MORAL,
MOTIVASI DAN SEMANGAT GENERASGI MUDA. DIMANAKAH…..?
I R W A N T O
NIM. 16.310.410.1125)
Fakultas
Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
1. Pendahuluan
a. Latar belakang dan Deskripsi
masalah
Malam
itu saya dan teman-teman sekelas berjalan menelusuri lorong-lorong kelas menuju
kelas 2a dalam Madrasah Diniyyah yang di selenggarakan Pesantren yang saya
tempati di kota pelajar ini. Dalam langkah yang tersusun mulai dari kamar
sampai kelas, melewati kelas-kelas lainnya baik yang sudah di atas saya maupun
di bawah saya. Saya merasakan sesuatu yang mengganjal, entah apa itu belum
terfikir di benak saya saat itu. Ada yang beda dari kelas-kelas di mana para
santriwati menimba ilmu-ilmu agama itu.
Setelah
kira-kira satu setengah jam berlalu, setelah jamaah Isya’, barulah saya
tersadar bahwa ada fenomena social yang mulai agak tergeser dalam budaya
santri. Yakni banyak kelas-kelas yang santrinya sedikit, mengantuk, berceramah
sendiri, atau hanya sekedar coret-coret kertas menuliskan sesuatu yang belum ku
ketahui pasti. Hal ini sangat berbeda dengan kira-kira satu bulan lebih yang
telah lalu, santri yang mengaji masih banyak. Masih ada himmah atau motivasi, semangat belajar pada rekan-rekan santriwati
tersebut. Bahkan malah berbanding jauh sekali apabila kita bandingkan dengan
kira-kira 15-20 tahun yang telah lalu. Yakni mungkin periode Bapak atau ustadz/ustadzah saya yang
menjadi santri. Beliau sering bercerita bahwa semangat menuntut ilmu para
pendahulu sangat tinggi sekali jauh berbeda bila dibanding dengan sekarang.
Tidak ada kata malas dalam mencari ilmu walaupun di tempat yang jauh. Sungguh
memang sangat berbanding terbalik dengan sekarang.
Memang, satu tahun yang lalu saat aku
masih belajar juga di pesantren di daerah asal saya, Pati tepatnya dikota Kajen.
Hal semacam itu juga terjadi dan menjadi PR besar bagi segenap pengurus dan
Pengasuh tentang bagaimana dan dengan cara apa menumbuhkan Himmah tholabul ilmi
bagi segenap santri tersebut. Dalam diskusi kecil dengan rekan-rekan sekamar
saya, ada satu yang berceloteh “saiki cah cilik utowo cah gede wes ra wedi karo
pengurus lan ta’ziran”[1].
Memang saya akui hal itu benar sekali. Tidak ada yang di takuti sama sekali. Dan membuat para pengurus merasa
pusing bagaimana membuat kelas penuh kembali dengan semangat jiwa menuntut ilmu
yang membara. Apakah harus dikasih wejangan-wejangan tentang pentingnya
menuntut ilmu dengan metode-metode ceramah yang membara? Ataukah harus di
tingkatkan lagi ta’ziran yang telah di tetepkan dan berlaku selama ini. Dan
pandangan saya pasti ada faktor –factor atau atribusi-atribusi baik internal
maupun eksternal yang mempengaruhinya.
Dan apabila kita mau menganalisis lebih
lanjut, hal ini pun tidak hanya terjadi dalam lingkungan pesantren saja. Tapi
juga di lembaga-lembaga pendidikan lain, yakni sekolah-sekolah yang saya tau
telah mempunyai managemen pendidikan yang bagus dan tertata. Terbukti dengan presentasi ketidaklulusan siswa-siswi
baik di tingkat SMP,SMA yang masih tinggi,
angka bolos kekolah yang juga tinggi lagi, genk-genk pelajar yang marak.
