MATERI KULIAH
INSTRUMENTASI PENELITIAN
I R W A N T O
NIM. 16.310.410.1125)
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
TIU
:
1. Memahami definisi instrumentasi
penelitian
2. Memahami definisi pengukuran
3. Memahami kaidah pokok dalam pengukuran
4. Memahami pengukuran (pengamatan)
secara kualitatif dan kuantitatif
5. Memahami langkah-langkah pengukuran
6. Memahami kesalahan macam-macam
kesalahan pengukuran dan cara menghindarinya.
Instrumentasi
penelitian merupakan sesuatu yang amat penting dan strategis kedudukannya dalam
keseluruhan kegiatan penelitian karena dengan instrumentasi penelitian itulah
didapatkan data. Data merupakan bahan penting yang akan digunakan untuk
menjawab permasalahan, mencari sesuatu yang akan digunakan untuk mencapai
tujuan, dan untuk membuktikan hipotesis. Jadi data merupakan kunci pokok dalam
kegiatan penelitian, sekaligus menentukan kualitas hasil penelitiannya.
Untuk
dapat memahami pengertian dan fungsi instrumentasi sebagai salah satu mata
rantai kegiatan penelitian, perlu dikaji kedudukan instrumentasi dalam model
pembuktian hipotesis seperti terlihat pada Gambar 1.
Penelitian
dipandang sebagai serangkaian kegiatan dalam rangka pembuktian kebenaran
hipotesis, sehingga instrumentasi (dan pengukuran) merupakan alat utama bagi
upaya pembuktian tersebut, yaitu dengan beranjak dari rancangan penelitian yang
dipilih, peneliti dapat mengobseravsi variabel-variabel penelitian.
MASALAH
|
|
HIPOTESIS
|
|
PEMBUKTIAN
|
|
|
|
|
(observasi empirik)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Rancangan
Penelitian
|
|
|
Operasionalisasi
|
|
|
|
|
|
|
INSTRUMENTASI
|
|
|
|
|
|
DATA
|
|
Variabel
|
|
Pengukuran
|
|
|
|
|
|
Interpretasi :
|
Hipotesis DITERIMA atau DITOLAK
|
|
Gambar 1. Kedudukan instrumentasi
dalam Pembuktian Kebenaran Ilmiah
Instrumentasi
penelitian adalah alat bantu bagi peneliti dalam mengumpulkan data. Kualitas
instrumen akan menentukan kualitas data yang terkumpul, sehingga disimbolkan
dengan ungkapan :garbage tool garbage result. Oleh
karena itu, menyusun instrumentasi bagi kegiatan penelitian merupakan langkah
penting yang harus dipahami betul-betul oleh peneliti.
Pada
Gambar 1 juga dapat diketahui bahwa instrumentasi akan sangat menentukan apakah
data yang diperoleh benar-benar merupakan representasi faktual dari variabel
penelitian atau dengan kata lain, apakah data yang diperoleh tersebut merupakan
alat yang valid untuk membuktikan hipotesis.
Instrumentasi
didefinisikan sebagai proses pemilihan atau pengembangan metode dan alat ukur
yang tepat dalam rangka pembuktian kebenaran hipotesis.
Definisi
tersebut mengindikasikan bahwa hipotesislah atau variabel-variabel yang
diturunkan dari hipotesis yang menentukan metode dan alat pengukuran, bukan
sebaliknya. Dengan kata lain, instrumentasi merupakan variabel tergantung
terhadap variabel penelitian. Oleh karenanya yang menjadi dasar bagi kegiatan
instrumentasi adalah landasan teoritik yang digunakan dalam menyusun hipotesis
dan operasionalisasinya. Dasar pemikiran
ini perlu ditekankan karena banyak peneliti muda yang berpikir secara
terbalik yaitu memilih terlebih dahulu metode dan alat ukur yang ada baru
menentukan variabel penelitiannya, atau memilih metode dan alat ukur yang sama
sekali tidak cocok dengan landasan teoritik yang melatarbelakangi variabel
penelitian.
Pada
Gambar 1 juga terlihat bahwa pengukuran merupakan kegiatan lanjutan yang tidak
terpisahkan dari instrumentasi itu sendiri.Pengukuran merupakan implementasi
instrumentasi yang dikenakan pada variabel-variabel penelitian, sehinggga
diperoleh data penelitian. Untuk dapat memahami hakekat pengukuran, lebih
dahulu perlu dikaji pengertian data itu
sendiri dan kaitannya dengan aspek metodologik.
