20.12.17

Sosial Kultural, Psikologi Islam dan Inteligensi Psikologi



Sosial Kultural, Psikologi Islam dan Inteligensi Psikologi

 

I R W A N T O
NIM. 163104101125

Pembimbing: Fx. Wahyu Widiantoro, S. Psi., MA.

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45Yogyakarta

Latar Belakang
      Sejumlah peristiwa penting dalam kehiduan Psikologi manusia banyak di abaikan bahkan dilupakan. Dimensi moralitas dan spiritualitas yang seharsnya menadi bagian yang tak terisahkan dari kehidupan psikologi manusia seakanakan menadi wacana yang asing dalam perkembangan Psikologi. Fenomena ini membutuhkan alternatif baru guna mengembalikan eksistensi psikologi yang sebenarnya. Salah satu solusi yang dianggap signifikan adalah dengan menghadirkan psikologi yang bernuansa agama. Kehadiran Psikologi Islam di satu sisi merakan reaksi positif bagi serangkaian upaya pengembangan Psikologi. Dalam rentan sejarah perkembangan psikologi terdapat beberapa aliran yang memiliki spesifikasi orientasi sendiri-sendiri. Di saat pengetahuan puncaknya di zaman yunani kuno pengembangan Psikologi lahir di orientasikan ada aspek ontologis seperti mempelajari hakikat jiwa dan eksistensinya bagi kehidupan manusia. Psikologi identik dengan manusia, maka dari itu dalam Psikologi Islam manusia sebagai subjek yang berhubungan dengan alam sebagai objek dan di antara keduanya ada keterkaitan dengan Yang Maha Subjek dan Yang Maha Objek yaitu Tuhan, Allah SWT.
      Demikian pula Intelegensi merupakan salah satu konsep yang dipelajari dalam psikologi. Pada hakikatnya, semua orang sudah merasa memahami makna intelegensi. Sebagian orang berpendapat bahwa intelegensi merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Intelegensi erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Banyak problem – problem manusia yang berhubungan dengan intelegensi. Dalam dunia pendidikan pun, intelegensi merupakan hal yang sangat berkaitan. Seolah – olah intelegensi merupakan penentu keberhasilan untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan, dan merupakan suatu penentu keberhasilan dalam semua bidang kehidupan.
      Adapun dalam pembahasan psikologi Sosiokultural ini lahir setelah dipengaruhi oleh pemikiran Edward Alsworth Ross (1908), ia melihat bahwa perilaku sosial itu tidak dilihat dari sudut individualnya, melainkan lebih mendalam ke dalam kelompok sosial. Ia menyatakan bahwa seseorang bertindak selalu dalam social current (kekinian sosial). Oleh karena itu dapat menyebabkan meluasnya emosi dalam suatu kerumunan (crowd) ataupun kegilaan (craze) pada seseorang. Ia melihat "kegilaan" tersebut dari unsur psyche, kelompok sebagai keseluruhan daripada individual anggota kelompok. Ia memandang kegilaan dan fads sebagai produk dari jiwa mod (a mob mind) yang menyebabkan interes irasional, dan hilangnya perasaan maupun opini individual yang di akibatkan oleh adanya sugesti dan imitasi.
      Untuk memudahkan dalam memahami terkait tiga pembicaraan di atas (psikologi Islam, Intelegensi psikologi dan sosiokultural), maka dalam makalah ini akan meninjau dari sudut sejarah pemikiran, tokoh-tokoh penting, konsep manusia ditinjau dari sudut pandang psikologi Islam, Intelegensi Psikologi dan sosiokultural serta relevansi ketiga pembahasan tersebut terhadap Islam.
Rumusan Masalah
               1.            Bagaimana sejarah perkembangan penelitian sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi?
               2.            Bagaimana tokoh-tokoh penting dalam pemikiran sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi?
               3.            Bagaimana penelitian actual tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi?
               4.            Bagaimana konsep manusia dalam sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi?
               5.            Bagaimana relevansi dengan konsep Islam tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi?
Tujuan
               1.            Untuk mengetahui sejarah perkembangan penelitian sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
               2.            Untuk mengetahui tokoh-tokoh penting dalam pemikiran sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
               3.            Untuk mengetahui penelitian actual tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
               4.            Untuk mengetahui konsep manusia dalam sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
               5.            Untuk mengetahui relevansi dengan konsep Islam tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi

PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan Penelitian
             1.     Sosial Kultural
                        Selama beberapa dekade, para psikologi sosial telah mengasumsikan bahwa semua sikap dipelajari, diperoleh sari kelompok dimana seseorang berasal, merupakan pelajaran yang diberikan oleh orang tua dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, serta mencerminkan keadaan ekonomi, pengaruh sosial dan lingkungan lainya (Wade & Tavris, 2007). Berdasarkan hal tersebut dapat di simpulkan bahwa pengaruh lingkungan terhadap perubahan seseorang sangat berdampak besar.
                        Penerapan Psikologi budaya pada penelitian kepribadian secara jelas di ilustrasikan oleh penelitian tentang konsep diri pada budaya Amerika dan Jepang yang dilakukan oleh Shinobu Kitayama dan Hazel Markus. Gagasan inti dalam penelitian ini adalah kemungkinan terdapat variasi dari budaya ke budaya dalam konsep implicit pada diri seseorang. Kepercayaan orang mengenai apa yang akan menjadi sebuah “diri” atau suatu pribadi bisa jadi tidak sama pada setiap tempat dalam dunia. perbedaan budaya bisa menampilkan sebuah kepercayaan mengenai hak, tugas, kemungkinan-kemungkinan, dan karakteristik inti yang berhubungan dengan sekelompok orang (Pervin, 2012) .
