20.12.17

TEORI ERIK ERIKSON



TEORI ERIK ERIKSON

I R W A N T O
NIM. 163104101125

Pembimbing: Fx. Wahyu Widiantoro, S. Psi., MA.

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45Yogyakarta

Erik Erikson (1902-1994) adalah salah seorang teoritis ternama di bidang perkembangan rentang-hidup. la dipandang sebagai tokoh utama dalam teori psikoanalitik kontemporer. Hal ini cukup beralasan, sebab tidak ada tokoh lain sejak kematian Sigmund Freud yang telah bekerja dengan begitu teliti untuk menguraikan dan memperluas struktur psikoanalisis yang dibangun oleh Freud serta merumuskan kembali prinsip-prinsipnya guna memahami dunia modern. Salah satu sumbangannya yang terbesar dalam psikologi perkembangan adalah psikososial. Istilah “psikososial” dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis (Boeree, C. G.: 2005).
Meskipun teori perkembangan kepribadian yang dirumuskan Erikson mempunyai kemiripan dengan teori Freud, namun dalam beberapa hal keduanya berbeda pendapat. Erikson misalnya, mengatakan bahwa individu berkembang dalam tahap-tahap psikososial, yang berbeda dengan tahap-tahap psikoseksual Freud. Erikson menekankan perubahan perkembangan sepanjang siklus kehidupan manusia,sementara Freud berpendapat bahwa kepribadian dasar individu dibentuk pada lima tahun pertama kehidupan. Di samping itu, dalam teori psikososial, Erikson lebih menekankan faktor ego, sementara dalam teori psikoseksual, Freud lebih mementingkan id (Boeree, C. G: 2005).
Menurut teori psikososial Erikson, kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati tahap psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan krisis. Erikson melihat bahwa krisis tersebut sudah ada sejak lahir, tetapi pada saat-saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi dominan. Bagi Erikson, krisis bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan uulnerabality (kerentanan) dan potensi. Untuk setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif dan positif. Pemecahan yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa, sedangkan pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk. Semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya (Boeree, C. G: 1997).
Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam delapan tahap perkembangan. Empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan tiga tahap terakhir pada masa dewasa dan masa tua. Dari delapan tahap perkembangan tersebut, Erikson lebih memberikan penekanan pada masa adolesen, karena masa tersebut merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa yang terjadi pada masa ini, sangat penting artinya bagi kehidupan dewasa. Berikut ini akan diuraikan secara singkat kedelapan tahap perkembangan psikososial Erikson tersebut(Boeree, C. G: 1997).
Tahap kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust) yaitu tahap psikososial yang terjadi selama tahun-tahun pertama kehidupan. Pada masa ini, bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Kalau ibu memberi bayi makan, membuatnya hangat, memeluk dan mengajaknya bicara, maka bayi tersebut akan memperoleh kesan bahwa lingkungannya dapat menerima kehadirannya secara hangat dan bersahabat. Inilah yang menjadi landasan pertama bagi rasa percaya. Sebaliknya, kalau ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi akan timbul rasa ketidakpercayaaan terhadap lingkungannya (Boeree, C. G: 1997) .
Tahap otonomi dengan rasa malu dan ragu (autonomi versus shame and doubt), yaitu tahap kedua perkembangan psikososial yang berlangsung pada akhir masa bayi dan dan masa baru pandai berjalan. Setelah memperoleh kepercayaan diri dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Pada tahap ini, bila orang tua selalu memberikan dorongan kepada anak agar dapat berdiri diatas kedua kaki mereka sendiri, sambil melatih kemampuan-kemampuan mereka, maka anak akan mampu mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan dan diri sendiri (otonom). Sebaliknya, jika orang tua cenderung menuntut terlalu banyak atau terlalu membatasi anak untuk menyelidiki anak akan mengalami rasa malu dan ragu-ragu (Koeswara, E:1991).
Tahap prakarsa dan rasa bersalah (iniative versus guilt), yaitu tahap perkembangan psikososial ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun prasekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat-manjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi, dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua bias memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak-anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi kuat. Sebaliknya, bila orang tua kurang memahami, kurang sabar, suka memberikan hukuman, dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya (Supratik: 1993).
