RIVIEW JOURNAL
FOKUS
DAN MANAJEMEN KONFLIK REMAJA DAN ORANGTUA
(Adolescent Focus of Conflict with
Parents and Its Management)
I R W A N T O
NIM. 16.310.410.1125)
Fakultas
Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Oleh Andita Saviera & Winarini W. Dahlan
Universitas Indonesia, Jakarta.
Abstrak
Konflik
merupakan bagian alami dari suatu hubungan interpersonal, termasuk hubungan
antara anak dan orangtua. Banyak dikatakan, konflik antara anak dan orangtua
sering terjadi ketika anak berada pada masa remaja. Apabila ada konflik, maka
ada managemen konflik. Namun, pemilihan manajemen konflik pada remaja dapat
menjadi hal yang rumit akibat perkembangan dalam diri remaja ditambah dengan
perubahan nilai dan norma di masyarakat.
Tujuan penelitian ini untuk memahami
konflik dan manajemen konflik remaja dengan orangtuanya. Penelitian menggunakan
pendekatan kualitatif melibatkan empat partisipan berusia 16-23 tahun yang
tinggal di Jakarta, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara. Hasil
penelitian menunjukkan, focus konflik antara remaja dan orangtua bervariasi namun
sebagian besar mengenai tugas-tugas rumah, kehidupan sosial serta perilaku
orangtua. Penyebab konflik terutama adalah pola asuh yang otoriter dan
keinginan remaja untuk otonomi yang tidak dipahami oleh orangtua. Manajemen
konflik yang dipilih oleh seluruh partisipan adalah untuk mengatasi konflik
dengan orangtua adalahnya adalah kompetensi, walaupun ada juga yang terkadang
menggunakan gaya menghindar dan akomodasi.
Kata kunci : konflik,
remaja, orangtua, manajeman konflik
PENDAHULUAN
Larson
dkk, (Santrock. 2007) mendefinisikan
masa remaja (adolescence) sebagai
periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanan dengan masa dewasa, yang
melibatkan perubahan – perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Sedangkan menurut Hall ( Santrock, 2007)
remaja dinyatakan sebagai masa badai emosional.
Konflik adalah pertentangan yang
diekspresikan oleh dua orang atau lebih dimana salah satu atau seluruh pihak
mempersepsikan adanya perbedaan dalam hal tujuan, kurang sumber daya dalam
mencapai tujuan atau merasa tujuannya dihalangi oleh pihak lainnya (Wilmot
& Hocker, 2001). Konflik muncul dari masing-masing pihak akan tujuannya dan
menyadari bahwa tujuan pihak lawan dapat menghalanginya dalam memenuhi
tujuannya (Myers dan Myers, 1992)
Hubungan yang pasti dimiliki semua
orang adalah hubungannya dengan orangtua, hubungan orangtua dan anak adalah
hubungan dimana masing-masing pihak saling terkai tanpa pilihan. Hubungan ini
bahkah sangat penting dalam norma maupun agama sehingga dibuat aturan-aturan
perilaku mana yang boleh mana yang tidak boleh dilakukan. Dan dalam hubungan
inipun sering terjadi konflik. Penyebabnya bermacam-macam dan komplek. Anak dan
orangtua yang memiliki kepribadian yang berbeda bahkan tidak cocok. Maka, mau
tidak mau mereka harus tetap membina hubungan yang baik atau kalau tidak akan
menimbulkan konflik.
Selain
itu, hubungan anak dan orangtua merupakan hubungan yang sejalan dengan waktu
dan pasti mengalami perubahan, perubahan ini bisa disebabkan karena anak
berkembang menjadi seorang remaja (Montemayor dalam Muuss, 1990).
Ketika
anak berkembang menjadi remaja, ada banyak perubahan yang terjadi, diantaranya
adalah anak mungkin tidak lagi melihat orangtua sebagai superior dan orangtua
mulai berkurang toleransinya tehadap perbuatan anak. Hal ini terjadi karena
anak telah menjadi remaja. Dimana masa remaja menurut Santrock, 1998 adalah
masa dimana seseorang mengalami perkembangan secara biologis, konitif dan
sosial. Perkembangan ini membuat remaja memiliki karakteristik khusus sehingga
ia menjadi berbeda. Untuk itu, orangtuapun harus bisa menyesuaikan perubahan
yang terjadi pada anaknya.