                        Penelitian mengemukakan bahwa individu dalam budaya asia lebih memungkinkan untuk memiliki pandangan saling tergantung mengenai diri dari pada orang-orang dalam budaya barat yang menyoroti kesalingtergantungan antara anggota-anggota dari sebuah komunitas, sama halnya dengan kewajiban individual terhadap keluarga dan masyarakat. Dalam budaya yang saling terkait , perilaku tidak dijelaskan berkenaan dengan  sifat mental yang otonomi  yang terletak dalam pikiran orang-orang. Malahan, orang-orang menjelaskan perilaku berkenaan dengan jaringan dari kewajiban sosial. missal, Ekspresi orang mengenai perilaku “berhati-hati” mungkin dapat dijelaskan berkenaan dengan kewajiban sosial  yang memaksa orang-orang untuk bertindak dengan hati-hati, dari pada mengatakan bahwa orang tersebut memiliki sifat berhati-hati (Pervin, 2012).
             2.     Psikologi Islam
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontenporer di dunia Barat  (Abdul Mujib, 2002). Pada awalnya, kekhususan ilmu ini merupakan bagian dari kekhususan ilmu filsafat di fakultas sastra. Kurikulumnya disusun berdasarkan kurikulum yang ada di universitas yang ada di Eropa walaupun masih miskin dalam pandangan-pandangan yang beredar luas di Barat. Negara Barat mendirikan tempat pendidikan bilateral dan memusatkan pengajaran keagamaan pada tempatnya yang khusus  (Taufiq, 2006). Dari sini mulailah ada ketimpangan dari dua bidang keilmuan; yakni ilmu-ilmu Islami yang berlandaskan pengetahuan agama dan ilmu-ilmu Umum yang berlandaskan pengetahuan umum dan sosial, termasuk didalamnya ilmu psikologi.
Dr. Fuad Abu Hatab  (Taufiq, 2006) menyimpulkan bahwa hubungan yang ada antara Barat dan dunia ketiga dari segi studi kejiwaan (yang lalu penulis ringkas lagi) adalah sebagai berikut.
1.      Hubungan ekspor impor yang selalu ada dalam satu sisi.
2.      Kepercayaan penuh pa da Barat (teoretis, model, konsep, perumusan masalah dan juga hipotesisnya).
3.      Putusnya hubungan dengan kitab pendidikan klasik dan menganggap bahwa ilmu-ilmu kuno sangat bergantung kepada ilmu baru.
4.      Menyebar luasnya bid'ah kebudayaan dalam ilmu pengetahuan (banyak kitab klasik Barat yang diekspor ke negara Arab tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada).
5.      Terhentinya pemikiran-pemikiran baru dan terjadinya perulangan topik penelitian pada tesis magister dan disertasi doktoral, khususnya dalam penelitian terhadap pernyataan ilmuwan Barat atas permasalahan umum yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti banyaknya gugatan, pemalsuan dan juga pencurian.
6.      Keterasingan dan hilangnya semangat untuk mengembangkan suatu keilmuan psikologi.
7.      Hilangnya semangat berprofesi (karena harus bergabung dengan ahli psikologi, ahli sosiologi dan juga psikiater), sedang di lain sisi, ilmu psikologi yang dipelajari mahasiswa tidak mumpuni untuk bisa diaplikasikan dalam lingkungan sekitar.
Semua faktor di ataslah yang menjadi penyebab adanya krisis ilmu psikologi di lingkungan Arab dan Islam. Dr Fu'ad Abu Hatab  (Taufiq, 2006) berpendapat, ”Konsep psikologi (di lingkungan Arab dan Islam) harus dibentuk sendiri oleh para psikolog muslim. Konsep yang ditelurkan oleh psikolog barat tidak akan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ada di lingkungan Arab dan Islam. Yang bisa menyesuaikannya hanyalah apabila psikolog muslim berkolaborasi dalam membentuknya".
             3.     Intelegensi Psikologi
S.C. Utami Munandar , Secara umum, inteligensi dapat dirumuskan sebagai berikut:
                       a.        kemampuan untuk berpikir abstrak;
                       b.        kemampuan untuk menangkap hubungan-hubungan dan untu belajar.
                       c.        kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
                        Perumusan pertama melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir; perumusan kedua sebagai kemampuan untuk belajar; dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Sekalipun menunjukkan aspek-aspek yang berbeda dari inteligensi, ketiga aspek tersebut saling berkaitan.
                        Spearman dan Wynn Jones  (Saifuddin Azwar, 2017) mengemukakan adanya suatu konsepsi lama mengenai suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal fikiran manusia dengan gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yunani disebut nous, sedangkan penggunaan kekuatan termaksud disebut noesis. Kemudian kedua istilah tersebut dalam bahasa Latin dikenal sebagai intellectus dan intelligentia. Pada gilirannya, dalam bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan sebagai intellect dan intelligence. Ternyata, transisi bahasa tersebut membawa pula perubahan makna.
                        Kalau kita melihat kebelakang ke awal perkembangan teori mengenai intelegensi hampir seabad yang lalu, dapat kita lihat bahwa kemampuan mental umum pernah erat dikaitkan pada faktor-faktor yang lebih bersifat fisikal. khususnya faktor pengindraan (sensasi) dan faktor pesepsi. Sebagai contoh James McKeen Cattel, yang mengebangkan suatu bentuk skala pengukuran intelegensi yang banyak mengukur kemampuan fisik atau seperti galton yang merupakan faham berciri psikofisik dalam bidang intelegensi. (Dr. Saifuddin Azwar, 2017).