Tahap kerajinan dan rasa rendah diri (industry versus inferiority), yaitu tahap perkembangan psikososial keempat yang berlangsung kira-kira pada tahun-tahun sekolah dasar. Pada tahun ini, anak mulai memasuki dunia yang baru, yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengerahkan energy mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Alat-alat permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada situasi-situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan tetapi, apabila anak tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas yang dipilihnya atau yang diberikan oleh guru-guru dan orang tuanya, maka anak akan mengembangkan perasaan rendah diri (Alwisol: 2005).
Tahap identitas dan kekacauan identitas (identity versus identity confusion), yaitu tahap perkembangan psikososial yang kelima yang berlangsung selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang berarti di tengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun yang bersifat memperbarui. Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan sosial dan historis lain, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila krisis ini tidak segera diatasi, maka anak akan mengalami kebingungan peran atau kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas, hampa, dan bimbang (Alwisol: 2005).
Tahap keintiman dan isolasi (intimacy versus isolation), yaitu tahap perkembangan psikososial keenam yang dialami individu selama tahun-tahun awal masa dewasa. Tugas perkembangan individu pada masa ini adalah membentuk relasi intim dengan orang lain. Menurut Erikson, keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak tercapainya keintiman dari tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkup yang amat terbatas (Boeree CG: 1997).
Tahap generativitas dan stagnasi (generativity versus stagnation), yaitu perkembangan psikososial ketujuh yang dialami individu selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah perhatian terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk-produk, ide-ide, dan sebagainya) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan generasi muda inilah yang diistilahkan oleh Erikson dengan “generativitas”. Apabila generativitas ini lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadian akan mundur, mengalami pemiskinan dan stagnasi (Boeree CG: 1997).
Tahap integritas dan keputusasaan (intregity versus despair), yaitu tahap perkembangan kedelapan yang dialami individu selama akhir dewasa. Integritas terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir kehidupannya menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya, merasa aman dan tenteram, serta menikmati hidup sebagi yang berharga dan layak. Akan tetapi bagi orang tua yang dihantui oleh perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun memberikan kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa (Malcolm Payne: 2005).
Menurut Erikson ada delapan tahap perkembangan terbentang ketika kita melalui siklus kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan individu dengan suatu krisis yang harus di hadapi. Bagi Erikson krisis ini bukanlah suatu bencana, tetap suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi. Semakin berhasil individu menghadapi krisis, akan semakin sehat perkembangan mereka. Berikut adalah tahapan krisis perkembangan menurut erik Erikson:
1.        Kepercayaan vs ketidakpercayaan 12-18 bulan
Adalah suatu tahap psikososial pertama yang di alami dalam tahun pertama kehidupan. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil kekhawatiran akan masa depan. Kepercayaan pada bayi menentukan harapan bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.
2.        Autonomi vs rasa malu dan ragu (12-18 bulan hingga 3 tahun)
Adalah tahap perkembangan kedua yang berlangsung pada masa bayi dan baru mulai berjalan (1-3 tahun). Setelah memperoleh rasa percaya kepada pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa prilaku mereka adalah atas kehendaknya. Mereka menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi mereka. Bila bayi cenderung di batasi maka mereka akan cenderung mengembangkan rasa malu dan keragu-raguan.
3.        Inisiatif vs rasa bersalah (3-6 tahun)