Perkembangan
remajapun dipengaruhi oleh konteks dan setting dimana perkembangan terjadi
sehingga berpengaruh besar terhadap nilai-nilai dan sikap seorang remaja.
Faktor yang mempengaruhi meliputi faktor sejarah, ekonomi, sosial, budaya
dimana individu tersebut berada serta interaksi antar faktor-faktor tersebut.
Semurut
Sarwono, 2001. Bahwa adanya kemajuan teknologi yang pesat sekarang ini
menyebabkan berbagai norma-nilai dari luar masuk dalam masyarakat kita.
Akibatnya, remaja menjadi bingung dengan
adanya norma yang berbeda antara lingkungannya dan norma yang ia dapatkan dari
media dan bahkan ada yang saling bertentangan. Seperti contoh, remaja diluar
negeri, seksualitas sudah menjadi hal yang biasa dikalangan remaja. Tetapi
dilingkungan masayarakat Indonesia hal itu merupakan hal yang tabu dimana orang
yang belum menikah tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut. Dan banyak
contoh lainnya yang menyebabkan kebingungan dalam diri remaja itu sendiri
apabila remaja tidak memiliki petunjuk dan pedoman dalam menghadapi masalah.
Hal ini juga akan menimbulkan konflik dan sress pada remaja.
Konflik
juga terjadi karena penyesuaian yang harus dilakukan orangtua terkait pola
pengasuhan anak. Di Indonesia orangtua mempunyai hak yang mutlak atas anaknya.
Anak yang ideal adalah anak yang nurut, menghormati dan mendengarkan
orangtuanya. Namun dengan masuknya norma dan nilai baru, keinginan remaja untuk
lebih mandiri dan bebas menjadi lebih besar. Remaja sekarang umumnya menginginkan
orangtua yang demokratis. Hal tersebut bisa menimbulkan adanya konflik orangtua
dan remaja.
Selain
itu, setiap konteks remaja memiliki tuntutan dan masalahnya sendiri. Misalnya
1. Remaja
dalam konteks keluarga dihadapkan dengan kedua orangtua yang sibuk bekerja.
Perceraian atau kekerasab menimbulkan remaja jarang ataupun tidak mau
berkomunikasi dengan orangtuanya.
2. Remaja
dalam konteks pergaulan. Masalah-masalah yang dihadapi antaralain adalah
narkoba, seks bebas, hamil diluar nikah dain lainnya.
3. Dalam
konteks sekolah, seperti persaingan dalam lingkungan sekolah, stress ujian,
ketidaksesuaian budaya dan pengetahuan guru dan murid juga menambah masalah.
Walaupun
banyak sekali faktok atau konteks yang dapat berpengaruh terhadap konflik
antara remaja dan orangtua namun hubungan itu harus tetap terbina. Maka,
diadakanlah manajemen konflik, yaitu cara yang dilakukan remaja untuk mengatasi
masalah dan sikapnya terhadap konflik yang dialami dengan orangtuanya.
Pemilihan
gaya managemen konflik pada remajapun bermacam-macam sekaligus sangat sulit dan
kompleks. Seperti perkembangan remaja yang dipengaruhi berbagai faktor, hal ini
juga terjadi pada remaja mengenai gaya manajemen konflik yang mereka pilih,
meliputi :
1. Faktor
keadaan lingkungan dan interaksi antar lingkungan tersebut.
2. Remaja
yang notabenenya masih mencari jadidiri atau identitasnya, sehingga terkadang
masis terlihat adanya ketidakstabilan.