Data
adalah bentuk jamak dari datum, merupakan manifestasi realitas (kebenaran), dan
bukan kebenaran itu sendiri.Data hanya merefleksikan realitas yang
sesungguhnya, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2.
Realitas (kebenaran) Absolut
Realitas
Data Primer
Realitas
Data Sekunder
Perkiraan (harapan) Peneliti
Gambar 2. Hakekat Kebenaran Data
Penelitian
Gambar
2 memberi pengertian kepada peneliti bahwa data yang diperoleh dengan
pengukuran bersifat terbatas dalam mengungkapkan keseluruhan realitas kebenaran
itu sendiri.Kesadaran ini juga yang mendorong para peneliti untuk semaksimal
mungkin untuk mengupayakan kaidah-kaidah pengukuran yang benar, agar data yang
diperoleh dapat lebih mendekati realitas yang sesungguhnya. Disamping itu,
peneliti juga akan hati-hati dalam menarik kesimpulan atau melakukan
generalisasi empirik setelah hasil penelitian diperoleh.
Secara
umum, dikenal dua macam data , yaitu data literal dan data observasional. Data literal
(historik) ialah data yang diperoleh dengan melakukan pencatatan terhadap
kejadian atau fenomena yang telah berlalu, contohnya data yang diperoleh dengan
cara anamnesis atau mempelajari catatan yang ada (sebagai data sekunder). Data
observasional ialah data yang diperoleh dengan melakukan observasi langsung
terhadap fenomena.Contohnya : data yang diperoleh dengan cara pemeriksaan
klinik, pemeriksaan laboratorik, atau pemeriksaan langsung yang lain.
Hakekat
pengukuran dengan demikian merupakan suatu kerangka kerja operasional yang
mengusahakan agar fakta atau fenomena diletakkan sedemikian rupa sehingga
maknanya terlihat lebih nyata, lebih mendekati realitas sesungguhnya.
Pengukuran didefinisikan
sebagai pemberian batas kuantifikasi tertentu pada variabel sehingga dapat
diketahui nilai atau besaran variasinya.
Bagaimana
tingkat kecermatan batas tersebut dapat diidentifikasi, ditentukan oleh jenis
variabelnya.Konsep tingkat pengukuran (level
of measurement) variabel adalah beranjak dari pengertian di atas.Makin
jelas batas kuantifikasi tersebut dapat diidentifikasi, maka hasil pengukuran
lebih ke arah rasional.Sebaliknya, kalau kuantifikasi tidak mungkin dapat
dilakukan, dan batas hanya membedakan satu nilai dari yang lain, maka hasil
pengukuran yang diperoleh berupa data berskala nominal.
Pengukuran
dibagi menjadi dua, yaitu pengamatan
kualitatif dan pengamatan kuantitatif.
Pengamatan kualitatif adalah penetapan atau identifikasi
terhadap adanya (atau tidak adanya) nilai nominal variabel tertentu pada suatu
subyek.
Pengamatan kuantitatif adalah penetapan atau identifikasi
besar kecilnya (magnitude) nilai
variasi suatu variabel , atau kuantifikasi terhadap variasi nilai dari suatu
variabel.
Baik
pengukuran kualitatif maupun kuantitatif, keduanya harus berpijak pada kaidah
pokok pengukuran, yaitu obyektivitas, validitas dan
reliabilitas.Tiga kaidah inilah yang merupakan petunjuk bagi
peneliti untuk mendekatkan data hasil penelitiannya dengan realitas yang
sesungguhnya.
Obyektivitas mengandung arti bahwa pengukuran yang
dilakukan benar-benar terbebas dari bias peneliti, sehingga menghasilkan data
apa adanya. Bias disini dapat berupa kecondongan pada perkiraan atau harapan
peneliti maupun kecondongan pada kenyataan umum (yang biasa terjadi).
Kaidah
validitas mempertanyakan apakah
pengukuran yang dilakukan benar-benar mengukur apa yang memang dikehendaki
untuk diukur, atau adakah ketergayutan antara metode dan alat ukur dengan obyek
ukur. Misalnya kita akan mengukur kekuatan otot, apakah pengukuran yang kita lakukan
benar-benar mengukur kekuatannya, bukan mengukur ketahanan atau derajat
kontraksinya.
Kaidah
reliabilitas mempertanyakan akurasi,
konsistensi atau stabilitas pengukuran.Data yang reliabel berarti data yang
benar-benar mencerminkan nilai yang sesungguhnya dari variabel yang diukur,
karena kemutlakan yang demikian sukar terjadi, maka secara lebih realis
dikatakan bahwa reliabilitas pengukuran ditentukan oleh sedikitnya terjadi skor
yang salah.