Merupakan tahap ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun sekolah. Ketika mereka masuk dunia sekolah mereka lebih ditantang di banding ketika masih bayi. Anak-anak di harapkan aktif untuk menghadapi tantangan ini dengan rasa tanggung jawab atas prilaku mereka, mainan mereka, dan hewan peliharaan mereka. Anak-anak bertanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun, perasaan bersalah dapat muncul, bila anak tidak di beri kepercayaan dan di buat mereka sangat cemas.
4.        Indistri vs Inverioritas (6 tahun-pubertas)
Berlangsung selama tahun-tahun sekolah dasar. tidak ada masalah lain yang lebih antusias dari pada akhir periode masa awal anak-anak yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak kompeten dan tidak produktif.
5.        Identitas vs kekacauan identitas (pubertas dewasa awal)
Adalah tahap kelima yang di alami individu selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap ini mereka dihadapkan oleh pencarian siapa mereka, bagaimana mereka nanti, dan kemana mereka akan menuju masa depannya. Satu dimensi yang penting adalah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran penjajakan karir merupakan hal penting. Orang tua harus mengizinkan anak remaja menjajaki bayak peran dan berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai peran dan menemukan peran positif maka ia akan mencapai identitas yang positif. Jika orang tua menolak identitas remaja sedangkan remaja tidak mengetahui banyak peran dan juga tidak di jelaskan tentang jalan masa depan yang positif maka ia akan mengalami kebingungan identitas.
6.        Imitasi vs Isolasi (dewasa awal)
Tahap ke enam yang di alami pada masa-masa dewasa. Pada masa ini individu di hadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang lain, keintiman akan di capai, kalau tidak, isolasi akan terjadi.
7.        Produksivitas vs Stagnasi (dewasa tengah)
Tahap ketujuh perkembangan yang di alami pada masa pertengahan dewasa. Persoalan pertama adalah membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna (generality). Perasaan belum melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya adalah stagnation.
8.        Integritas evo vs putus asa (dewasa akhir)
Tahap kedelapan yang di alami pada masa dewasa akhir. Pada tahun terakhir kehidupan lalu maka integritas tercapai. Sebaliknya, jika ia menganggap selama kehidupan lalu dengan cara negative maka akan cenderung merasa bersalah dan kecewa.
DAFTAR PUSTAKA
Gabbard, G.O, 2004, Long Term Psychodynamic Psychotherapy a Basic Text, London, American University Press.
Sabur, Alex, 2003,  Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia. 
Rahayu, Siti, 2006, Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, UGM Press.
Alwisol, 2005, Psikologi Kepribadian, Malang, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Semiun, Yustinus, 2006,  Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik Freud, Yogyakarta, Kanisius.
Sumadi Suryabrata, 2005, Psikologi Kepribadian, Jakarta, CV. Rajawali.
Koeswara, E, 1991,  Teori-teori Kepribadian, Bandung,  Eresco.
Bischof, Ledford J, 1970, Interprening Personality Theories,  Harper and Row Publisher, 2nd Edition, New York.
Jaali, H, 2008, Psikologi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Rahayu, Siti, dkk. 2006, Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, UGM Press
Koeswara, E, 1991,  Teori-teori Kepribadian, Bandung,  PT. Eresco.
Masrun, 1977,  Aliran-aliran Psikologi, Yogyakarta,  Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Berry, Ruth, 2001, Freud: Seri Siapa Dia, Jakarta, Erlangga. 
Boeree, C.G, 2005, Sejarah Psikolog,  Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern (Alih Bahasa: Abdul Qodir Shaleh),  Yogyakarta, Primasophie.
Boeree, C. G, 1997, Personality Theories,  Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia, (Alih bahasa, Inyiak Ridwan Muzir),  Yogyakarta,  Primasonhie.
Koeswara, E, 1991, Teori-teori Kepribadian, Bandung,  Eresco.
Supratik, 1993, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta,  Kanisius.
Alwisol, 2005,  Psikologi Kepribadia,  Malang,  Penerbit Universitas Muhammadyah Malang.  
Payne, Malcolm, 2005, Modern Social Work Theory, Edisi Ketiga, New York, Palgrave Macmillan.
Rahayu, Siti, dkk,  2006,  Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya,  Yogyakarta, UGM Press.
Bimo Walgito, 2010, pengantar psikologi umum, Andi, Yogyakarta.
Neil J. Salkin, 2009, Teori-Teori Perkembangan Manusia, Bandung, Nusa Media.
Calvin s. Hall dan Garden Lindzey, 1993, Teori-Teori Psikodinasmika (klinis),Yogyakarta, Kanisius




0 komentar:

Posting Komentar