3. Norma
dan nilai yang berubah menjadikan pemilihan gaya menegemen konflik menjadi
proses sulit. Seperti telihat di Jakarta di mana transisi dari tradisional
menjadi masyarakat modern sedang terjadi dengan cepat dan tak dapat
dikendalikan. Hal ini ditandai dengan
adanya anomie yaitu keadaan
normlessness yaitu keadaan tidak adanya petunjuk atau pedoman bertingkah laku. Sarwono
(2001) mnyebutkan bahwa keadaan anomie
adalah keadaan yang berbahaya bagi remaja. Karena remaja tidak lagi dihadapkan
dengan nilai dan norma yang pati, tetapi dihadapkan pada berbagai macam nilai
dan norma yang harus dipilihnya.
4. Media
massa dan budaya modern, remaja diberi kebebasan untuk mengikuti ataupun
menolak keinginan orangtuanya. Namun, mengingat orangtua dan masayarakat masih
memegang nilai tradisional, maka nilai yang dianut remajapun sulit untuk
diterapkan. Dan managemen konflik pada anak dan orangtuapun sulit untuk
diterapkan.
Permsalahan
Permasalahan
yang akan dibahas ddalam penelitian ini ada 2, yaitu :
1. Apa
focus konflik pada remaja yang sering mengalami konflik dengan orangtuanya?
2. Bagaimanakah
managemen konflik yang digunakan remaja tersebut dalam mengatasi
konflik-konfliknya dengan orangtuanya?
Tinjauan
Pusataka
A.
Konflik
1. Wilmot
& Hocker, (2001). Konflik adalah pertentangan yang diekspresikan oleh dua
orang atau lebih dimana salah satu atau seluruh pihak mempersepsikan adanya
perbedaan dalam hal tujuan, kurang sumber daya dalam mencapai tujuan atau
merasa tujuannya dihalangi oleh pihak lainnya Dalam menganalisis tentang
konflik ini penting untuk menekankan persepsi individu yang terlibat karena
konflik melibatkan dua individu atau lebih.
2. Myers
dan Myers (1992) menyebutkan masalah-masalah yang menimbulkan terjadinya
konflik Interpersonal anatara lain adanya perbedaan individu dan sumber yang
terbatas dalam keseimbangan peran.
3. Weeks
(dalam Pitauli,2002) ada elemen-elemen dasar yang menajadi penyebab konflik
Interpersonal, antara lain :
a.
Kebutuhan
Yaitu
apabila salah satu atau kedua belah pihak menghambat atau menghalangi pemenuhan
kebutuhan pihak lain, adanya ketidakjelasan antara apa yang dibutuhkan dan
diinginkan antara kedua belah pihak atau kedua belah pihak merasa adanya
ketidakcocokan kebutuhan.
b.
Persepsi
Suatu
kenyataan dapat dipersepsikan berbeda-beda oleh orang yang berbeda.
c.
Kekuasaan
Apabila
satu pihak mencoba untuk menggunakan kekuasaan untuk memanfaatkan individu lain
demi kepentingannya, sementara pihak lain merasa terganggu oleh control dari
pihak tersebut.
d.
Nilai-nilai dan prinsip
Terjadi
apabila kedua pihak memiliki nilai yang tidak sesuai dan nilai-nilai tersebut
sulit untuk diabaikan atau kedua belah pihak menolak untuk menerima bahwa pihak
lain memiliki ide-ide, tujuan atau tingkah laku yang mewakili prinsip dan
nilainya.
e.
Emosi dan perasaan
Terjadi
ketika salah satu atau seluruh pihak menggunakan perasaan atau emosinya
masing-masing dalam menghadapi masalah.
B.
Managemen
Konflik
1.
Menurut Wilmot dan Hocker, 2001. Bahwa
setiap individu itu memiliki gaya manajemen konflik yang berbeda dan terus
berkembang selama hidupnya yang merupakan hasil dari gabungan antara faktor genetic,
pengalaman hidup, latar belakang keluarga, keadaan hidup sekarang dan filosofi
hidupnya. Mereka mendefinisikan gaya penanganan konflik atau Conflict syles adalah respon-respon yang
terpola atau sekumpulan tingkah laku yang digunakan seseorang apabila mengalami
konflik.
2.
Sillars dalam Wilmot, 2001 Menambahi,
bahwa atribusi dari niat lawan untuk bekerja sama, sumber tanggungjawab dari
konflik dan stabilitas dari konflik juga mendasari gaya penanganan konflik
seseorang.