Hingga perilaku-perilaku kriminal lain yang dilakukan pelajar. Seperti
memerkosa teman sendiri, hamil di luar nikah, narkoba, hingga tawuran-tawuran
antar pelajar yang hingga menelan korban jiwa. Yang akhir-akhir ini banyak
terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan lainnya.
Kenakalan remaja seperti itu banyak
sekali menimbulkan masalah, dampak yang besar juga. Semisal, Tawuran antara siswa
Sekolah Menengah Atas Negeri 6 dan SMAN 70 di bundaran Bulungan, Jakarta
Selatan, Senin, 24 September 2012, yang menyebabkan seorang siwa dari SMA 6
tewas pada perjalan menuju rumah sakit karna terkena luka bacok. Hingga berita
terakhir yang saya baca kamis lalu menyeret enam pelajar lagi menjadi tersangka
secara positif, dengan keseluruhan tersangka ada tujuh siswa. Itu belum lagi
aksi-aksi tawuran di kota-kota lain. Dan lebih umumnya lagi aksi-aksi kenakalan
remaja yang lain yang terjadi di Indonesia ini pada umumnya. Seperti
pemerkosaan dan kasus narkotika,
Nah, pasti kita sebagai generasi yang
berintelektual dan mempunyai etika, tentunya bertanya-tanya, ada apakah dengan
generasi muda sekarang ini. Padahal Indonesia adalah Negara dengan berbagai
norma, nilai dan adat istiadat yang kompleks yang kesemuanya mengajarkan nilai
ekstetika tinggi. Apakah hal itu sudah tak berlaku lagi bagi generasi muda
sekarang ini? Juga agama-agama di Indonesia yang semuanya juga mengajarkan
hidup dengan baik dan benar dalam bertingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Apakah hal paling mendasar dalam kehidupan manusia seperti agama
juga sudah tidak berpengaruh lagi? Apalagi kita hidup di Indonesia dengan
konstitusi pancasila yang telah dengan universal mengatur manusia agar hak dan
kewajibannya itu dapat saling berjalan beriringan tanpa harus bertabrakan
dengan hak serta kewajiban orang lain?
Lalu apakah factor dari keluarga,
masyarakat sekitar, lingkungan, yang mempengaruhi dan mendroktrin para remaja
sehingga menjadi “sakit” seperti sekarang ini? Dan adalagi, apakah factor dari
adanya Globalisasi teknologi dan informasi yang melanda ini sehingga menjadikan
remaja rentan dan tak mampu lagi berfikir kritis untuk menyeleksi mana yang
baik dan bermanfaat bagi dirinya, maupun mana yang tidak baik dan harus ia
tinggalkan. Ataukah ada factor dari dalam diri remaja itu sendiri yang
mempengaruhi psikisnya sehingga ia mudah untuk bertindak yang bertentangan
dengan ekstetika, dan kepentingan orang banyak sehingga cenderung menjadi
pengacau.
Dan lagi, ada yang berkata bahwa remaja
di tekan dalam mencapai nilai tinggi dalam akademik di sekolah, setiap hari
remaja di doktrin untuk menerima rumus- rumus matematika, IPA, teori ini dan
itu sehingga lupa dan mengesampingkan akhlak dari remaja itu sendiri. Sehingga pendidikan
karakter di rasa kurang bahkan tidak penting. Siapakah sekarang yang paling
berperan? Factor Internal atau eksternal?
b.
Rumusan Permasalahan
a. Ada apakah dalam usia
remaja itu? Serta Factor-faktor apasajakah yang mempengaruhi adanya kenakalan
remaja?
b. Bagaimanakah analisis
masalah bila di kaitkan dengan teori-teori dalam Psikologi social?
B. PEMBAHASAN
a. Remaja, dan
factor-faktor kenakalan remaja.