Pengukuran (pengamatan)
kualitatif
Adalah
menetapkan ada atau tidaknya nilai atau ciri tertentu pada subyek penelitian,
sehingga hanya diperoleh data dengan skala nominal.Dalam prakteknya, masalah
ketepatan identifikasi ciri tersebut merupakan hal yang pokok.
Peneliti
yang melakukan pengukuran kualitatif harus senantiasa sadar tentang kemungkinan
berbuat dua macam kesalahan, yaitu positif palsu dan negative palsu.Positif
palsu terjadi kalau subyek yang sesungguhnya tidak mempunyai ciri diberi skor
positif atau sebaliknya negatif palsu terjadi bila subyek yang mempunyai ciri
tetapi mendapat skor negatif.
Dalam
penelitian kedokteran dan kesehatan banyak dijumpai contoh pengukuran
kualitatif ini.Penetapan diagnosis suatu penyakit, misalnya sering menimbulkan
problematika kesalahan pengukuran.Contoh : penetapan diagnosis tuberculosis
(tbc) paru dengan menggunakan pemeriksaan radiologik. Positif palsu terjadi
kalau orang sehat didiagnosis tbc paru, negatif palsu terjadi bila penderita
tbc paru didiagnosis sehat. Pada pengukuran lain, negatif palsu akan sama
dengan positif palsu, misalnya penetapan jenis kelamin bayi dalam kandungan
dengan menggunakan pemeriksaan amniosintesis. Bayi laki-laki didiagnosis wanita
atau sebaliknya, keduanya adalah positif dan negatif palsu.
Ada
dua jalan untuk menghindari terjadinya kesalahan pengukuran, yaitu :
1)
menggunakan alat dan cara ukur yang sesensitif mungkin dan sudah terujikan
validitas dan reliabilitasnya,
2)
ketrampilan pengukur sendiri yang diperoleh dari pengalaman. Disamping itu
kondisi si pengukur sendiri akan sangat mempengaruhi ketepatan pengukuran,
misalnya kelelahan, kesibukan, dsb. Hal tersebut perlu diperhatikan oleh
peneliti.
Pengukuran (pengamatan)
kuantitatif
Adalah
melakukan identifikasi besar-kecilnya variasi nilai, sehingga yang diukur
adalah variaibilitas suatu ciri subyek penelitian.
Berbeda
dengan pengukuran kualitatif, pengukuran kuantitatif ini tidak hanya
mengidentifikasi ada tidaknya suatu ciri, tetapi juga kuantififikasi terhadap
nilai ciri tersebut (variasinya).
Hasil
pengukuran kuantitatif ini adalah data yang berskala kontinum, mulai dari skala
ordinal, interval sampai rasio tergantung pada variabel yag dijadikan obyek
ukur. Dibandingkan dengan pengukuran kualitatif, pengukuran ini membutuhkan
tingkat reliabilitas yang lebih tinggi.
Secara
praktis, pengukuran suatu variabel, tergantung pada definisi operasional
variabel penelitian tersebut. Oleh karena itu, pada waktu seorang peneliti
melakukan kegiatan pengukuran, perlu memperhatikan mengenai 2 hal keadan
variabel, yaitu :
1)dimensi
pengukuran variabel dan
2)
tingkat pengukuran variabel.
Ad
1) Dimensi pengukuran variabel adalah berapa banyak unsur atau komponen
penyusun variabel tersebut. Peneliti perlu menilai apakah variabel yang akan
diukur mempunyai dimensi tunggal atau dimensi ganda. Apabila berdimensi tunggal,
maka persoalanya hanya tinggal melakukan pengukuran sebaik mungkin.Apabila
berdimensi ganda, maka peneliti perlu memilih atau mengembangkan indeks
domposit.
Indeks
domposit adalah suatu indeks yang
merupakan hasil penggabungan (dengan cara atau rumus tertentu) berbagai nilai
penyusunnya. Indeks inilah yang diharapkan dapat mencerminkan variasi nilai
dari variabel yang berdimensi ganda tersebut.Nilai penyusun indeks adalah nilai
variasi dimensi-dimensi atau unsur yang menyusun variabel ganda tersebut, yang
diperoleh dengan pengkuran.