Tokoh-Tokoh Penting Dalam Pemikiran
             1.     Sosial Kutural
                       a.        Adler
Adler memberi tekanan kepada pentingnya sifat khas (unik) kepribadian, yaitu indifidualitas, kebulatan serta sifat-sifat pribadi manusia. Menurut Adler tiap orang adalah suatu konfigurasi, motif-motif, sifat-sifat, serta nilai-nilaiyang khas; tiap tondakan yang dilakukan oleh seseorang membawakan corak khas gaya kehidupannya yang bersifat indifidual.  (Suryabrata, 2015). Alder menyebut teorinya psikologi individual (Individual Psychology) karena ia sangat percaya pada motivasi unik yang dimiliki oleh tiap individu dan pada individu tempat yang dipersiapkan masing-masing individu dalam masyarakat. Seperti juga Adler dengan tegas menyatakan pentingnya aspek teologi berorentasi pada tujuan, pada manusia. Perbedaan utama lain juga berhubungan dengan filosofinya adalah bahwa Adler, yang lebih peduli dengan kondisi sosial dibidang sosial dibanding Freud, melihat pentingnya tindakan preventif untuk mencegahterjadinya gangguan kepribadian  (Schustack, 2008).
                       b.         Erikson 
Bagi Erikson, penting sekali mengakui perkembangan kepribadian muncul dari sebuah setingan budaya. Erikson menekankan kesesuaian antara indifidu dan buyayanya. Faktanya ditaraf yang lebih besar, kerja budaya adalah menyediakan cara-cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis manusia. Menurut Erikson pengalaman eksternal dan internal manusia mestinya sama, minimal dibeberapa tarafnya jika seorang indifidu berkembang dan berfungsi normal di budaya masing-masing. Erikson (1985) menyatakan “setiap tahap dan krisis yang berurutan ini memiliki relasi yang kusus dengan salah satu elemen dasar masyarakat, dan karena dengan alasan yang sederhana inilah siklus hidup manusia seiring komponen-komponen kepribadiannya mulai berkembang”  (Hergenhanh, 2013). Erikson tidak hanya memfokuskan perhatianya pada rentang hidup, namun ia juga menekankan pentingnya masyarakat. Ia mempelajari kebudayaan, sejarah dan antropologi  (Schustack, 2008).
                       c.        Karen Horney
      Menurut Horney akar-akar perilaku neurotik ditemukan di dalam hubungan orang tua dan anak-anak. Jika anak mengalami cinta dan kehangatan dia akan merasa aman dan berpotensi untuk berkembang normal. Faktanya, Honey memang yakin jika seorang anak bisa mendapatkan kasih sayang yang tulus, dia akan bisa bertahan dari berbagai pengalaman negatif tanpa menimbulkan efek-efek yang negatif.  (Hergenhanh, 2013) menurut Horney, setiap manusia dilahirkan dengan diri rill yang sehat, yang kondusif bagi pertumbuhan kepribadian secara normal. Jika mansuia hidup sesuai ridi riilnya, ia sedang berada di jalan menuju realisasi-diri, yang artinya mereka akan mewudkan potensi sepenuhnya dan hidup harmonis dengan sesama.
             2.     Psikologi Islam
1)      Al-kindi
Menurut al-kindi, jiwa tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat nafsu dan pemarah. Al-kindi memuat perbandingan tentang keadaan jiwa. Jika kemuliaan jiwa diingkari dan tertarik pada kesenangan (Shaleh, 2009).
2)      Ibnu Bajjah
Menurut Ibnu Bajjah, (Shaleh, 2009) memulai pembahasan mengenai jiwa dengan definisi jiwa dan menyatakan bahwa tubuh, baik yang alamiah maupun tidak, tersusun dari materi dan bentuk. Bentuk merupakan perolehan permanen adalah kenyataan tubuh. Kenyataan itu bermacam-mac am ia memiliki segala yang bereksistensi melaksanakan fungsi mereka tanpa harus digerakkan atau segala yang bergerak adalah aktif bila mereka diaktifkan. Tubuh jenis kédua ini terdiri atas penggerak dan digerakkan. Sedangkan tubuh yang tidak alamlah memiliki penggerak luar. Bentuk yang membuat nyata sebuah tubuh alamiah disebut jiwa. Oleh karena itu, jiwa dianggap sebagai pernyataan pertama dalam tubuh alamiah yang teratur, yang bersifat nutritif, sensitif, dan imajinatif. Unsur yang nutritif yang bertindak berdasarkan makanan akan membuat menjadi bagian dari tubuh. Unsur itu adalah yang mengubah sesuatu spesies. potensial menjadi suatu spesies aktual kalau diubah oleh sesuatu yang lain. Oleh karena itu, ia memerlukan sesuatu penggerak untuk mengubahnya. Penggerak itu adalah yang merasa sedangkan yang digerakkan ialah organ rasa.
3)      Al-Ghazali
      Tipologi kualitas-kualitas insani menurut Al-Ghazali  (Sapury, 2017): Pengelolahan dimensi jiwa, terdiri atas; Dimensi ragawi (memiliki gerak monoton), dimensi nabati (memiliki gerak variatif), dimensi hewabi (memiliki motif dan persepsi), dimensi insani (memiliki kesadaran diri). Kemudian pengelompokan nafsu manusia terdiri atas; (1) nafsu amarah (Al-Nafs ammaraah bial’suu) mengumbar dan tunduk sepenuhnya terhadap hasrat-hasrat rendah (QS Yusuf:53). (2) Nafsu Lawamah (al-nafs al lawwaamah), dalam diri telah berkembang keinginan berbuat baik dan menyesal bilah berbuat kesalahan (QS Al-Qiyamah:21). (3) nafsu mutmainah jiwa yang suci, lembut, dan tenang yang diundang-Nya dengan penuh keridhaan keddalam surga-Nya ( QS Al-Fajr:27).
             3.     Intelegensi Psikologi
                       a.        Howard Gardner
      Gardner merumuskan teori Intelegensi Ganda (Multiple Intellegence) yang di dorong oleh pendapatnya bahwa pandangan dari sis psikometri dan kognitif saja terlalu sempit untuk menggambarkan konsep inteligensi. pendekatan Gardner sangat beorientasi pada struktur intelegensi (Dr. Saifuddin Azwar, 2017)
Tujuh  macam inteligensi yang telah berhasil di identifikasi oleh gardner yaitu Inteligensi Linguistik, Inteligensi Matematis-Logis, Inteligensi Spasial, Inteligensi Musik, Inteligensi Kelicahan Tubuh, Inteligensi Interpersonal dan Inteligensi intrapersonal. (Dr. Saifuddin Azwar, 2017). Dari hal tersebut gardner merupaka tokoh yang banyak memilah-milah kecerdasan yang ada pada diri manusia.
                       b.        Alfred Binet
      Salah sau tokoh yang menyatakan bahwa inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum. Menurutnya Intelegensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proes kematangan seseorang. Binet menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasar kriteria tertentu (Dr. Saifuddin Azwar, 2017).