Dalam perkembangan jiwa, tiap-tiap manusia mengalami masa
peralihan. Terutama masa peralihan dari masa muda ke masa dewasa. Yaitu sekitar
umur 13-21 tahun. Di sini anak aktif mencari hubungan dalam kehidupan
bermasyarakat dan meninggalkan hubungan keluarga. JJ. Rosseau mengatakan bahwa
masa ini perhatian anak atau remaja tertuju ke dalam dirinya, hal-hal yang
tidak sesuai dengan apa yang difikirannya akan di tolaknya mentah-mentah, mudah
terpikat oleh sesuatu yang kelihatnnya menyenangkan, belum mempunyai sisi
selektif dan egoisme yang tinggi menjadi lebih mudah menimbulkan emosi.
Dalam masa remaja ada yang namanya masa puber, yakni antara
15-18 tahun, masa ini merupakan masa rekontruksi atau pembangunan kembali. Jadi
kelabilan emosi Masih tinggi sehingga dengan hal sekecil apapun, tersenggol
misalnya. Maka remaja akan mudah marah. Selain itu cara berpikirnya pun masih
rentan. hal-hal yang menurutnya baik yang ia lakukan. Maka ia akan
melakukannya, walaupun melanggar nilai, agama, adat, norma dan lain sebagainya.
Ia selalu merasa bahwa ia lebih kuat di muka bumi ini. Mereka remaja, terutama
laki-laki hidup dalam alam objektivitas.. misalnya aktif melindungi, pemberani
dalam menentang dan kritis, ingin turut menentukan bebas berfikir, memuja
tokoh-tokoh yang di kaguminya dan berusaha untuk menirunya.
Dalam masa yang sangat menentukan ini, remaja banyak menerima
doktrin-doktrin dari lingkungan sekitar, sekolah dan teman-teman bergaulnya.
Sehingga ia akan terkontaminasi oleh apa yang ia lihat, ia dengar sendiri dan
ingin menirunya. Jika stimulus atau tindakan yang di terimanya itu suatu hal
yang positis. Maka ia pun akan menjadi orang-orang yang lebih berperilakuan
positif. Seperti contoh. Ima adalah santri baru dalam kamar 5d di sebuah
pesantren. Warga kamar yang lain adalah para senior yang suka tepat waktu dalam
beribadah dan rajin menjalankan ibadah-ibadah lainnya selain sholat wajib.dan
tidak pernah absen mengaji, bahkan datang lebih awal sehingga tidak terlambat.
Maka si Ima tadi, lama kelamaan juga akan ikut dalam kekhushuán ibadah bersama
teman-teman dan lingkungannya yang mendukung. Dan ia akan bisa hidup lebih
teratur dan mempunyai kepribadian yang baik.
Tetapi apabila stimulus yang di terima oleh remaja adalah hal
yang negative dan ia merespon positif sehingga ia menjadi negative pula, dan ia
akan terkontaminasi dan berkelakuan yang negative. Seperti halnya yang terjadi
dalam tawuran di Jakarta antara SMAN 6
dan SMAN 70. Mereka yang rata-rata adalah remaja telah terkontaminasi dengan
tingkah laku kakak kelas mereka yang
negative dan teman-teman kelas mereka yang negative pula. Dan pada saat ada
salah satu dari teman mereka yang sedang terancam, sebagai rasa solidaritas dan
di bakarnya emosi dan darah muda mereka. Mereka cenderung melakukan aksi-aksi
anarkhir, yakni tawuran hingga merebut korban jiwa. Dan ini merupakan interaksi
yang negative.
Selain itu ada beberapa factor lain yang mempengaruhi kenakalan
remaja dan hilangnya kepedulian remaja dalam hal pendidikan, antara lain :
a. Factor lingkungan.
Yakni lingkungan fisik dan sosial.
Lingkungan fisik,
yaitu lingkungan kealaman. Lingkungan alam yang berbeda akan memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan remaja. Misalnya seorang anak yang
hidup di daerah yang gersang dan tandus, akan mempunyai kepribadian yang kasar
dan agak sentimental. Hal ini terpengaruh karena kebiasaan hidupnya yang keras
demi berjuang untuk makan.