Contoh
variabel berdimensi tunggal :
1. Kadar zat tertentu dalam darah
2. Tekanan darah (sistole, diastole)
3. Berat badan
4. Tinggi badan
5. Panjang siklus menstruasi
6. Jumlah sel
7. Dsb
Contoh
variabel berdimensi ganda :
-
Tingkat
kebersihan mulut, unsur penyusunnya misalnya :
= plak gigi
= kalkulus gigi
= adanya karies
=adanya gingivitis
=dsb.
-
Tingkat
kekayaan, unsur penyusunnya misalnya :
=pendapatan kotor tiap bulan,
=jumlah keluarga,
=jumlah kendaraan,
=besar dan keadaan rumah,
=dsb.
-
Tingkat
kelangsingan, unsur penyusunnya misalnya ::
=berat badan,
=tinggi badan,
=total skin fold,
=usia,
=dsb.
Untuk
menyusun indeks domposit bagi variabel berdimensi ganda dibutuhkan landasan
teori yang menjelaskan berapa besar kontribusi unsur-unsur penyusun dalam
keseluruhan nilai variabel yang dimaksud. Pada beberapa variabel, seperti
dicontohkan di atas, telah diformulasikan rumusnya, tetapi bagi variabel lain
yang belum ada rumus indeksnya atau sudah ada tetapi lain landasan teorinya
dengan definisi operasional variabel, dimungkinkan peneliti untuk menyusunnya
sendiri. Indeks domposit sudah dikemukakan pada waktu mendefinisikan variabel
secara operasional.
Ad
2) tingkat pengukuran variabel adalah sifat variabel yang diukur, berskala
nominal, ordinal, interval atau rasional. Penentuan tingkat pengukuran ini amat
menentukan kecermatan atau ketepatan analisis data, sehingga juga mempengaruhi
keabsahan hasil penelitian dan kesimpulan atau generalisasi teoritik yang akan
diangkat dari penelitian.
LANGKAH-LANGKAH
PENGUKURAN
I.Tahap Persiapan
Pengukuran
A.
Merumuskan variabel secara operasional. Rumusan ini dapat berupa ekspresi cara
pengamatan (measured operational
definition) atau ekspresi cara manipulasinya agar efeknya dapat diukur (experimental operational definition).
B.
Menentukan tingkat pengukuran variabel (level
of measurement).Dasar penentuan ini adalah teori dan pemahaman peneliti
tentang variabilitas nilai dari variabel yang akan diukur, oleh karena itu
perlu mempertimbangkan kerangka teori yang melandasi hipotesis.
C.
Dipilih metode dan alat ukur yang tepat. Tepat dalam arti memenuhi kaidah
pengukuran yaitu obyektivitas, validitas dan reliabilitas.
Untuk
pengukuran fenomena kedokteran klinik dan kedokteran dasar di klinik dan
laboratorium, biasanya sudah tersedia peralatan dan metode pengukuran yang
biasa digunakan, sehingga peneliti tinggal memilih mana yang paling baku
diantara peralatan dan metode pengukuran yang ada. Untuk variabel yang
berdimensi ganda, peneliti tinggal menilai apakah landasan teoretik yang
digunakan untuk menyusun rumus indeks domposit dapat dipakai pada penelitiannya
atau tidak, kalau tidak dapat dipakai, maka peneliti dapat memformulasikan
rumus sendiri dengan dukungan teori yang ada.
Untuk
pengukuran fenomena kedokteran sosial, masalahnya tidak semudah itu. Untuk
mengukur fenomena psikososial peneliti perlu menyusun sendiri metode dan alat
ukur yang akan digunakan, baik berupa kuesioner maupun pedoman panduan
wawancara untuk teknik wawancara.
Penyusunan
metode dan alat ukur variabel psikososial ini perlu dilakukan peneliti sendiri
dan tidak dapat begitu saja mengambil alih alat ukur yang telah dipakai
peneliti lain karena sensitivitasnya amat dipengaruhi oleh subyek yang diukur.
Peneliti dapat memodifikasi alat yang ada atau sama sekali menyusun yang baru.
Oleh karena itu peneliti dituntut memiliki pengetahuan dasar mengenai variabel
psikososial tersebut.Peneliti di bidang kedokteran dan kesehatan perlu
mempelajari metodologi penelitian sosial, termasuk dasar-dasar teoretik untuk memahami
fenomena psikososial tersebut.