3.
Kilman dan Thomas (dalam Wilmot dan
Hocker,2001) mengklasifikasikan lima jenis manajemen konflik, yaitu :
a.
Menghindar (Advoidence)
Menyangkal
akan adanya konflik, mengelak, mengubah dan menghindari topik, tidak menyatakan
pendapatnya, dan bercanda atau membuat lelucon daripada mencoba untuk
menyelesaikannya. Mereka yang menggunakan cara ini biasanya menarik diri dari
situasi dan membiarkan orang lain yang menyelesaikan masalahnya.
b.
Kompetisi atau bersaing (Competition)
Memiliki
karakteristik agresif dan tingkahlaku tidak mau bekerja sama dan mencoba untuk
mencapai keinginannya dengan mengorbankan pihak lain. Orang dengan gaya ini
mencoba mendapatkan kekuasaan dengan mengonfrontasi secara langsung. Taktik
yang digunakan dalam gaya ini beriorientasi untuk menang, dan memiliki
kepercayaan apa yang akan didapatkan maka orang lain akan kehilangan.
c.
Kompromi (Compromise).
Gaya
ini memiliki hasil bahwa kedua belah pihak harus mengalah dalam hal-hal tertentu
dan mendapatkan kemauannya dalam hal-hal tertentu pula. Masing-masing pihak
mengalah bagi pihak satunya, dalam kompromi harus ada yang dilepas dan harus
ada yang dimenangkan.
d.
Akomodasi (Acomodation).
Individu
mengesampingkan kepentingannya untuk menyenangkan pihak lawannya. Inti dari
gaya ini adalah untuk mengikuti keinginan dan memuaskan kebutuhan orang lain.
e.
kolaborasi (Kolaborration)
memiliki
perhatian yang sangat besar terhadap kebutuhannya sendiri, kebutuhan orang
lain, solusi yang baik dari masalah dan peningkatan mutu hubungannya. Gaya ini
melibatkan persepsi kedia belah pihak sehingga tercapai sebuah solusi yang
baik bagi keduanya. Masalah tidak akan
selesai jika antara keduabelah pihak belum merasa puas dengan solusinya dan
akhirnya hubungan akan menjadi baik. Masing-masing pihak memberi kelonggaran,
dan menerima tanggung jawab atas perannya dalam konflik.
C. Konflik
antara Remaja dan Orangtua.
Hubungan anak dan orangtua bukan
merupakan hubungan yang statis. Dengan adanya perkembangan yang terjadi pada
anak akan menyebabkan terjadinya konflik antara anak dan orangtua, terutama
apabila ada hal-hal yang dirasakan tidak sesuai dengan harapan kedua belah
pihak. Menurut Montermayor (dalam Muuss, 1990) masa remaja disebut masa dimana
konflik antara anak dan orangtua sering terjadi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
timbulnya konflik antara remaja dan orangtua.
1. Perkembangan
remaja.
Sarwono (2001) membuat batasan
remaja Indonesia adalah antara usia 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Pada
masa ini terjadi perubahan dan perkembangan baik secara biologis, psikologis,
kognitif maupun sosialnya (Santrock, 1998).
Kognitif remaja adalah faktor penting yang mempengaruhi perubahan
hubungan remaja dan orangtua.
Remaja telah memasuki tahap
perkembangan kognitif tertinggi yaitu formal
Operational, dimana mereka sudah dapat mengembangkan kapasitas melakukan
pemikiran abstrak (Piaget dalam papalia, Olds & Feldman, 2001). Hal ini
membuat mereka memiliki cara yang lebih baru dan fleksibel dalam memanipulasi
informasi. Mereka sudah dapat berfikir apa yang mungkin terjadi daripada hanya
apa yang ada. Remaja juga sudah dapat melakukan penalaran abstrak dan penilaian
moral yang telah matang, serta dapat melakukan perencanaan kedepan yang lebih
realistis.
