KULIAH SAMBIL BEKERJA, WHY NOT?
Ika Fatmawati
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Yogyakarta
Pendidikan
merupakan suatu hal yang mendasar dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas masyarakat yang
berkarakter. Sekarang ini bukan alasan lagi bagi masyarakat untuk tidak
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi hanya karena sudah bekerja. Hal ini karena kini banyak perguruan tinggi yang menawarkan program kuliah dengan waktu kuliah yang luwes sesuai dengan waktu luang
mahasiswa karyawan. Waktu yang biasa ditawarkan oleh pengelola universitas kepada
mahasiswa karyawan adalah sore, malam, bahkan akhir pekan. Sebagai catatan, warga yang bekerja sambil menuntut ilmu di perguruan
tinggi disebut mahasiswa karyawan.
Menyandang status sebagai mahasiswa karyawan adalah sangat berat.
Alasannya, mahasiswa harus piawai menata waktu antara bekerja, belajar, dan
pergi kuliah. Tidak sedikit mahasiswa karyawan itu ada yang sudah berkeluarga.
Kerumitan pengelolaan waktu tentu bertambah. Salah satu cara untuk sukses
meniti karir di organisasi tempat kerja dan juga menuntut ilmu di perguruan
tinggi adalah selalu berpikir positif dan selalu berusaha mendapatkan AQ dalam
level tinggi.
Berpikir
positif membantu para mahasiswa karyawan untuk
mengarahkan motivasi, kemampuan kognisi, mengambil tindakan yang diperlukan
untuk mengerjakan tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi tantangan akademik
dengan optimal. Dampak dari cara berpikir positif adalah efikasi diri individu dalam bidang akademik menjadi meningkat (Dwitantyanov,
Hidayati & Sawitri, 2010). Individu menjadi lebih
percaya diri dalam mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Hal ini karena
berpikir positif membuat individu cenderung berperasaan positif serta memandang
tujuan akademik tertentu dapat diraihnya.
Hal berikutnya yang juga ikut
menentukan kesuksesan mahasiswa karyawan dalam menyelesaikan kuliahnya dengan tuntas adalah kemampuan Adversity Quotient (AQ). AQ adalah kecerdasan untuk bertahan dan mengatasi setiap
kesulitan hidup melalui perjuangan yang tidak kenal lelah. Seseorang yang mempunyai level AQ tinggi menunjukkan bahwa ia mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidup tanpa menjadi putus asa. Kesulitan itu bisa saja
terjadi di tempat kerja atau di bangku kuliah.
Stoltz (dalam
Arifah, 2010), dalam bukunya yang berjudul "Turning
Obstacles into Opportunities" mendiskripsikan AQ sebagai pendaki gunung. Ada tiga jenis pendaki gunung yaitu quitter atau mudah menyerah, camper atau berkemah di tengah
perjalanan, dan climber atau pendaki
yang mencapai puncak. Tipe quitter
adalah mahasiswa yang mengira bahwa menuntut ilmu di perguruan tinggi swasta
seperti UP45 adalah hal yang mudah. Mahasiswa tersebut kemudian menemui
kenyataan bahwa mengikuti kuliah di Psikologi UP45 ternyata sangat tidak mudah.
Perilaku mahasiswa dengan tipe quitter
ini kemudian akan menghilang dari perkuliahan ketika menemui kesulitan
perkuliahan. Jadi bila mahasiswa menginginkan gelar S.Psi. dengan segera maka
mereka harus fokus dan berjuang dengan sungguh-sungguh.
Selanjutnya mahasiswa dengan tipe camper
adalah mereka yang mempunyai kebiasaan asal masuk kuliah saja dan tidak perlu
berprestasi tinggi. Hal ini akrena yang dipentingkan mereka adalah segera
lulus. Mereka tidak akan mengulang pelajaran yang nilainya kurang memuaskan, jarang
protes, jarang mempunyai ide-ide untuk perbaikan diri, dan cenderung pasif.
Selanjutnya seorang mahasiswa karyawan yang sukses dalam berkarir dan sekaligus
dalam dunia akademik, cenderung mempunyai AQ dengan level tinggi dan jenisnya
adalah climber. Ia tidak akan
berhenti sebelum tujuannya tercapai dengan gemilang.