Alfred Binet dikenal sebagai pelopor dalam menyusun tes inteligensi, mukakan pendapatnya (Effendi dan Praja, 1993) bahwa Inteligensi mempunyai tiga aspek kemampuan, yaitu:
1)      Direction, kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalah yang harus di. pecahkan;
2)      Adaptation, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau fleksibel dalam menghadapi masalah;
3)      Criticism, kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri.
                       c.        Edward Lee Thorndike
      Thorndike, bapak psikologi pendidikan yang juga tokoh aliran yang juga tokoh aliran psikologi fungsianalisme. Pada dasarnya teori thorndike menyatakan bahwa intelligensi terdiri atas kemampuan yang spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu, teorinya dikategorikan ke dalam kar=tegori intelegensi faktor ganda (Dr. Saifuddin Azwar, 2017). Sebagai seorang tokoh psikologi koneksionisme, Thorndike mengemukakan bahwa:
“Intelligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or fact” (Inteligensi adalah kemampuan individu untuk memberikan respons yang tepat (baik) terhadap stimulasi yang diterimanya).
Penelitian Aktual
             1.     Sosial Kultural
                        Dalam sosial cultural Karen Horney sangat erat denga teori kecemasannya, teori ini melahirkan suatu penelitian yang berjudul Memadukan praktek dukungan prilaku positif terbaik dan psikologi klinis untuk anak autis dan masalah prilaku  dalam kecemasan : sebuah studi klinis. yang mana dalam penelitiaan ini secara efektif membutuhkan campur tangan berbagai komponen terhadap anak autis dalam masalah perilaku dalam kecemasan yang mana dukungan keluarga tidak jauh lebih penting dalam masalah ini. (Vanessa Neufeld, Exposure Theraphy for anxiety, 2014)
                        Begitu pula peran orang tua dalam sosial budaya sangat kuat dan penting, karena seperti yang suudah di jelaskan di atas bahwa orang tua mempunyai peran penting untuk keluarga khususnya dalam masalah sosial budaya yang ada di lingkungan sekitar. jika orang tua salah dalam memperhatikan anak maka akan berdampak buruk terhadap sosial anak, seperti penelitian yang telah di lakukan tentang “Pengaruh Penggunaan Media Sosial dan Gaya Pengasuhan Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Remaja” dalam penelitian ini menghasilkan Hasil penelitian menunjukkan penggunaan media sosial remaja di kota lebih tinggi dibandingkan dengan remaja di desa. Sebagian besar orangtua remaja di kedua wilayah menerapkan gaya pengasuhan otoritatif. Motivasi akademik instrinsik dipengaruhi oleh gaya pengasuhan otoritatif dan permisif, serta durasi penggunaan media sosial. Motivasi akademik ekstrinsik dipengaruhi oleh gaya pengasuhan otoritatif dan otoritariter, serta durasi penggunaan media sosial. Remaja di perkotaan mencapai prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan remaja di pedesaan, begitu pula dengan prestasi akademik remaja perempuan lebih baik dibandingkan remaja laki-laki. Sementara itu, gaya pengasuhan otoriter terbukti menurunkan prestasi akademik remaja (Yuliati, 2016).
                        Dalam sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa ada perbedaan antara bi-etnis dengan demografi seperti pemnelitian yang telah dilakukan yaitu tentang Keragaman antara siswa Bi-etnis dan perbedaan dalam hasil pendidikan dan fungsi sosial yang menghasilkan bahwa siswa bi-etnis berbeda secara demografis, sosial dan budaya dengan cara yang bergantung pada latar belakang etnis dan jenis kelamin orang tua migran. Kami juga menemukan bahwa latar belakang etnis dan jenis kelamin orang tua migran terkait dengan hasil kognitif, fungsi sosial-emosional dan kompetensi kewarganegaraan. Saat mencoba memahami dan mendukung siswa bi-etnik, kita harus mempertimbangkan keragaman di antara mereka. (Merlijn, 2017)
             2.     Psikologi Islam
Penelitian-penelitian tentang psikologi islam ini juga banyak ditemukan dalam dunia islam itu sendiri, seperti halnya kasus psikoterapi dalam mengatasi tingkat kecemasan dan depresi yang dialami orang yang mengalami HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efktifitas psikoterapi sufistik dalam mengatasi kecemasan dan depresi yang dialami oleh ODHA. Sebuah gangguan psikologis yang khas dan umumnya hanya dialami oleh para pasien yang divonis dengan "terminal ill" seperti ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan gangguan kecemasan menghadapi kematian, mudah tersinggung, marah-marah, perasaan bersalah, keinginan untuk bunuh diri serta pikiran-pikiran negatif terhadap dirinya seprti merasa diri hina, kotor, tidak berguna dan sebagainya. Psikoterapi sufistik bersumber pada hasil interpretasi olah pikir dan olah rasa para sufi dalam pengembaraan spiritualnya menuju kedekatan dengan Sang Khalik, dengan mengembangkan potensi-potensi keTuhanan (Asma-asmaNya) didalam diri mereka.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, bahwa tujuan utamanya adalah penyucian jiwa untuk mengenal diri sebagai syarat untuk mengetahui Sang Khalilk, dengan pengenalan dan pemahaman tentang diri inilah, subyek (ODHA) dituntut untuk mengetahui jati diri serta menggali potensi-potensi ruhaniyah yang sempat terabaikan sebagai upaya untuk menggapai kehidupan yang bermakna. Sehingga berbagai macam keluhan yang diakibatkan oleh kecemasan dan depresi yang berhubungan dengan perasaan hampa, perasaan bersalah, kesedihan maupun kecemasan menghadapi kematian dapat diatasi. Sehingga dapat memulihkan kembali sistem imunitas dengan menyeimbangkan sistem hormonal dalam tubuh dengan potensi-potensi positif dalam diri ODHA, berupa energi laten sebagai antibodi "cadangan"yang dapat membantu mereka untuk menyembuhkan diri (healing self).
Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa psikoterapi sufistik sangat efektif dalam mengatasi tingkat kecemasan dan depresi pada dua orang ODHA yang menjadi sampel, bahkan terbukti meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka. (Asyar, 2012).
             3.     Intelegensi Psikologi
Sementara terkait dengan kecerdasan yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan bahasa, dan belajar pun tidak luput dari sorotan dunia reasch. Banyak hal yang menarik untuk diteliti terkait dengan kecerdasan seseorang. Salah satunya adalah efek berat badan terhadap kinerja atau fungsi otak. Dalam penelitian yang berjudul “Caloric Restriction in Older Adult – Differential Effect of Weight Loss and Reduced Weight on Brain Strukture and Function” dengan subjek wanita obesitas pascamenoupouse mengemukakan bahwa adanya pengaruh  kalori yang dikonsumsi pada struktur dan fungsi otak disebabkan oleh penurunan berat badan dan bukan penurunan berat keseluruhan.
Hasil peningkatan fungsi kognitif dan kinerja memori yang lebih baik secara langsung setelah CR atau Caloric Restriction (di ranah: kemampuan belajar, memori pengenalan, dan recall tertunda). Hal ini juga sesuai dengan temuan sebelumnya yang dilakukan oleh Witte pada tahun 2009 bahwa CR dapat meningkatkan memori pengenal bagi orang yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas subjek yang lebih tua. Peningkatan mekanisme kemacetan potensial glukosemetabolisme, yang ditunjukkan dengan pengurangan konsentrasi glukosa dalam menanggapi intervensi. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya oleh Kerti L, Witte AV, Winkler A, Grittner U, Rujescu D, Floel A. pada tahun 2013 dengan judul Higher glucose levels associated with lower memory and reduced hippocampal microstructure yang menunjukkan bahwa kadar glukosa yang meningkat secara kronis merupakan faktor risiko penurunan kognitif dan demensia.
                        Selain peningkatan kinerja memori, dalam penelitian ini juga menyebutkan adanya perbaikan dalam kecepatan pemrosesan dan fungsi eksekutif serta pengurangan skor depresi. Fungsi eksekutif ditingkatkan berkenaan dengan kontrol kognitif dalam hal kerentanan yang menurun terhadap gangguan. Hasil ini konsisten dengan sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa manajemen berat badan dan regulasi perilaku makan yang sukses dikaitkan dengan peningkatan kontrol kognitif (penelitian Keranen pada tahun 2011, Neve tahun 2012; dan Nurkkala tahun 2015). Penurunan skor depresi juga merupakan efek samping yang khas dari penurunan berat badan (penelitian Herpertz tahun 2015) dan mungkin terkait dengan peningkatan kontrol kognitif, pengalaman efisiensi diri dan keberhasilan menurunkan berat badan, atau akibat peningkatan kualitas hidup. (Kristin Prehn, 2017)
Konsep Manusia
1.      Psikologi Sosiokultural
           Adler percaya bahwa manusia pada dasarnya mampu menentukan dirinya sendiri dan bahwa mereka membentuk kepribadian mereka dari makna yang mereka berikan atas pengalaman mereka. Bahan untuk membangun kepribadian disediakan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi daya kreatiflah yang membentuk bahan-bahan ini dan menjadikannya berguna. Adler berulang kali menekankan bahwa kemampuan yang dimanfaatkan lebih penting dari pada jumlah kemampuan yang dimiliki seseorang.(Alwisol, 2009)
           Menurut Horney semua orang mengalami Creatue Anxiety, perasaan kecemasan yang normal muncul pada masa bayi, ketika bayi yang lahir dalam keadaan tidak berdaya dan rentan itu dihadapkan dengan kekuatan alam yang keras dan tidak bisa di kontro. Bimbingan yang penuh kasih sayang dan cinta pada awal kehidupanmembantu bayi belajar menangani situasi bahaya itu. Sebaliknya, tanpa bimbingan yang memadai bayi akan mengembangkan basic anxiety, basic hostility, dan terkadang neurotic distress. (Prawira, 2013).       Sedangkan menurut erikson ada 8 tahap perkembangan manusia yang erikson kemukakan, empat tahap pertama terjadi pada masa bayi dan masa kanak kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga tahp terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua (Alwisol, 2009).
Sosiokultural berfokus pada kekuatan sosial dan budaya sebagai kekuatan yang bekerja diluar individu. Kekuatan sosial dan budaya inilah yang membentuk setiap aspek perilaku manusia, mulai dari cara kita mencium sampai apa yang kita makan dan dimana kita makan (Calore Wade, 2007). Banyak dari kita yang meremehkan pengaruh orang lain, konteks sosial, dan pengaruh budaya pada hampir seluruh perilaku kita.
Melalui perspektif ini, para psikolog sosial mengarahkan penelitiannya pada peraturan, peran sosial, cara seseorang mentaati otoritas, cara kita dipengaruhi oleh orang lain – seperti pasangan, kekasih, teman, atasan, orang tua, dan orang asing. Psikolog budaya menelaah cara peraturan dan nilai budaya – baik yang eksplisit maupun implisist – mempengaruhi perkembangan perilaku dan perasaan seseorang. Mereka mempelajarai cara budaya mempengaruhi kesediaan seseorang untuk menolong orang asing yang sedang mengalami kesulitan, atau cara budaya mempengaruhi apa yang dilakukan seseorang ketika sedang berada dalam keadaan marah. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan sosial yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang bebrbeda-beda (Calore Wade, 2007). Perspektif sosiokultural telah membuat psikologi menjadi disiplin ilmu yang lebih respensitive dan tepat.