Menurut David Elkind kemampuan
kognitif pada remaja membuat remaja mempunyai karakteristik khusus dalam
pemikirannya yang disebut Immature
Characteristics of Adolescence Thought. Pemikiran yang belum matang ini
berasal dari remaja yang kurang berpengalaman dalam hal memiliki pemikiran
abstrak, antara lain:
a. Argumentativeness
Selalu mencari kesempatan untuk menunjukkan
kemampuan pemikirannya.
b. Indeciveness
Kesulitan dalam membuat keputusan atau memilih
bahkan pada hal yang sepele.
c. Finding Fault with authority figures
Menyadari kelemahan-kelemahan disekelilingnya.
d. Apparent Hipocrisy
Tidak menyadari bahwa terkadang harus berkorban
untuk untuk mencapai keadaan ideal.
e. Self-counsciousness (Imaginary
audience )
Berfikir bahwa setiap orang berfikir hal yang sama
tentang mereka, mereka merasa selalu diawasi orang lain.
f. Assumption of invulnanerability
(personal fable)
mereka berfikir dirinya special, pengalaman yang
dialaminya unik dan banyak hal yang tidak akan terjadi pada dirinya. Merupakan
dasar perilaku destructive dan beresiko.
Maccoby dalam
Santrock, 1998 mengatakan dengan adanya kemampuan kognitif yang lebih matang ,
remaja mulai mempertanyakan dan meminta penjelasan atas tuntunan orangtua.
Remaja menjadi lebih ingin tahu mengapa mereka mendapatkan hukuman, bahkan saat
orang tua telah memberikan pengertian yang logispun remaja me=asih melihat
kekurangan dalam pemikirannya. Mereka sudah mulai bersikap kritis.
Sarwono, 2001 menambahkan bahwa
perkembangan psikologis juga turut menjadi faktor penyebab konflik antara remaja
dan orangtua. Inti dari tugas perkembangan seseorang dalam fase remaja adalah
memperjuangkan kebebasan atau otonomi. Otonomi adalah pemisahan diri dari orang
lain secara emosional ( steinberg, 2002). Dan pendapat ini dikuatkan oleh
Ausubel (dalam santrock, 1998) bahwa pergerakan remajamenuju otonomi disebut desatellization yaitu proses pelepasan
diri dan menjadi independen dari orangtuanya.
2. Krisis
otoritas pada orangtua.
Menurut Pasley dan Gecas (dalam Rice, 1990), orang
tua dapat mengalami krisis otoritas yaitu belum terbiasa untuk melepas otoritas
mereka terhadap anaknya yang selalu bergantung sepenuhnya dengan mereka.
Padahal remaja sudah menuju pada kemandirian, dimana mereka ingin memiliki hak
dan membuat keputusan untuk dirinya.
3. Perubahan
norma-norma sosial
Sarwono 2001, mengaitkan perubahan noema dan nilai
dalam masyarakat juga mempengaruhi hubungan antara remaja dan orangtua. Di
Indonesia sebagian orangtua adalah authoritarian,
mereka menuntun kepatuhan anaknya. Anak yang idela adalah anak yang patuh,
menghormati dan mendengarkan orangtua. Sebagian orangtua tidak mendorong
anaknya untuk menjadi kreatif dan ambisius karena sifat-sifat ini bertentangan
dengan norma sosial yang berlaku. Orangtua memnginginkan anak yang berprestasi
di sekolah dan cenderung overprotective.
Namun dengan adanya globalisasi informasi remaja di Indonesia menginginkan
kebebasan dan kemandirian seperti yang mereka dapatkan di media massa tentang
gaya hidup remaja barat.
4. Perbedaan
kepribadian remaja dan orangtua.