Lingkungan sosial, yaitu
liingkungan masyarakat yang di dalamnya ada interaksi antara individu dengan
individu yang lain. Dalam hubungan antar individu ini tidak berlangsung searah,
tetapi antar individu dengan lingkungannya terdapat hubungan. Yakni, individu
mempengaruhi lingkungan, maupun lingkungan mempengaruhi individu. Ulasan di atas tadi bisa mewakili sebagai contoh.
b. Pendidikan karakter yang lemah
Pendidikan karakter adalah penanaman nilai karakter bangsa
dengan tidak terfokus dengan pemberian informasi dan doktrin keilmuan semata.
Lebih jauh adalah bagaimana mampu menanamkan nilai dan semangat karakter
bangsa yang berbudi luhur, sopan-santun, ramah-tamah, gotong- royong, disiplin,
taat aturan yang berlaku dan sebagainya dalam jiwa generasi terdidik. Dengan
begitu akan lahir generasi andal di masa depan yang tidak hanya cakap dalam
bidang intelektual saja tetapi juga emosional dan spiritualnya
Tetapi bila kita lihat di Indonesia kurun waktu ini, lembaga
pendidikan seolah-olah hanya transfer pengetahuan saja. Mengejar target
nilai-nilai dimana siswa nanti dapat lulus. Hal ini pun sangat berpengaruh
tidak baik kepada para remaja. Karena dalam diri mereka yang kosong tidak di
berikan suatu pelajaran kepribadian yang baik yang di aplikasikan dalam
kehupannya sehari-hari . sehingga ia hanya mengandalkan akal tanpa menilik hati
nurani sebagai rujukan untuk bertindak sesuatu.
Meminjam istilah David Elkind &
Freddy Sweet PhD (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut:
‘’Character education is the deliberate effort to help people understand, care
about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of
character we want for our children, it is clear that we want them to be able to
judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they
believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation
from withinî.
Dari pernyataan ini bisa dipahami
bahwa keberhasilan pendidikan karakter akan banyak bergantung pada proses
pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur pendidikan di sekolah, terlebih
dari para guru. Yaitu dengan sejauh mana guru mampu mempengaruhi karakter
peserta didik. Ini karena guru merupakan instrumen penting yang membantu
pembentukan watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan. Bagaimana
perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Dengan begitu, keteladanan dari
seorang guru dan pendidik adalah harga mati. Keteladanan yang tidak hanya
dilakukan dengan kebiasaan di dalam ruang kelas saja tetapi juga hingga
kehidupan yang nyata.
Dalam hal ini, pemerintah pun tidak
boleh tinggal diam. Meminjam Istilah Doni Koesoema, di antara langkah kongkret
yang harus dilakukan pemerintah dalam memperbaharui sistem pendidikan karakter
adalah dengan melibatkan semua unsur dan elemen penting mulai dari pemerintah,
sekolah dan rumah. Ini karena fokus pendidikan karakter yang efektif
mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis
dalam pengembangan pendidikan.
c.
Pengetahuan
agama yang lemah.
Manusia adalah makhluk beragama, tapi
dalam konteks remaja hal ini lain. Pada dasarnya, ide-ide agama, dasar-dasar
keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama pada dasarnya di terima seseorang pada
masa kecilnya. Pertumbuhan pengertian tenteng ide-ide agama sejalan dengan
pertumbuhan kecerdasan.
Sekarang, agama memang di anggap
tidak begitu penting. Apalagi di kalangan para remaja. Mereka cenderung
mengabaikan pelajaran-pelajaran agama. Dan sebagai akibatnya. Remaja cenderung
tak mempunyai tujuan di mana ia akan berpijak. Tidak mempunyai patokan dalam
bertingkah dan berperilaku dan pedoman hidupnya. Dan satu lagi remaja tidak
mempunyai suatu kepercayaan yang akan mengontrol dia saat akan berbuat salah.