Para psikolog sosio budaya berpendapat bahwa peningkatan kesehatan mental individu bukan hanya tanggung jawab profesi kedokteran saja, melainkan juga tanggung jawab lembaga-lembaga sosial yang terorganisasi seperti keluarga, tempat kerja, lembaga agama, sistem pendidikan, saluran-saluran rekreasi dan pelayanan-pelayanan khusus yang bersifat memperbaiki dan melindungi. Usaha-usaha yayasan swasta merupakan sumber kesehatan mental ysng penting dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern, perumahan merupakan faktor yang sangat penting diantara segi-segi lingkungan fisik. Kondisi-kondisi perumahan ada kaitannya dengan kesehatan dan kepribadian. Jika kondisi-kondisi itu menyebabkan perasaan tidak adekuat atau rendah diri, maka jelas pengaruhnya sangat merugikan kesehatan mental. Keadaan yang berjubel tidak menjamin privasi individu dan kekurangan udara serta sinar matahari menyebabkan penularan penyakit semakin mudah. Tempat-tempat tinggal yang dingin dan lembab serta gersang mengurangi ketahanan fisik dan mental. Sangat penting bahwa masyarakat menyediakan lingkungan yang cukup baik dan berguna agar baik anak-anak maupun orang dewasa berkembang dengan adekuat didalam ruang lingkupnya (Calore Wade, 2007).
2.      Psikologi Islam
                        Mazhab psikoanalisa berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh system unconsciousness (ketidaksadaran) dalam diri manusia. Dakam wilayah inilah yang mengendalikan seluruh perilaku manusia. dan dalam wilayah ini id bersemayam. Id merupakan dimensi psikis yang mengandung instink, nafsu dan pengalaman troumatis masa kanak-kanak (Proff. Dr. Baharuddin, 2007). ini yang kemudian dipandang sebagi penguasa bagi tingkah laku manusia.
                        Behaviorisme memandang manusia adalah makhluk biologis yang terkondisi oleh lingkungannya. Dalam hal kemampuan jiwa untuk memberikan respon terhadap rangsangan dari lingkungan itu, menurut behaviorisme, manusia tidak berbeda dengan binatang (Proff. Dr. Baharuddin, 2007). ini bukan berarti manusia disamakan dengan hewan hanya saja dalam hal respond an stimulus manusia tidak berbeda dari binatang, karena alasan itu banyak peneliti yang menggunakan atau melakukan percobaan terhadap binatang untuk mengetahui atau menganalisis perilaku manusia.
                        Berbeda dengan psikologi humanistic yang mana mereka memandang manusia adalah manusia yang unik yang berbeda dari binatang. Ia memiliki karakter kemanusiaan yang tidak dimiliki oleh hewan seperti tolong menolong, kasih sayang, cinta dll.
      Jelasnya dalam kehadiran psikologi Islami dalam dunia psikologi, bukanlah menolak secara apriori  teori-teori psikologi yang sudah ada, tapi meletakkannya dalam/sesuai dengan dimensi jiwa manusia seperti yang dipahami dalam psikologi Islami. Jadi, psikologi hadir untuk memberikan alternative paradigm yang baru untuk memahami tingkah laku manusia (Proff. Dr. Baharuddin, 2007).
      Mengenal manusia berarti berusaha mengetahui segala prilaku dan tingkah laku manusia secara holistic, baik yang bisa diindrai, yaitu dengan mengadakan penelitian-penelitian dan yang tak terindrai, yaitu dengan memahaminya melalui pengalaman pribadi atau dengan meminta orang lain untuk menceritakan pengalamannya, untuk menambah suatu pemahaman mendalam tentang kedudukannya sebagai manusia. Adapun kedudukan manusia menurut Raffi Sapuri ada tiga yaitu manusia sebagai ciptaan (makhluk), manusia sebagai hamba, dan manusia sebagai wakil tuhan (Sapury, 2017).
a.      Manusia sebagai Hamba Allah
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan taat kepada Allah selaku pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan tidak disekutukan. Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas hanya pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan hati, seperti yang diperintahkan dalam surah Bayyinah:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.”(QS 51: 56).

Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah akan menjadi manusia yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba yang hanya mengharapkan ridha Allah.
b.      Manusia sebagai Al-Nas
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut dengan al- nas. Konsep al- nas ini cenderung mengacu pada status manusia dalam kaitannya dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya manusia memang makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan memang diciptakan berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah an- Nisa’,
 “Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal lain di luar dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar dapat menjadi bagian dari lingkungan soisal dan masyarakatnya.
c.       Manusia sebagai Khalifah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2: 30), dan surah Shad ayat 26,“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. …” (QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa sebutan khalifah itu merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan selanjutnya manusia diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Sebagai khalifah di bumi manusia mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi Kebutuhan hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini.
d.      Manusia sebagai bani adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk kepada berbagai keterangan dalam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua manusia berasal dari keturunan yang sama.[1] Dengan demikian manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama. Dalam surah al- A’raf dijelaskan:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
e.       Manusia sebagai makhluk biologis
Manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian manusia berupa insting (Khasinah, 2013). Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterang ayat-ayat al-Quran potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu. Potensi nafsu ini berupa hawa dan syahwat (Rahayu, 2009). Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung melampaui batas. Sedangkan nafsu adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaiaan diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil dan terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau sentiment.
3.      Intelegensi Psikologi
Manusia merupakan makhluk yang mulia yang diberikan berbagai kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Ide P. , 2010) Manusia diberikan akal sehingga dengan akal tersebut manusia dapat berfikir. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita mengetahui bahwa pusat manusia dalam berfikir adalah ada pada otak yang dimiliki manusia. berbagai studi menunjukkan begitu hebatnya otak yang dimiliki manusia.