Remaja dan orangtua yang seing memiliki konflik pada
dasarnya mereka mempunyai kepribadian yang berbeda (Rice, 1996), perbedaan
tersebut bisa dilihat pada tabel berikut
Generasi
orangtua
|
Generasi remaja
|
·
Berhati-hati/berpengalaman
·
Berpegang
pada masa lalu, kecenderungan untuk membandingkan keadaan sekarang dengan
masa lalu
·
Realistis,
skeptic mengenai hidup maupun orang
·
Konservatif
dalam sopan satntun, moral dan nilai-nilai
·
Secara
umum puas dan menerima keadaan
·
Ingin
tetap muda, takut umur bertambah tua
·
Cenderung
ketat dalam pandangan mengenai perilaku-perilaku yang sesuai dengan umur.
|
·
Berani,
jiwa petualang, terkadang mengambil kesempatan nekad
·
Hidup
untuk masa kini
·
Idealistis,
optimis
·
Liberal,
menantang pemikiran tradisional, suka bereksperimen dengan nilai-nilai baru.
·
Kritis
terhadap keadaan dan ada dorongan untuk berubah
·
Ingin
menjadi orang dewasa, tetapi tidak suka dengan pemikiran akan tua.
·
Cenderung
untuk lebih menerima perilaku yang tidak sesuai umur daripada orang dewasa.
|
Focus konflik remaja
dan orangtua
Hall,
Leslie, Huston, dan Johnson, Noble, Adams, dan Openshaw dalam Rice,1996.
Menyebutkan hal-hal yangmenjadi focus konflik antara remaja dan orangtua, yaitu
:
1. Kehidupan
sosial dan kebiasaan sama pacar, kapan mereka diperbolehkan pergi bersama teman
dan jenis kegiatan yang boleh mereka lakukan, jam pulang, naik mobil dan
mendatangi acara-acara tertentu.
2. Tanggung
jawab
Orangtua mengharapkan remaja menunjukkan
tanggungjawab dalam tugas-tugas rumah serta tanggungjawab pada diri sendiri
seperti pendapatan dan pengeluaran uang, pemeliharaan barang-barang milik
pribadi dll.
3. Sekolah.
Hal-hal yang menyangkut sekolah seperti prestasi dan
nilai, kebiasaan belajar dll.
4. Hubungan
dalam keluarga.
Seperti tingkahlaku yang tidak dewasa, sikap dan
hormat kepada orangtua, berselisih dengan saudara, dll.
5. Nilai
dan moral.
Nilai
dan moral ini menyangkut keputusan untuk minum alcohol, merokok, narkoba atau
ketaatan terhadap peraturan dan ketaatan dalam beribadah.
Metode
penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif, dimana data diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Wawancara
hanya dilakukan dengan remajanya saja, karena tujuan dari penelitian ini untuk
lebih memahami pihak remaja dalam menghadapi konflik dengan orangtuanya. Dari
hasil wawancara, peneliti juga mendapatkan persepsi remaja terhadap konflik dan
pemilihan gaya managenen konflik. Selain wawancara, observasi juga dilakukan
dalam penelitian ini. Observasi dilakukan pada saat wawancara yang berfungsi
sebagai pemberi informasi tambahan.
Partisipan penelitian ini adalah
empat remaja berusia 16-23 tahun yang sering mengalami konflik dengan orang
tuanya. Yaitu : S (19 tahun), U (23 tahun), G(23 tahun), F (16 tahun). Setting
wawancara untuk masing-masing partisispan berbeda, pemilihan tempat wawancara
merupakan kesempatan peneliti dengan partisipan berdasarkan kemudahan akses
serta lingkungan akses tersebut.
Kesimpulan
Dari penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa focus konflik yang terjadi antara remaja dan orangtua
bervariasi. Yaitu :
1. Titik
faokus konflik dipengaruhi oleh lingkungan yaitu keluarga dan stimulus-stimulus
yang terdapat di lingkungan. Yaitu
a.
Masalah tugas-tugas rumah. Partisipan
yang berasal dari keluarga orangtua tunggal.
b.
Masalah kehidupan sosial, berasal dari
partisipan dengan orangtua yang lengkap.
c.
Perilaku orangtua.
2. Perkembangan
remaja, yaitu adanya proses desatellization
atau pergerakan menuju otonom.
3. Perekembangan
kognitif remaja, remaja yang lebih kritis dan mempunyai keinginan untuk
diperlakukan oleh individu dan otonom.
4. Kepribadian
remaja. Remaja yang sering konflik dengan orangtua sering memiliki sifat mudah
marah dan atau sensitif.