II. Tahap Prapengukuran
Peneliti
perlu melakukan uji coba alat ukur yang akan digunakan agar ia tahu persis
bahwa pengukuran yang akan dilakukan benar-benar memenuhi kaidah validitas dan
reliabilitas. Untuk instrumen kedokteran klinik dan laboratorik, tahap
prapengukuran ini tidak menjadi masalah karena sebagian peralatan umumnya sudah
baku, pada instrumen laboratorik perlu dilakukan peneraan untuk memperoleh
tingkat reliabilitas yang tinggi. Untuk instrumen pengukuran fenomena sosial,
masalahnya lebih pelik karena yang dihadapi adalah fenomena yang tidak
eksak/kongkrit sehingga uji coba alat ukur pada tahap prapengukuran ini menjadi
amat penting.
Uji
coba biasanya dilakukan pada sekelompok subyek di lapangan yang diperhitungkan
kondisinya menyerupai subyek penelitian yang sesungguhnya.Hal yang menjadi
pertanyaan peneliti adalah apakah data hasil penelitian yang diperoleh nantinya
benar-benar merupakan data yang valid untuk menarik kesimpulan atau tidak, amat
tergantung pada tingkat validitas dan reliabilitas pengukuran yang diperoleh
pada hasil uji coba ini.
III. Tahap Pengukuran
Peneliti
perlu memikirkan beberapa hal yang berpengaruh terhadap hasil pengukurannya,
yaitu antara lain instrumen penelitian (metode dan alat ukur) yang digunakan,
subyek penelitian yang dihadapi, administrasi (pencatatan hasil) pengukuran,
dan keadaan lingkungan (suasana) pada saat pengukuran dilakukan. Tiap faktor
mempunyai kontribusinya sendiri dalam mengantarkan keberhasilan pengukuran yang
dilakukan.
Pada
faktor instrumen, perlu diperhatiakn ketentuan-ketentuan prosedural yang
menjamin validitas dan reliabilitas pengukuran.
Pada
subyek penelitian, perlu diperhatikan faktor-faktor subyektif yang sekiranya
mempengaruhi hasil pengukuran (kelelahan,
keadaan psikis, dsb).
Pada
faktor administrasi pengukuran, perlu diperhatikan faktor kecermatan.
Pada
faktor lingkungan atau suasana pengukuran, perlu diperhatikan masalah
konsistensi (keajegan) keadaannya, baik faktor lingkungan yang mempengaruhi subyek
maupun kegiatan pengukuran itu sendiri.
Faktor-faktor
tersebut perlu diperhatikan untuk meminimalisir bentuk-bentuk kesalahan
pengukuran yang mungkin dijumpai dalam suatu penelitian. Ada dua macam
kesalahan pengukuran, yaitu 1) kesalahan sistematis, dan 2) kesalahan sampling.
Kesalahan sistematis adalah kesalahan yang terjadi karena faktor
alat dan pengukuran itu sendiri, menyangkut alat ukur adalah ketidakvalidan
atau ketidakreliabelan alat ukur yang digunakan, sedangkan yang menyangkut
pengukuran berupa kesalahan yang bersumber pada pengukur sendiri, pada suasana
atau lingkungan pengukuran, serta pada administrasi (pencatatan) pengukurannya.
Ada
tiga hal yang harus dilakukan untuk menghindari kesalahan sistematis terhadap
instrument penelitian, yaitu :
1. Dipilih alat yang sudah dibakukan,
2. Dilakukan peneraan terlebih dahulu,
3. Dilakukan uji coba untuk mengetahui
validitas dan reliabilitasnya.
Kesalahan
sistematis dapat dihindari dengan tindakan yang menyangkut pengukurannya
sendiri, yaitu :
1. Perlu dilakukan latihan terlebih
dahulu pada pengukur yang belum terbiasa dengan alat ukur yang digunakan,
2. Kalau memungkinkan, satu pengukuran
dilakukan beberapa kali,
3. Pencatatan dilakuan secara cermat dan
sesegera mungkin, kalau perlu digunakan alat bantu, misalnya digunakan hand
counter untuk menghitung jumlah sel.
4. Mengusahakan agar lingkungan atau
suasana saat dilakukan pengukuran sedapat mungkin sama, terutama untuk
pengukuran variabel yang amat peka terhadap faktor lingkungan. Pengendalian
terhadap lingkungan juga diperlukan pada pengukuran yang bekerjanya instrument
ukur amat dipengaruhi oleh faktor tersebut.
Kesalahan sampling adalah kesalahan hasil pengukuran
yang terjadi karena sampling pengukuran yang dilakukan tidak representative,
baik terhadap obyek ukur sendiri atau terhadap subyek penelitian. Koreksi atau
cara pencegahannya adalah dengan menggunakan teknik sampling yang seoptimal
mungkin atau serepresentatif mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar