23.3.18

MORAL, MOTIVASI DAN SEMANGAT GENERASGI MUDA. DIMANAKAH…..?



MORAL, MOTIVASI DAN SEMANGAT GENERASGI MUDA. DIMANAKAH…..?
 
 
I R W A N T O
 NIM. 16.310.410.1125)

Fakultas Psikologi
            Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

1.    Pendahuluan

a.      Latar belakang dan Deskripsi masalah
Malam itu saya dan teman-teman sekelas berjalan menelusuri lorong-lorong kelas menuju kelas 2a dalam Madrasah Diniyyah yang di selenggarakan Pesantren yang saya tempati di kota pelajar ini. Dalam langkah yang tersusun mulai dari kamar sampai kelas, melewati kelas-kelas lainnya baik yang sudah di atas saya maupun di bawah saya. Saya merasakan sesuatu yang mengganjal, entah apa itu belum terfikir di benak saya saat itu. Ada yang beda dari kelas-kelas di mana para santriwati menimba ilmu-ilmu agama itu.
       Setelah kira-kira satu setengah jam berlalu, setelah jamaah Isya’, barulah saya tersadar bahwa ada fenomena social yang mulai agak tergeser dalam budaya santri. Yakni banyak kelas-kelas yang santrinya sedikit, mengantuk, berceramah sendiri, atau hanya sekedar coret-coret kertas menuliskan sesuatu yang belum ku ketahui pasti. Hal ini sangat berbeda dengan kira-kira satu bulan lebih yang telah lalu, santri yang mengaji masih banyak. Masih ada himmah atau motivasi, semangat belajar pada rekan-rekan santriwati tersebut. Bahkan malah berbanding jauh sekali apabila kita bandingkan dengan kira-kira 15-20 tahun yang telah lalu. Yakni mungkin  periode Bapak atau ustadz/ustadzah saya yang menjadi santri. Beliau sering bercerita bahwa semangat menuntut ilmu para pendahulu sangat tinggi sekali jauh berbeda bila dibanding dengan sekarang. Tidak ada kata malas dalam mencari ilmu walaupun di tempat yang jauh. Sungguh memang sangat berbanding terbalik dengan sekarang.
       Memang, satu tahun yang lalu saat aku masih belajar juga di pesantren di daerah asal saya, Pati tepatnya dikota Kajen. Hal semacam itu juga terjadi dan menjadi PR besar bagi segenap pengurus dan Pengasuh tentang bagaimana dan dengan cara apa menumbuhkan Himmah tholabul ilmi bagi segenap santri tersebut. Dalam diskusi kecil dengan rekan-rekan sekamar saya, ada satu yang berceloteh “saiki cah cilik utowo cah gede wes ra wedi karo pengurus lan ta’ziran”[1]. Memang saya akui hal itu benar sekali. Tidak ada yang di takuti  sama sekali. Dan membuat para pengurus merasa pusing bagaimana membuat kelas penuh kembali dengan semangat jiwa menuntut ilmu yang membara. Apakah harus dikasih wejangan-wejangan tentang pentingnya menuntut ilmu dengan metode-metode ceramah yang membara? Ataukah harus di tingkatkan lagi ta’ziran yang telah di tetepkan dan berlaku selama ini. Dan pandangan saya pasti ada faktor –factor atau atribusi-atribusi baik internal maupun eksternal yang mempengaruhinya.
       Dan apabila kita mau menganalisis lebih lanjut, hal ini pun tidak hanya terjadi dalam lingkungan pesantren saja. Tapi juga di lembaga-lembaga pendidikan lain, yakni sekolah-sekolah yang saya tau telah mempunyai managemen pendidikan yang bagus dan tertata. Terbukti  dengan presentasi ketidaklulusan siswa-siswi baik di tingkat SMP,SMA yang masih tinggi,  angka bolos kekolah yang juga tinggi lagi, genk-genk pelajar yang marak. Hingga perilaku-perilaku kriminal lain yang dilakukan pelajar. Seperti memerkosa teman sendiri, hamil di luar nikah, narkoba, hingga tawuran-tawuran antar pelajar yang hingga menelan korban jiwa. Yang akhir-akhir ini banyak terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Medan, dan lainnya.
       Kenakalan remaja seperti itu banyak sekali menimbulkan masalah, dampak yang besar juga. Semisal, Tawuran antara siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 6 dan SMAN 70 di bundaran Bulungan, Jakarta Selatan, Senin, 24 September 2012, yang menyebabkan seorang siwa dari SMA 6 tewas pada perjalan menuju rumah sakit karna terkena luka bacok. Hingga berita terakhir yang saya baca kamis lalu menyeret enam pelajar lagi menjadi tersangka secara positif, dengan keseluruhan tersangka ada tujuh siswa. Itu belum lagi aksi-aksi tawuran di kota-kota lain. Dan lebih umumnya lagi aksi-aksi kenakalan remaja yang lain yang terjadi di Indonesia ini pada umumnya. Seperti pemerkosaan dan kasus narkotika,
       Nah, pasti kita sebagai generasi yang berintelektual dan mempunyai etika, tentunya bertanya-tanya, ada apakah dengan generasi muda sekarang ini. Padahal Indonesia adalah Negara dengan berbagai norma, nilai dan adat istiadat yang kompleks yang kesemuanya mengajarkan nilai ekstetika tinggi. Apakah hal itu sudah tak berlaku lagi bagi generasi muda sekarang ini? Juga agama-agama di Indonesia yang semuanya juga mengajarkan hidup dengan baik dan benar dalam bertingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Apakah hal paling mendasar dalam kehidupan manusia seperti agama juga sudah tidak berpengaruh lagi? Apalagi kita hidup di Indonesia dengan konstitusi pancasila yang telah dengan universal mengatur manusia agar hak dan kewajibannya itu dapat saling berjalan beriringan tanpa harus bertabrakan dengan hak serta kewajiban orang lain?
       Lalu apakah factor dari keluarga, masyarakat sekitar, lingkungan, yang mempengaruhi dan mendroktrin para remaja sehingga menjadi “sakit” seperti sekarang ini? Dan adalagi, apakah factor dari adanya Globalisasi teknologi dan informasi yang melanda ini sehingga menjadikan remaja rentan dan tak mampu lagi berfikir kritis untuk menyeleksi mana yang baik dan bermanfaat bagi dirinya, maupun mana yang tidak baik dan harus ia tinggalkan. Ataukah ada factor dari dalam diri remaja itu sendiri yang mempengaruhi psikisnya sehingga ia mudah untuk bertindak yang bertentangan dengan ekstetika, dan kepentingan orang banyak sehingga cenderung menjadi pengacau.
       Dan lagi, ada yang berkata bahwa remaja di tekan dalam mencapai nilai tinggi dalam akademik di sekolah, setiap hari remaja di doktrin untuk menerima rumus- rumus matematika, IPA, teori ini dan itu sehingga lupa dan mengesampingkan akhlak dari remaja itu sendiri. Sehingga pendidikan karakter di rasa kurang bahkan tidak penting. Siapakah sekarang yang paling berperan? Factor Internal atau eksternal?

b.      Rumusan Permasalahan
a.       Ada apakah dalam usia remaja itu? Serta Factor-faktor apasajakah yang mempengaruhi adanya kenakalan remaja?
b.      Bagaimanakah analisis masalah bila di kaitkan dengan teori-teori dalam Psikologi social? 

B. PEMBAHASAN
a. Remaja, dan factor-faktor kenakalan remaja.
Dalam perkembangan jiwa, tiap-tiap manusia mengalami masa peralihan. Terutama masa peralihan dari masa muda ke masa dewasa. Yaitu sekitar umur 13-21 tahun. Di sini anak aktif mencari hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dan meninggalkan hubungan keluarga. JJ. Rosseau mengatakan bahwa masa ini perhatian anak atau remaja tertuju ke dalam dirinya, hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang difikirannya akan di tolaknya mentah-mentah, mudah terpikat oleh sesuatu yang kelihatnnya menyenangkan, belum mempunyai sisi selektif dan egoisme yang tinggi menjadi lebih mudah menimbulkan emosi.
Dalam masa remaja ada yang namanya masa puber, yakni antara 15-18 tahun, masa ini merupakan masa rekontruksi atau pembangunan kembali. Jadi kelabilan emosi Masih tinggi sehingga dengan hal sekecil apapun, tersenggol misalnya. Maka remaja akan mudah marah. Selain itu cara berpikirnya pun masih rentan. hal-hal yang menurutnya baik yang ia lakukan. Maka ia akan melakukannya, walaupun melanggar nilai, agama, adat, norma dan lain sebagainya. Ia selalu merasa bahwa ia lebih kuat di muka bumi ini. Mereka remaja, terutama laki-laki hidup dalam alam objektivitas.. misalnya aktif melindungi, pemberani dalam menentang dan kritis, ingin turut menentukan bebas berfikir, memuja tokoh-tokoh yang di kaguminya dan berusaha untuk menirunya.
Dalam masa yang sangat menentukan ini, remaja banyak menerima doktrin-doktrin dari lingkungan sekitar, sekolah dan teman-teman bergaulnya. Sehingga ia akan terkontaminasi oleh apa yang ia lihat, ia dengar sendiri dan ingin menirunya. Jika stimulus atau tindakan yang di terimanya itu suatu hal yang positis. Maka ia pun akan menjadi orang-orang yang lebih berperilakuan positif. Seperti contoh. Ima adalah santri baru dalam kamar 5d di sebuah pesantren. Warga kamar yang lain adalah para senior yang suka tepat waktu dalam beribadah dan rajin menjalankan ibadah-ibadah lainnya selain sholat wajib.dan tidak pernah absen mengaji, bahkan datang lebih awal sehingga tidak terlambat. Maka si Ima tadi, lama kelamaan juga akan ikut dalam kekhushuán ibadah bersama teman-teman dan lingkungannya yang mendukung. Dan ia akan bisa hidup lebih teratur dan mempunyai kepribadian yang baik.
Tetapi apabila stimulus yang di terima oleh remaja adalah hal yang negative dan ia merespon positif sehingga ia menjadi negative pula, dan ia akan terkontaminasi dan berkelakuan yang negative. Seperti halnya yang terjadi dalam tawuran di Jakarta antara  SMAN 6 dan SMAN 70. Mereka yang rata-rata adalah remaja telah terkontaminasi dengan tingkah laku kakak kelas mereka  yang negative dan teman-teman kelas mereka yang negative pula. Dan pada saat ada salah satu dari teman mereka yang sedang terancam, sebagai rasa solidaritas dan di bakarnya emosi dan darah muda mereka. Mereka cenderung melakukan aksi-aksi anarkhir, yakni tawuran hingga merebut korban jiwa. Dan ini merupakan interaksi yang negative.
Selain itu ada beberapa factor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja dan hilangnya kepedulian remaja dalam hal pendidikan, antara lain :
a.       Factor lingkungan. Yakni  lingkungan fisik dan sosial.
Lingkungan fisik, yaitu lingkungan kealaman. Lingkungan alam yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan remaja. Misalnya seorang anak yang hidup di daerah yang gersang dan tandus, akan mempunyai kepribadian yang kasar dan agak sentimental. Hal ini terpengaruh karena kebiasaan hidupnya yang keras demi berjuang untuk makan.
Lingkungan sosial, yaitu liingkungan masyarakat yang di dalamnya ada interaksi antara individu dengan individu yang lain. Dalam hubungan antar individu ini tidak berlangsung searah, tetapi antar individu dengan lingkungannya terdapat hubungan. Yakni, individu mempengaruhi lingkungan, maupun lingkungan mempengaruhi individu.  Ulasan di atas tadi bisa mewakili sebagai contoh.
b.      Pendidikan karakter yang lemah
Pendidikan karakter adalah penanaman nilai karakter bangsa dengan tidak terfokus dengan pemberian informasi dan doktrin keilmuan semata. Lebih jauh adalah bagaimana mampu menanamkan nilai  dan semangat karakter bangsa yang berbudi luhur, sopan-santun, ramah-tamah, gotong- royong, disiplin, taat aturan yang berlaku dan sebagainya dalam jiwa generasi terdidik. Dengan begitu akan lahir generasi andal di masa depan yang tidak hanya cakap dalam bidang intelektual saja tetapi juga emosional dan spiritualnya
Tetapi bila kita lihat di Indonesia kurun waktu ini, lembaga pendidikan seolah-olah hanya transfer pengetahuan saja. Mengejar target nilai-nilai dimana siswa nanti dapat lulus. Hal ini pun sangat berpengaruh tidak baik kepada para remaja. Karena dalam diri mereka yang kosong tidak di berikan suatu pelajaran kepribadian yang baik yang di aplikasikan dalam kehupannya sehari-hari . sehingga ia hanya mengandalkan akal tanpa menilik hati nurani sebagai rujukan untuk bertindak sesuatu.
Meminjam istilah David Elkind & Freddy Sweet PhD (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: ‘’Character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from withinî.
Dari pernyataan ini bisa dipahami bahwa keberhasilan pendidikan karakter akan banyak bergantung pada proses pembiasaan dan keteladanan dari semua unsur pendidikan di sekolah, terlebih dari para guru. Yaitu dengan sejauh mana guru mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Ini karena guru merupakan instrumen penting yang membantu pembentukan watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan. Bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.
Dengan begitu, keteladanan dari seorang guru dan pendidik adalah harga  mati. Keteladanan yang tidak hanya dilakukan dengan kebiasaan di dalam ruang kelas saja tetapi juga hingga kehidupan yang nyata.
Dalam hal ini, pemerintah pun tidak boleh tinggal diam. Meminjam Istilah Doni Koesoema, di antara langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah dalam memperbaharui sistem pendidikan karakter adalah dengan melibatkan semua unsur dan elemen penting mulai dari pemerintah, sekolah dan rumah. Ini karena fokus pendidikan karakter yang efektif mensyaratkan peran serta komunitas di luar sekolah sebagai rekan strategis dalam pengembangan pendidikan.
c.       Pengetahuan agama yang lemah.
Manusia adalah makhluk beragama, tapi dalam konteks remaja hal ini lain. Pada dasarnya, ide-ide agama, dasar-dasar keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama pada dasarnya di terima seseorang pada masa kecilnya. Pertumbuhan pengertian tenteng ide-ide agama sejalan dengan pertumbuhan kecerdasan.
Sekarang, agama memang di anggap tidak begitu penting. Apalagi di kalangan para remaja. Mereka cenderung mengabaikan pelajaran-pelajaran agama. Dan sebagai akibatnya. Remaja cenderung tak mempunyai tujuan di mana ia akan berpijak. Tidak mempunyai patokan dalam bertingkah dan berperilaku dan pedoman hidupnya. Dan satu lagi remaja tidak mempunyai suatu kepercayaan yang akan mengontrol dia saat akan berbuat salah. Jadi mereka cenderung melakukan semau mereka sendiri. Karna control yang berasal dari dalam diri tidak berfungsi.
d.      Pergeseran norma, serta nilai yang berlaku di masyarakat
Dahulu, orang yang melakukan kesalahan, dan di ketahui oleh masyarakat maka ia akan di kucilkan dan di cap oleh masyarakat sebagai penjahat. Dahulu, control social masih berlaku dan sangat ketat. Sehingga individu maupun remaja mempunyai kontrol sosial yang membatasi perilakunya apabila berbuat kesalahan. Ataupun menyimpang dari kaedah dan norma yang berlaku.
Tetapi, apa yang terjadi sekarang? kontrol social  seakan tidak berfungsi kembali dan mengalami pergeseran makna nya. Sehingga remaja pun tidak mempunyai semacam rasa takut bila melakukan penyimpangan ataupun kesalahan social.
e.       Pengaruh media Informasi dan Telekomunikasi
Media informasi dan  telekomunikasi sekarang telah merajalela dan sangat banyak macamnya, sehingga hal ini memberikan ruang yang tanpa batas bagi penggunaya. Media Inkom yang semakin hari semakin canggih ini, selain memberikan segi positif dan keuntungan, ternyata juga memberikan segi dan dampak yang negative, baik anak-anak, remaja, orang tua dan masyarakat secara keseluruhan.
Khusus pada remaja, Mereka bisa mengakses apapun di internet, laptop, Hp dan lainnya. Baik sekali bila menggunakan hal itu untuk kepentingan belajar dan hal lain yang bermanfaat. Tapi lain halnya bila mereka menggunakan hal-hal lain yang negative. Seperti mengakses video-vidio porno, kekerasan, tawuran dan hal-hal lain yang negative. Dan biasanya mereka cenderung ingin mempraktekkan dan melakukannya di kehidupannya. Dan akhirnya banyak sekali kenakalan-kenakalan remaja yang terjadi akibat pengaruh dari media Inkom yang semakin hari semakin tiada batas tanpa adanya sensor dari pihak-pihak yang berwenang.
f.       Kecenderungan berfikir praktis.
Dalam sifat remaja yang cenderung lebih memntingkan diri sendiri dan mengandalkan emosi , ternyata mereka masih mempunyai sisi sifat lain, yaitu suka berfikir praktis. Tidak memfikirkan akibat yang akan di timbulkan nantinya. Tetapi cenderung apa yang mereka inginkan, lalu mereka lakukan.
Seperti dalam contoh tawuran di atas, mereka hanya berfikir secara subjektif saja. Belum menyadari bahwa pasti ada akibat yang tidak baik yang akan timbul di depannya. Karena memang mengandalkan emosi.
Sebenarnya masih ada banyak factor-faktor lain yang mempengaruhi kenakalan remaja remaja, tapi mungkin cukuplah tulisan ini mengulas apa yang telah terpaparkan di atas.
c.       Analisis amasalah dengan teori-teori Psikologi Sosial
1.      Teori pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
 Dalam kasus di atas tadi dapat kita hubungkan dengan teori yang mendasarkan alasan ini, ternyata setelah saya coba-coba meneliti dengan segenap teman-teman yang saya ketahui tidak mengaji. Mereka tidak mengaji karena alasan malas, capek, tidak bisa materinya dan lain-lain. Yang akhirnya mereka akan mengantuk di kelas. Dan apabila mereka ketahuan mengantuk mereka akan menanggung malu karena sifat kemanusiaannya muncul dan di ketahui teman-teman yang lain. Anggap saja gengsi.
Dan untuk kasus tawuran, di sebabkan oleh adanya menjaga harga diri di depan lawan. Telah menjadi rahasia umum bahwa SMAN 70 dan SMAN 6 ini memang telah bermusuhan sejak lama. Jadi musuh bebuyutan. Jadi mereka memang mempertahankan harga diri masing-masing dan solidaritas temannya.
2.      Teori pembentukan perilaku dengan model (contoh )
“ Walah kok ngaji terus to mbak, wong mbak-mbak seng gede – gede wae yo podo ora ngaji kok. Anut wae “[2]. Jawaban itu yang selalu saya dapatkan dari teman-teman yang diam-diam saya interview. Jadi sangat jelas di sini bahwa factor model sangat berpengaruh dan menjadi doktrin pembentukan perilaku yang ditiru.
Dan dalam kasus tawuran di atas telah saya kemukaan bahwa antara SMAN 70 dan SMAN 6 memang sudah bermusuhan sejak lama. Jadi tidaklah berlebihan bila analisis saya sudah barang tentu terjadi pertempuran-pertempuran lain yang sebelumnya terjadi, dan itupun telah di tiru dan di lestarikan oleh adik-adik kelas sebagai generasi penerus mereka. Dalam jiwa mereka, ada semacam tuntutan untuk melakukan hal membela almamater, mereka tidak mau di katakana “cemen”, penakut, pengecut dan lain-lain, sehingga terjadilah pergeseran perilaku remaja-remaja tersebut. Sehingga menimbulkan tawuran.  Walaupun pasti ada factor-faktor lain yang mereka tiru, seperti pengaruh media masa elektronik yang sering menampilkan acara-acara kekerasan sehingga mereka adopsi dan mereka praktekkan.
Teori ini sebenarnya tidak hanya berlaku dalam kedua kasus di atas, tapi lebih umum lagi mengenai kenakalan-kenakalan remaja, kejahatan kriminal, kasus korupsi dan lain-lain.
3.      Teori dorongan
Ada juga yang mengatakan bahwa teman yang membolos adalah karna ada dorongan dalam dirinya yaitu rasa capek dan malas, sehinga mereka memutuskan untuk absen dan tidak mengikuti pengajian. Mungkin karena seharian mereka telah banyak kegiatan di kampus atau di sekolah, sehingga dorongan dalam dirinya mengatakan untuk absen saja.
Sebagai rasa solidaritas dan nama baik, para siswa-siswa SMAN 70 dan SMAN 6 mendapatkan dorongan untuk saling melindungi, membela dan aksi solidaritas lainnya yang akhirnya malah menimbulkan tawuran karena mereka mengikuti dorongan nafsu yang negative. Yakni solidaritas dengan cara kasar yakni tawuran.
4.      Teori atribusi
Ternyata, sebab-sebab adanya pergeseran semangat belajar dan kenakalan remaja di atas juga tergolong dalam teori atribusi, yakni mereka berperilaku seperti itu dikarenakan ada suatu sebab-sebab. Ada yang di sebabkan oleh disposisi Internal seperti kecenderungan emosi dan sikap para remaja yang masih labil, atau memang sikap dari personal individu yang suka malas dalam mengikuti kegiatan-kegiatan. Dan  disposisi eksternal seperti lingkungan yang mempengaruhi sehingga hal tersebut diadopsi mentah-mentah tanpa adanya kritis sehingga terjadilah kenakalan seperti itu.
5.      Teori Konvergensi
Teori yang dikemukakan oleh W. Stern ini temasuk juga dalam kasus-kasu yang saya bawakan. Factor pembawaan dan factor lingkungan membentuk remaja atau individu sedemikian rupa. Salah satu dari remaja, dari contoh pertama misalnya, ada yang memang dia adalah seorang pemalas. Buku-bukunya pun tak ada. Hanya sekedar menaruh pakain seragam sekolah pun ia malas, maka tidak menutup kemungkinan untuk mengaji pun ia akan merasa sangat berat. Karna mamang ia adalah pemalas. Sedangkan factor lingkungan kurang lebih sama dengan model, atribusi, dorongan dan lainnya.
Dalam kasus kedua, saya membaca dalam harian kompas yang saya lupa kapan media itu terbit, di sebutkan bahwa hasil tes Psikologis sie Doyok (tersangka pembacok utama) memang agak mempunyai kepribadian yang agak buruk. Sehingga factor bawaan nya pun mempengaruhinya untuk berbuat tawuran.

3.KESIMPULAN
Kenakalan remaja, sikap remaja yang cenderung pasif dalam belajar, motivasi belajar generasi muda lemah. Menjadi momok Negara bila tidak segera di sadari, baik pemerintah atau individu remaja itu sendiri. Kenapa tidak…? Karena nasip bangsa ada di tangan para generasi penerus. Yang dalam hal ini adalah kaum muda. Bila kaum muda sekarang lebih suka pergi nonton bioskop dari pada ke perpustakaan, lebih suka menyerah dengan keadaan dari pada optimis untuk bisa, lebih suka tawuran dari pada bermusyawarah. Maka, mau di bawa kemana negeri kita yang tercinta ini. …..?
Selain menanggung nasib bangsa, individu juga menanggung nasib dirinya, keluarga dan rumah tangganya nanti. Bila ia muda hanya mengandalkan makan dari orang tua. Tidak mempunyai kreativitas sndiri harus bagaimana ia akan hidup mandiri. Lantas dimasa depan dengan apakah ia hidup nanti? Dengan siapakah dia akan bergantung nanti?
Hal-hal ini lah yang akan menjadikan kriminalitas menjadi bertambah, penduduk yang bodoh, kreativitas remaja yang kurang dan lainnya akan menimbulkan efek yang tidak baik pada lingkungan khususnya dan Negara pada umumnya. Profesi pencopet akan semakin naik, pencuri akan merajalela. Kekerasan akan selalu menjadi hot news setiap halaman-halaman dan tampilan berita. Lantas seperti apakah masa depan kita nanti?
Setidaknya, kita sebagai kaum intelektual yang telah di beri nikmat untuk dapat mengenyam pendidikan, wajiblah kiranya kita untuk memberikan kontribusi nilai-nilai dan contoh-contoh sikap yang baik bagi sekeliling kita. Apalagi kita sebagai mahsiswa Psikologi yang kesehariannya berkutik dengan jiwa. Jiwa disini harus kita pahami dalam konteks yang luas. Masyarakat mempunyai jiwa, yakni tatanan social, bila terjadi penyelewengan berarti jiwa masyarakat itu sedang sakit. Nah bukankah kita yang harus maju untuk berusaha memperbaikinya?
Untuk itulah, dalam kesimpulan tulisan yang saya tulis ini, saya ingin memotivasi diri saya sendiri untuk lebih giat lagi dalam bertholabul ilmi di manapun dan kapanpun. Dan umumnya bagi yang membaca tulisan saya, entah siapa, saya juga mengharapkan hal yang sama. Sekian dan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA
Bimo Walgito, 2003. PSIKOLOGI SOSIAL (suatu pengantar). Edisi Revisi. Penerbit ANDI. YOGYAKARTA
Robert A. Baron & Donn Byrne, 2003. PSIKOLOGI SOSIAL jilid I, edisi kesepuluh. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Ngalim Purwanto, MP. 1990. PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Penerbit REMAJA ROSDAKARYA. Bandung.
http//mengevaluasi pendidikan karakter//Dito alif Pratama// Suara Merdeka.com
http//kronologi tawuran SMAN 70 dan SMAN 6 Jakarta//Kompasiana. Com





[1] Sekarang, baik anak kecil atau yang besar sudah tidak tahut dengan pengurus maupun ta’ziran (hukuman)
[2] Aduh kok ngaji melulu sih mbak, kakak-kakak yang besar saja tidak mau mengaji kok, aku ikut saja.

0 komentar:

Posting Komentar