Penelitian mukhtahir menunjukan bahwa otak manusia terdiri dari dua belahan otak, belahan otak kiri dan belahan otak kanan. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi dan peranan yang berbeda, akan tetapi kedua belahan otak tersebut saling melengkapi satu sama lainnya (Ide, 2010) Walaupun demikian setiap orang biasanya memiliki kecenderungan untuk dominan pada salah satu belahan otak tersebut. Kondisi yang merugikan adalah apabila dominasi itu menyebabkan fungsi belahan otak yang lainnya menjadi lemah, hal ini tentunya akan membuat kemampuan berpikir kita akan menjadi kurang optimal. Yang paling bagus adalah dapat memanfaatkan kedua belah otak tersebut secara keseluruhan.
A.    Relevansi Dengan Konsep Islam
             1.     Sosial Kultural
            Pengembangan kepribadian islam adalah setiap usaha individu setiap kekhasannya daya insane yang menempuh perjalanan hidup secara fisik psikis kearah kebenaran (al-Haq). Pribadi setiap manusia berbeda meskipun proses penciptaannya sama, sebagaimana terdapat dalam al-Quran tentang penciptaan manusia yaitu dalam surat al-Mu’minun 12-16 (Sahrani, 2011).
            Dari taraf yang lebih luas, budaya manusia menentukan apa yang di anggap praktik-praktik yang tepat di pengadilan, pernikahan, pengasuhan anak, politik, agama, pendidikan dan keadilan. Semua ini, dan variable-variabel budaya lainnya, menjelaskan banyak perbedaan individu-individu yang beda budaya (Hergenhahn, 2013), hal ini sudah di jelaskan dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 yang artinya
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
             Lebih khusus lagi, beberapa teori menyatakan jika kepribadian manusia bisa dilihat sebagai kombinasi dari banyak peran yang dia mainkan. Determinan-determinan sosial-budaya lain bagi kepribadian meliputi tingkat sosial – ekonomi keluarga individu, tingkat pendidikan orang tua dan lain-lain. Individu yang diasuh di keluarga yang berkecukupan tentulah memiliki pengalaman yang berbeda ketimbang yang diasuh di keluarga yang berkekurangan (Hergenhahn, 2013).
            Dalam pandangan Islam, semua manusia adalah ciptaan Allah. Semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya tidak membedakan antara ras, suka ataupun bangsa semuanya sama. Yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.Allah SWT berfirman QS. Al Hujurat:15 "... Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa di antara kamu. ...".
             2.     Psikologi Islam
            Banyak pembahasna tentang konsep manusia yang dikemukakan oleh tokoh seperti yang sudah dijelaskan diatas. Baik kajian  psikologi maupun filsafat, modern maupun klasik  mereka berbeda paradigma tentang komsep manusia yang sebenarnya. Salah satu kesalahan yang dilakukan oleh perumus konsep manusia adalah mereka membangun konsep manusia itu dengan spekulatif. Agar konsep manusia yang kita bangun tidak spekulatif, maka kita harus bertanya pada sang maha cipta dan mengerti manusia. Yaitu Allah SWT. Lewat AL-Quran Allah memberikan konsep-konsep tentang manusia (Suroso, 1994). Karena itu kalau kita mau tahu konsep manusia dari segi Islam maka kita harus tahu Al-Quran, membaca dan memahami isinya agar anggapan kita tentang manusia tidak spekulatif.
            Dalam QS. 41:53, yang berbunyi: “kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Allah disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri”. Ayat potongan arti ayat tersebut memperlihatkan bahwa Allah menciptakan manusia bukanlah untuk   melihat tentang manusia itu sendiri melainkan untuk melihat kebesaran Allah dan untuk menuju-Nya karena manusia tidak berdiri sendiri tapi ada kekuasaan dibaliknya. Di samping itu, untuk mengenal siapa itu manusia tidak semata mata menggunakan teks Al-Quran  (ayat kauniyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan  kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi (Suroso, 1994).
            Demikian pula dalam al-Quran QS. Al-Hajj di jelaskan tentang penciptaan manusia dalam surah itu di jelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat. Demikian itulah penciptaan manusia yang seperti itu rupanya tidak di alami oleh makhluk makhluk lain seperti manusia.
            Dalam hal kepribadian  seperti yang tertera didalam buku (Purwa Atmaja: 2013) dalam diri manusia didiami sifat yang dipandang dari segi positif maupun dari segi negative. Dari segi positif tampak pada kepribadian manusia yang senantiasa memiliki kerinduan spiritual untuk mengenal dan selalu dekat dengan tuhan. Sementara dari segi negative dalam diri manusia terdapat sifat-sifat hewani yang tercermin dalam kebutuhan fisik yang harus dipenuhi demi kelangsungan hidup dirinya. Manusia dikatakan memiliki kepridbadian yang baik jika senantiasa beribadah kepada Allah SWT. senantiasa bertakwa, dan menyerap segala unsure positif kemanusiaan sehingga sering dinyatakan sebagai manusia sejati karena tindakannya terpuji dimata orang lain. dan demikian yang sebaliknya dari kepribadian tersebut dikatakan orang yang memiliki kepribadian buruk karena pada dirinya senaniasa menyerap segi negative sehingga dikatakan sebagai manusia yang tidak terpuji atau tercela.
             3.     Intelegensi Psikologi
            Diantara ciri-ciri perilaku yang secara tidak langsung telah di sepakati sebagai tanda telah dimilikinya intelligensi yang tinggi, antara lain adalah adanya kemampuan untuk memahami dan menyelesaikan problem mental dengan cepat, kemampuan mengingat, kreativitas yang tinggi, dan imajinasi yang berkembang (Dr. Saifuddin Azwar, 2017).
            Intelegensi menurut Alfred binet sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. (Dr. Saifuddin Azwar, 2017), EdwardLee Thorndike menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku. Sedangkan Howard Gardner merumuskan teori intelegensi ganda yang mana menurutnya ada 7 intelegensi yang ada dalam diri manusia. 
            Konsep yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut sebagaimana yang tertuang dalam ayat suci QS.Yunus : 24 tentang kecerdasan manusia yang artinya “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.”


