkembang secara otomatis, namun dipengaruhi oleh cara lingkungan
memperlakukan mereka. Ketika anak memasuki lingkungan ”sekolah” non formal
seperti taman kanak-kanak, maka ruang dan kesempatan untuk berinteraksi semakin
luas. Stimulasi yang diberikan oleh guru termasuk yang berpengaruh. Cara guru
memberikan stimulasi terhadap anak adalah tergantung pada pemahaman guru
terhadap stimulasi dan permahaman terhadap anak. Paradigma yang digunakan oleh
guru cenderung paradigma lama, pendidikan untuk anak usia dini lebih menekankan
pada aspek kognitif. Aspek emosi dan sosial kurang diperhatikan. Padahal
pengembangan emosi pada anak umerupakan hal yang penting,karena kalau emosi
anak berkembang secara wajar, mereka dapat lebih berkonsentrasi dan mampu
menyerap informasi yang diberikan kepada anak dengan lebih baik .(Hansen &
Zambo, 2007). Lebih lanjut dijelaskan oleh Hansen dan Zambo, kalau pendidikan
di TK hanya menekankan pada prestasi akademis saja maka aspek emosi akan
terabaikan dalam kehidupan anak sekaligus kehilangan kesempatan untuk
mengembangkan emosi anak. Padahal menurut Hirsk-Pasek dan Golenkiff (Hansen
& Zambo, 2007), perkembangan emosi mendasari perkembangan sosial dan
keterampilan interpersonal anak. Penelitian yang dilakukan oleh Malik, Sarwar
dan Khan (2010) di Pakistan menunjukkan bahwa guru dalam memberikan stimulsai
lebih terfokus pada satu ranah saja, yaitu ranah sosial, namun ranah emosi
kurang diperhatikan.
Kesimpulan :
Berdasarkan uraian di atas maka dapat di simpulkan bahwa pemahaman guru terhadap cara memberikan
stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini masih belum memadai, karena
guru lebih menekankan pada pentingnya kemampuan kognisi pada anak, dan
cenderung mengabaikan perkembangan emosi pada anak dan dewasa
Referensi :
Mashar, R. (2007). Modul “Aku anak Ceria” untuk meningkatkan
ketrampilan social anak. Tesis. (Tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi
Univeritas Gadjah Mada
Puspitasari, N. (2009). Tesis (Tidak dipublikasikan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Univeritas Gadjah Mada.
Sujono, harto .(2006) .Diktat
psikologi faal .Yogyakarta:Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
0 komentar:
Posting Komentar