5. Usia
remaja. Remaja yang lebih muda cenderung lebih mudah marah bila mengalami
konflik disbanding dengan yang lebih tua.
6. Masalah
pada orangtua seperti perceraian, atau menjadi orangtua tunggal.
7. Kepribadian
orangtua. Seperti orangtua yang galak, perfeksionis, kaku, pencemas dll.
8. Pola
asuh orangtua. Terjadi pada orangtua yang menerapkan pola asuh authotharian walaupun ada juga orangtua
yang menerapkan ola asuh authoritative namun
masih mengalami konflik.
9. Kepribadian
anak dan orangtua yang bertolak belakang
10. Faktor
sosiokonomi.
Dalam penelitian ini juga disajikan
hasil manajemen konflik dari keempat partisipan, yang pada umumnya mereka
memilih bentuk kompetensi. Namun, ada beberapa remaja yang memilih gaya yang
berbeda. Untuk ayah cenderung menghindar dan dengan ibu cenderung memakai gaya
kompetensi atau akomodasi. Dan beberapa remaja memilih gaya yang berbeda pada
masalah yang berbeda yaitu lebih pada kompetisi dan mengindar. Tapi dari
keseluruhan subyek merasa bersalah dengan cara mereka berperilaku ketika mengalami
konflik dengan orangtuanya.
Diskusi
Dari hasil penelitian, didapatkan
hasil bahwa konflik yang dialami partisipan dengan orangtuanya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan hal ini sesuai dengan Rice, 1993 yang mengatakan bahwa salah
satu variable yang mempengaruhi konflik antara orangtua dan remaja adalah
lingkungan. Karena lingkungan dimana remaja berada menentukan hal apa yang
dikhawatirkan orangtua.
Walaupun pada umumnya pola asuh authotarian menyebabkan remaja sering berkonflik dengan
orangtuanya, namun beberapa partisipan juga mempunyai konflik dengan
orangtuanya yang mempunyai pola asuh outhotitative.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Rice (1996) yang mengemukakan bahwa
orangtua dengan pola asuh authotharian akan
cenderung terjadi konflik. Hal ini karena ada faktor lain yang berpengaruh,
salah satunya adalah kecenderungan ibu untuk tetap mematuhi peraturan ayahnya.
Hal ini mungkin masih dipengaruhi faktor budaya. Jadi walaupun ibu memiliki
pola asuh authoritative tapi masih
berpegang pada ayah yang authotharian.
Selain
itu, perbedaan kepribadian antara remaja dan orangtua menguatkan pendapat Myers
dan Myers (1992) yang menyebutkan bahwa penyebab konflik interpersonal adalah
adalah adanya perbedaan individu (individual
differences).
Selanjutnya, sosioekonomi keluarga
tampak tidak berpengaruh pada frekuensi maupun focus konflik antara remaja dan
orangtua. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Rice (1996) bahwa faktor
sosioekonomi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi frekuensi dan focus
konflik antara remaja dan orangtua.
Peneliti juga menemukan, bahwa tidak
hanya gaya manajemen konflik kompetisi yang dipilih oleh partisipan, mereka
juga memilih gaya manajemen konflik akomodasi dan menghindar, hal ini mengingat
bahwa remaja masih dipengaruhi oleh nilai-nilai orangtua dengan budaya
Indonesia atau agama yang memntingkan kepatuhan terhadap orangtua.
Selain hal tersebut, peneliti juga
menemukan penyebab inti dari seringnya terjadi konflik antara remaja dan
orangtua adalah kekuasaan. Dimana remaja menginginkan kekuasaan atas dirinya
dan tidak lagi merasa bahwa orangtua memiliki kekuasaan seutuhnya atas dirinya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Wilmot dan Hocker ( 2001) yang mengatakan bahwa
kekuasaan adalah konsep yang fundamental dalam konflik.
Saran
Karena penelitian ini bertujuan
menunjukkan gejala konflik antara remaja dan orangtua melalui pandangan remaja.