Kesimpulan
             1.     Sejarah perkembangan penelitian sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
            Penelitian mengemukakan bahwa individu dalam budaya asia lebih memungkinkan untuk memiliki pandangan saling tergantung mengenai diri dari pada orang-orang dalam budaya barat yang menyoroti kesalingtergantungan antara anggota-anggota dari sebuah komunitas, sama halnya dengan kewajiban individual terhadap keluarga dan masyarakat.
            Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontenporer di dunia Barat (Abdul Mujib, 2002). Pada awalnya, kekhususan ilmu ini merupakan bagian dari kekhususan ilmu filsafat di fakultas sastra.
            Perumusan pertama melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir; perumusan kedua sebagai kemampuan untuk belajar; dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri. Sekalipun menunjukkan aspek-aspek yang berbeda dari inteligensi, ketiga aspek tersebut saling berkaitan.
             2.     Tokoh-tokoh penting dalam pemikiran sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
            Sosial Cultural ditokohi oleh Alfred Adler, Erik Erikson, Karen Horney. Psikologi islam ditokohi oleh Al-Kindi, Ibnu Bajjah dan Al-Ghazali dan Inteligensi Sosial ditokohi oleh Howard Gardner,  Alfred Binet, Edward Lee Thorndike.
             3.     Penelitian actual tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
            Salah satu contoh dari penelitian actual adalah Efektifitas psikoterapi dalam mengatasi tingkat kecemasan dan depresi yang dialami ODHA di PKBI DKI Jakarta
             4.     Konsep manusia dalam sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
            Para psikolog sosio budaya berpendapat bahwa peningkatan kesehatan mental individu bukan hanya tanggung jawab profesi kedokteran saja, melainkan juga tanggung jawab lembaga-lembaga sosial yang terorganisasi seperti keluarga, tempat kerja, lembaga agama, sistem pendidikan, saluran-saluran rekreasi dan pelayanan-pelayanan khusus yang bersifat memperbaiki dan melindungi.
             5.     Relevansi dengan konsep Islam tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
            Dari taraf yang lebih luas, budaya manusia menentukan apa yang di anggap praktik-praktik yang tepat di pengadilan, pernikahan, pengasuhan anak, politik, agama, pendidikan dan keadilan. Semua ini, dan variable-variabel budaya lainnya, menjelaskan banyak perbedaan individu-individu yang beda budaya (Hergenhahn, 2013), hal ini sudah di jelaskan dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 13.
            Al-Quran QS. Al-Hajj di jelaskan tentang penciptaan manusia dalam surah itu di jelaskan bahwa manusia diciptakan dari tanah liat. Demikian itulah penciptaan manusia yang seperti itu rupanya tidak di alami oleh makhluk makhluk lain seperti manusia. sedangkan Konsep yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut sebagaimana yang tertuang dalam ayat suci QS.Yunus : 24 tentang kecerdasan manusia
Saran
             1.     Setiap pemikiran tokoh psikologi berbeda-beda kita harus tahu biografi dan sejarah pemikirannya sebelum kita merelevansikan dengan islam
             2.     Setiap tokoh dalam pemikiran psikologi banyak menguraikan pendapat yang berbeda, kita harus kritis dalam mencermatinya agar tidak gampang terpengaruh dengan pemikiran yang radikal.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib, M. d. (2002). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Alwisol. (2009). Psikologi Kepibadian. Malang: UMM Press.
Asyar, A. G. (2012). Psikologi Islam. Jakarta: Saadah Cipta Mandiri.
Calore Wade, C. T. (2007). Psikologi Edisi ke-9 Jilid 1. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Dr. Saifuddin Azwar, M. (2017). Psikologi Intelligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frager, R. (2010). psikologi sufi untuk transformasi hati, Jiwa, dan Ruh. Bandung: Zaman.
Hergenhahn, M. H. (2013). Pengantar Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hergenhanh, M. H. (2013). Pengantar Teori-Teori Kepribadian Edisi Ke 8. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ide. (2010). Whole Brain Training For Social Intelligent.
Ide, P. (2010). Whole Brain Training For Social Intelligent,. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Khasinah, S. (2013). Hakikat Manusia Menurut Islam dan Barat. 3(Hakikat Manusia Menurut Islam dan Barat).
Kristin Prehn, R. J. (2017). Caloric Restriction in Older Adults—Differential Effects of Weight Loss and Reduced Weight on Brain Structure and Function, 1765–1778.
Merlijn, I. d. (2017). Diversity among Bi-ethnic students and differences. Social Phycology Education.
Pervin, D. C. (2012). Kepribadian Teori dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humaika.
Prawira, P. A. (2013). Psikologi Kepribadian Dengan Perspektif Baru. Yohyakarta: Ar-Ruzz.
Proff. Dr. Baharuddin, M. (2007). Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahayu, I. T. (2009). Psikoterapi Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
Sahrani, D. P. (2011). Psikologi belajar dalam perspektif islam.
Saifuddin Azwar, M. (2017). Pengantar Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Sapury, R. (2017). Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Schustack, H. S. (2008, Desember). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Shaleh, A. R. (2009). Psikologi, Suatu Pengantar Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Kencana.
Shaleh, A. R. (2009Jakarta). Psikologi, Suatu pengantar dalam persfekfif Islam. Kencana.
Suroso, J. A. (1994). Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, S. (2015, Juni). Psikologi Kepribadian. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Taufiq, M. I. (2006). Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani.
University, O. (2007). Mapping The Reliationship Between Cortical Convolution and Inteligence : Effect of Gender. Amerika: Oxford University Press.
Vanessa Neufeld, K. C. (n.d.).
Vanessa Neufeld, K. C. (2014). Exposure Theraphy for anxiety. Adventure Works Monthly, 50-62.
Wade, C., & Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi ke-9 Jilid 1. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Yuliati, K. P. (2016). Parenting. Journal of Child Development Studies, 40-54.





0 komentar:

Posting Komentar