Sulitkah mendapatkan kemampuan AQ yang tinggi? AQ bukan
bersifat bawaan tetapi bisa dipelajari. Cara mempelajarinya yaitu dengan
memperhatikan fisik, kesehatan, daya tahan
mental, kestabilan emosi, kemampuan sosial, keimanan, ibadah, ketrampilan dan seksualitas. Usahakan hal-hal fisik dan psikhis tersebut selalu dalam kondisi normal / tidak
berlebihan. Sebagai contoh, kondisi fisik mahasiswa keryawan biasanya cenderung
lemas. Hal ini karena pikiran dan tenaga mereka sudah diperas di tempat kerja
pada pagi hari, kemudian pada sore harinya mereka masih diharuskan untuk
menyimak ‘pidato’ dosen yang sering kali tidak bermutu. Pidato / kuliah dosen
yang tidak bermutu (tidak bisa konkrit diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari) tersebut sering kali mengusik kondisi emosi mahasiswa. Mahasiswa
karyawan menjadi mudah tersinggung, sehingga sangat mungkin proses belajar-mengajar
di perguruan tinggi menjadi kacau.
Untuk mengatasi kondisi emosi yang tidak stabil tersebut, maka mahasiswa
karyawan perlu mempunyai metode pelampiasan emosi yang sehat. Contoh
pelampiasan emosi yang sehat adalah olah raga. Jadi mahasiswa karyawan yang
sedang tersinggung karena kuliah dosen yang tidak bermutu tersebut, maka
segeralah berolah raga. Berolah raga tidak perlu jogging di lapangan, cukup berjalan kaki naik turun tangga. Proses
fisik seperti naik turun tangga itu akan menenangkan emosi yang meledak-ledak.
Bila hal itu dilakukan secara rutin, maka mahasiswa karyawan akan menjadi
cerdik dalam mengelola emosi sehingga AQ-nya berada dalam level tinggi.
Tantangan yang juga harus dihadapi mahasiswa karyawan adalah munculnya
rasa malu karena teman-teman kuliah pada umumnya berusia lebih muda. Selain itu,
teman-teman kuliah tersebut juga baru saja lulus dari SMA, dan kemampuan
penguasaan teknologi informasi sangat bagus. Mereka juga berani berdebat dengan
dosen dan orang yang lebih senior usianya. Mahasiswa karyawan yang tidak
mempersiapkan mental untuk menghadapi situasi seperti ini, cenderung merasa
malu. Akibatnya mereka akan withdrawl
atau menarik diri dari pergaulan. Dampak berikutnya adalah prestasi akademik
mundur, dan mungkin saja mereka akan menghilang dari pergaulan kampus.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka saya mempertimbangkan untuk menuntut
ilmu di Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Ada dua aspek
positif yang menjadi latar belakang bagi keputusan saya. Pertama, Fakultas
Psikologi UP45 dikelola oleh dosen-dosen yang berkompeten tinggi. Saya bisa
merasakan bahwa dosen saya mempunyai komitmen tinggi untuk memajukan mahasiswa.
Caranya adalah dengan memberikan tugas yang berlimpah jumlahnya. Sangat tidak
mudah menaklukkan dosen tersebut, namun saya mengagumi komitmennya. Selain itu,
dosen berkomitmen tinggi tersebut sangat dekat dengan mahasiswa – bahkan seperti
teman saja -, dan beliau sering mengajak mahasiswa untuk bersama-sama melakukan
kegiatan pengadian pada masyarakat. Saya sangat salut dengan dosen tersebut.
Aspek kedua yang mendasari pemilihan saya pada Fakultas Psikologi UP45
adalah biayanya sangat terjangkau dan pelaksanaan perkuliahan sangat
memperhatikan kondisi mahasiswa karyawan. Hal yang tidak terduga adalah
dukungan dari keluarga dan instansi tempat saya bekerja. Mereka memahami bahwa
Fakultas Psikologi UP45 telah dikelola dengan baik, terbukti dari nilai
akreditasinya yang bagus yaitu B. Saya menjadi sangat bersyukur dan bersemangat
45 menuntut ilmu di Fakultas Psikologi UP45.
Sebagai penutup tulisan ini adalah perlunya mahasiswa karyawan untuk
selalu berpikir positif dan berlatih untuk menjadi mahasiswa tipe climber. Saya selalu berdoa agar saya bisa berprestasi tinggi, cepat diwisuda dan segera menyandang
gelar S.Psi. Bekerja tidak menjadi penghalang bagi saya untuk berprestasi tinggi dalam bidang akademik. Situasi di UP45 yang mungkin saja kurang kondusif adalah wahana bagi saya
untuk melatih AQ hingga level tinggi. Jadi, kuliah sambil
kerja, siapa takut?
Referensi :
Arifah, B. (2010). Smart parenting with love. Jakarta:
Progressio Publishing
0 komentar:
Posting Komentar