Jadi mereka cenderung melakukan semau mereka sendiri. Karna control yang
berasal dari dalam diri tidak berfungsi.
d.
Pergeseran
norma, serta nilai yang berlaku di masyarakat
Dahulu, orang yang melakukan
kesalahan, dan di ketahui oleh masyarakat maka ia akan di kucilkan dan di cap
oleh masyarakat sebagai penjahat. Dahulu, control social masih berlaku dan
sangat ketat. Sehingga individu maupun remaja mempunyai kontrol sosial yang
membatasi perilakunya apabila berbuat kesalahan. Ataupun menyimpang dari kaedah
dan norma yang berlaku.
Tetapi, apa yang terjadi sekarang?
kontrol social seakan tidak berfungsi
kembali dan mengalami pergeseran makna nya. Sehingga remaja pun tidak mempunyai
semacam rasa takut bila melakukan penyimpangan ataupun kesalahan social.
e.
Pengaruh
media Informasi dan Telekomunikasi
Media informasi dan telekomunikasi sekarang telah merajalela dan
sangat banyak macamnya, sehingga hal ini memberikan ruang yang tanpa batas bagi
penggunaya. Media Inkom yang semakin hari semakin canggih ini, selain
memberikan segi positif dan keuntungan, ternyata juga memberikan segi dan
dampak yang negative, baik anak-anak, remaja, orang tua dan masyarakat secara
keseluruhan.
Khusus pada remaja, Mereka bisa
mengakses apapun di internet, laptop, Hp dan lainnya. Baik sekali bila
menggunakan hal itu untuk kepentingan belajar dan hal lain yang bermanfaat.
Tapi lain halnya bila mereka menggunakan hal-hal lain yang negative. Seperti
mengakses video-vidio porno, kekerasan, tawuran dan hal-hal lain yang negative.
Dan biasanya mereka cenderung ingin mempraktekkan dan melakukannya di
kehidupannya. Dan akhirnya banyak sekali kenakalan-kenakalan remaja yang
terjadi akibat pengaruh dari media Inkom yang semakin hari semakin tiada batas
tanpa adanya sensor dari pihak-pihak yang berwenang.
f.
Kecenderungan
berfikir praktis.
Dalam sifat remaja yang cenderung
lebih memntingkan diri sendiri dan mengandalkan emosi , ternyata mereka masih
mempunyai sisi sifat lain, yaitu suka berfikir praktis. Tidak memfikirkan
akibat yang akan di timbulkan nantinya. Tetapi cenderung apa yang mereka
inginkan, lalu mereka lakukan.
Seperti dalam contoh tawuran di
atas, mereka hanya berfikir secara subjektif saja. Belum menyadari bahwa pasti
ada akibat yang tidak baik yang akan timbul di depannya. Karena memang
mengandalkan emosi.
Sebenarnya
masih ada banyak factor-faktor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja remaja,
tapi mungkin cukuplah tulisan ini mengulas apa yang telah terpaparkan di atas.
c. Analisis
amasalah dengan teori-teori Psikologi Sosial
1. Teori
pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Dalam kasus di atas tadi dapat kita hubungkan dengan teori
yang mendasarkan alasan ini, ternyata setelah saya coba-coba meneliti dengan
segenap teman-teman yang saya ketahui tidak mengaji. Mereka tidak mengaji
karena alasan malas, capek, tidak bisa materinya dan lain-lain. Yang akhirnya
mereka akan mengantuk di kelas. Dan apabila mereka ketahuan mengantuk mereka
akan menanggung malu karena sifat kemanusiaannya muncul dan di ketahui
teman-teman yang lain. Anggap saja gengsi.