Maka, peneliti memaparkan beberapa saran aplikatif sebagai berikut:
1. Karena
faktor yang mempengaruhi konflik antara remaja dan orangtua sangat bevariasi
dan komplek. Sehingga untuk mengerti dan mengatasi konflik yang terjadi,
sebaiknya diperhatikan faktor-faktor tersebut diperhatikan untuk selanjutnya
diintervensi. Antara lain faktor kepribadian orangtua, pola asuh, hubungan dan
komusikasi yang terjalin, permasalahan keluarga, remaja dan orangtua dan nilai
yang dianut oleh orangtua dan remaja menganai konflik yang terjadi.
2.
Pemilihan manajemen konflik pada
remaja adalah hal yang penting. Karena hubungan dengan kedua orangtua adalah
fondasi mengenai hubungan seseorang dengan lainnya, seperti pacar dan teman.
Sedangkan proses pemilihan manajemen konflik pada remaja asih belum matang.
Apabila pemilihannya salah ini akan berkibat buruk pada remaja maupun hubungan
yang dimilikinnya. Untuk itu, perlu dilakukan intervensi terhadap faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap pemilihan gaya manajeman remaja.
Kritik
dan analisis jornal
1.
Otonomi
Dalam
masyarakat Indonesia, otonomi menurut pebulis sangat mempengaruhi ditambah
adanya globalisasi. Kebingungan pada remaja berpengaruh pada pembentukan
identitas dan pengontrolan emosinya. Remaja awal di Indonesia merasakan
bebasnya bermain dan berafiliasi dengan teman sebayanya baik dilingkungan rumah
maupun di sekolah. Hal ini kadang membuat ia lupa dan melalaikan tugas atau
perannya sebagai anak di rumah.
2.
Perkembangan remaja.
Saat
remaja ini terjadi pertumbumbuhan yang sangat pesat bagi remaja. Remaja
mengembangkan sikap ‘’tidak ingin diganggu dan tidak ingin di campuri urusannya
oleh orang tua. Maka, remaja akan cenderung marah atau berkonflik dengan
orangtuanya apabila hal itu tidak sepadan dengan pendapatnya.
3.
Nilai dan norma masyarakat yang mulai
bergeser.
Dahulu,
norma dan nilai dalam masyarakat membentuk remaja yang taat akan peaturan yang
ada, sekaligus ajaran agama dalam menaáti orangtua juga berpengaruh dan
menyebabkan adanya ketaatan anak pada orangtua. Tetapi, realitas sekarang ini,
yang terjadi adalah globalisasi, dimana informasi dan budaya-budaya asing masuk
di Indonesia tanpa batas. Anak yang menyerap adanya globalisasi tersebut akan
cenderung berfikir dan kadang tidak sepadan dengan adanya nilai, norma, dan
aturan yang ada. Akibatnya anak akan cenderung menentang dan memilih tidak
menaati orangtuanya.
4.
Gaya pola asuh di Indonesia.
Telah
kita tau, gaya pengasuhan di Indonesia sanngat menekankan pada tatakrama anak
kepada orangtua ataupun kepada orang yang lebih tua. Dalam masa transisi, anak
mengalami stress yang membuat ia ingin memberontak apabila ajaran orangtuanya
bertentangan dengan jalan pikirnya. Akibatnya konflik akan terja. Ditambah lahi
egosentrisme dan emosi pada remaja yang masih dalam masa badai dan tekanan
membuat remaja kadang salah memilih managemen konflik yang tepat. Karena mereka
notabenenya hanya menggunakan emosinya belaka.
5.
Pembelajaran dari lingkungan.
Lingkungan
yang baik akan memberikan stimulus atau contoh berperilaku yang baik, yang
nantinya akan diadopsi remaja dengan mencontoh hal atau perilaku yang baik. Hal
ini menimbulkan konflik yang jarang terjadi. Atau intensitas konflik dengan
orangtua akan menurun. Tetapi jika lingkungan anak bersosialisasi adalah buruk.
Maka anak akan terbentuk seperti apa yang diajarkan oleh lingkungannya. Hal ini
akan menjadikan kobflik apabila tidak sepadan dengan yang diharapkan oleh orang
tua.
0 komentar:
Posting Komentar