Dan untuk kasus tawuran, di sebabkan
oleh adanya menjaga harga diri di depan lawan. Telah menjadi rahasia umum bahwa
SMAN 70 dan SMAN 6 ini memang telah bermusuhan sejak lama. Jadi musuh
bebuyutan. Jadi mereka memang mempertahankan harga diri masing-masing dan
solidaritas temannya.
2. Teori
pembentukan perilaku dengan model (contoh )
“ Walah kok ngaji terus to mbak,
wong mbak-mbak seng gede – gede wae yo podo ora ngaji kok. Anut wae “[2].
Jawaban itu yang selalu saya dapatkan dari teman-teman yang diam-diam saya
interview. Jadi sangat jelas di sini bahwa factor model sangat berpengaruh dan
menjadi doktrin pembentukan perilaku yang ditiru.
Dan dalam kasus tawuran di atas telah
saya kemukaan bahwa antara SMAN 70 dan SMAN 6 memang sudah bermusuhan sejak
lama. Jadi tidaklah berlebihan bila analisis saya sudah barang tentu terjadi
pertempuran-pertempuran lain yang sebelumnya terjadi, dan itupun telah di tiru
dan di lestarikan oleh adik-adik kelas sebagai generasi penerus mereka. Dalam
jiwa mereka, ada semacam tuntutan untuk melakukan hal membela almamater, mereka
tidak mau di katakana “cemen”, penakut, pengecut dan lain-lain, sehingga
terjadilah pergeseran perilaku remaja-remaja tersebut. Sehingga menimbulkan
tawuran. Walaupun pasti ada
factor-faktor lain yang mereka tiru, seperti pengaruh media masa elektronik
yang sering menampilkan acara-acara kekerasan sehingga mereka adopsi dan mereka
praktekkan.
Teori ini sebenarnya tidak hanya
berlaku dalam kedua kasus di atas, tapi lebih umum lagi mengenai
kenakalan-kenakalan remaja, kejahatan kriminal, kasus korupsi dan lain-lain.
3. Teori
dorongan
Ada juga yang mengatakan bahwa teman
yang membolos adalah karna ada dorongan dalam dirinya yaitu rasa capek dan
malas, sehinga mereka memutuskan untuk absen dan tidak mengikuti pengajian. Mungkin
karena seharian mereka telah banyak kegiatan di kampus atau di sekolah,
sehingga dorongan dalam dirinya mengatakan untuk absen saja.
Sebagai rasa solidaritas dan nama
baik, para siswa-siswa SMAN 70 dan SMAN 6 mendapatkan dorongan untuk saling
melindungi, membela dan aksi solidaritas lainnya yang akhirnya malah
menimbulkan tawuran karena mereka mengikuti dorongan nafsu yang negative. Yakni
solidaritas dengan cara kasar yakni tawuran.
4. Teori
atribusi
Ternyata, sebab-sebab adanya
pergeseran semangat belajar dan kenakalan remaja di atas juga tergolong dalam
teori atribusi, yakni mereka berperilaku seperti itu dikarenakan ada suatu
sebab-sebab. Ada yang di sebabkan oleh disposisi Internal seperti kecenderungan
emosi dan sikap para remaja yang masih labil, atau memang sikap dari personal
individu yang suka malas dalam mengikuti kegiatan-kegiatan. Dan disposisi eksternal seperti lingkungan yang
mempengaruhi sehingga hal tersebut diadopsi mentah-mentah tanpa adanya kritis
sehingga terjadilah kenakalan seperti itu.
5. Teori
Konvergensi
Teori yang dikemukakan oleh W. Stern
ini temasuk juga dalam kasus-kasu yang saya bawakan. Factor pembawaan dan
factor lingkungan membentuk remaja atau individu sedemikian rupa. Salah satu
dari remaja, dari contoh pertama misalnya, ada yang memang dia adalah seorang
pemalas. Buku-bukunya pun tak ada. Hanya sekedar menaruh pakain seragam sekolah
pun ia malas, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengaji pun ia akan merasa
sangat berat. Karna mamang ia adalah pemalas. Sedangkan factor lingkungan
kurang lebih sama dengan model, atribusi, dorongan dan lainnya.
Dalam kasus kedua, saya membaca
dalam harian kompas yang saya lupa kapan media itu terbit, di sebutkan bahwa
hasil tes Psikologis sie Doyok (tersangka pembacok utama) memang agak mempunyai
kepribadian yang agak buruk. Sehingga factor bawaan nya pun mempengaruhinya
untuk berbuat tawuran.
3.KESIMPULAN
Kenakalan
remaja, sikap remaja yang cenderung pasif dalam belajar, motivasi belajar
generasi muda lemah. Menjadi momok Negara bila tidak segera di sadari, baik
pemerintah atau individu remaja itu sendiri. Kenapa tidak…? Karena nasip bangsa
ada di tangan para generasi penerus. Yang dalam hal ini adalah kaum muda. Bila
kaum muda sekarang lebih suka pergi nonton bioskop dari pada ke perpustakaan,
lebih suka menyerah dengan keadaan dari pada optimis untuk bisa, lebih suka tawuran
dari pada bermusyawarah. Maka, mau di bawa kemana negeri kita yang tercinta
ini. …..?
Selain
menanggung nasib bangsa, individu juga menanggung nasib dirinya, keluarga dan
rumah tangganya nanti. Bila ia muda hanya mengandalkan makan dari orang tua.
Tidak mempunyai kreativitas sndiri harus bagaimana ia akan hidup mandiri.
Lantas dimasa depan dengan apakah ia hidup nanti? Dengan siapakah dia akan
bergantung nanti?
Hal-hal
ini lah yang akan menjadikan kriminalitas menjadi bertambah, penduduk yang
bodoh, kreativitas remaja yang kurang dan lainnya akan menimbulkan efek yang
tidak baik pada lingkungan khususnya dan Negara pada umumnya. Profesi pencopet
akan semakin naik, pencuri akan merajalela. Kekerasan akan selalu menjadi hot
news setiap halaman-halaman dan tampilan berita. Lantas seperti apakah masa
depan kita nanti?
Setidaknya,
kita sebagai kaum intelektual yang telah di beri nikmat untuk dapat mengenyam
pendidikan, wajiblah kiranya kita untuk memberikan kontribusi nilai-nilai dan
contoh-contoh sikap yang baik bagi sekeliling kita. Apalagi kita sebagai
mahsiswa Psikologi yang kesehariannya berkutik dengan jiwa. Jiwa disini harus
kita pahami dalam konteks yang luas. Masyarakat mempunyai jiwa, yakni tatanan
social, bila terjadi penyelewengan berarti jiwa masyarakat itu sedang sakit.
Nah bukankah kita yang harus maju untuk berusaha memperbaikinya?
Untuk
itulah, dalam kesimpulan tulisan yang saya tulis ini, saya ingin memotivasi
diri saya sendiri untuk lebih giat lagi dalam bertholabul ilmi di manapun dan
kapanpun. Dan umumnya bagi yang membaca tulisan saya, entah siapa, saya juga
mengharapkan hal yang sama. Sekian dan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Bimo Walgito, 2003. PSIKOLOGI
SOSIAL (suatu pengantar). Edisi Revisi. Penerbit ANDI. YOGYAKARTA
Robert A. Baron & Donn Byrne, 2003. PSIKOLOGI SOSIAL jilid I, edisi kesepuluh. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Ngalim Purwanto, MP. 1990. PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Penerbit REMAJA ROSDAKARYA. Bandung.
http//mengevaluasi
pendidikan karakter//Dito alif Pratama// Suara Merdeka.com
http//kronologi tawuran SMAN 70 dan SMAN 6
Jakarta//Kompasiana. Com
0 komentar:
Posting Komentar