26.12.17

TEORI DASAR: ERICH FROMM



TEORI DASAR: ERICH FROMM

I R W A N T O
NIM. 163104101125

Pembimbing: Fx. Wahyu Widiantoro, S. Psi., MA.

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45Yogyakarta

Terlahir tanggal 23 Maret 1900 di Frankfurt Jerman dalam lingkungan keluarga Yahudi ortodoks. Fromm adalah anak tunggal dari seorang ayah  pemurung, cemas dan tegang yang berprofesi sebagai pengusaha, dan seorang ibu yang mengalami depresi sebagai pengurus rumah tangganya. Keluarga Fromm mengalami ketidakharmonisan yang disebabkan adanya perbenturan antara perhatian  besar nilai-nilai spiritual Ibunya dengan keberhasilan material sang ayah. Dari keadaan keluarga yang demikian ini, masa kecil Fromm terlihat tidak begitu bahagia. Ia menjuluki orang tuanya dengan highly neurotic dan menjuluki masa kecilnya dengan a probably rather unbearable, neurotic child.

Sejak kecil Fromm telah diperkenalkan dengan kitab perjanjian lama. Ia sangat tertarik dengan visi perdamaian universal yang diajarkan para Nabi. Pada masa remaja, Fromm mulai berkenalan dengan model pemikiran Yahudi, ia mendapat didikan dari Herman Cohen (seorang pemikir Kantian), Rabbi Salman Baruch Rabinkow dan Rabbi Nehemia Nobel. Ketiga guru Fromm ini memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda, Cohen adalah seorang liberal yang kurang menyukai ritual-ritual keagamaan, ia juga sangat tidak tertarik dengan dunia mistik dan lebih tertarik pada keutamaan etika keagamaan. Nobel merupakan penganut Talmudian yang sangat mengagumi Goethe dan pencerahan Jerman, ia juga banyak tertarik pada psikoanalisa. Sedangkan Rabinkow banyak memberi pelajaran Fromm tentang mistisisme Yahudi dan ide-ide humanisme sosialis. Namun sebagai anak yang termasuk kritis, Fromm tidak menerima begitu saja apa yang didapat dari gurunya ini.
Tahun 1924, Fromm mulai keluar dari lingkungan Rabbi dan mendalami psikoanalisa. Ia belajar satu tahun dengan Wilhelm Witenberg di Munich, dan kepada Karl Landauer di Frankfurt dan terakhir dengan Hans Sach serta Theodor Reik di Berlin. Setelah menikah pada tahun 1926 dengan Freida Reichman, pada tahun 1927,  Fromm bersama dengan Karl Laundauer, George Broddeck, Heinrich Meng dan Ernst Schneider mendirikan Frankfurt Psichoanalitic Institute, dan ia membuka praktek psikoanalisa di sana. Pada tahun ini pula, Fromm berkenalan dengan pemikiran Buddhisme. Ketertarikan Fromm kepada Buddhisme membuatnya kemudian belajar Buddhisme pada D.T. Suzuki, peristiwa penting yang banyak mempengaruhi pemikirannya kemudian, terutama analisisnya terhadap irrasionalitas dan paksaan dalam agama serta gagasan rasional dan mistis yang banyak diungkapkannya.
Pada tahun 1932, dengan bantuan Horkheimer, Fromm masuk dalam lingkungan Institute Fur Social Forschung dan menjadi direktur sosial psikologi. Di Institute inilah Fromm banyak menimba pengalaman tentang berbagai bidang pemikiran, terutama materialisme, psikoanalisa, pengaruh ekonomi terhadap kejiwaan, serta karakter sosial masyarakat.

Kondisi Eksistensi Manusia
Dilema Eksistensi
Menurut Fromm, hakekat manusia juga bersifat dualistik. Paling tidak ada empat dualistik di dalam diri manusia:
Manusia sebagai binatang dan sebagai manusia
Manusia sebagai binatang memiliki banyak kebutuhan fisiologik yang harus dipuaskan, seperti kebutuhan makan, minum, dan kebutuhan seksual. Manusia sebagai manusia memiliki kebutuhan kesadaran diri, berfikir, dan berimajinasi. Kebutuhan manusia itu terwujud dalam pengalaman khas manusia meliputi perasaan lemah lembut, cinta, kasihan, perhatian, tanggung jawab, identitas, integritas, sedih, transendensi, kebebasan, nilai dan norma.
Hidup dan mati
Kesadaran diri dan fikiran manusia telah mengetahui bahwa dia akan mati, tetapi manusia berusaha mengingkarinya dengan meyakini adanya kehidupan sesudah mati, dan usaha-usaha yang tidak sesuai dengan fakta bahwa kehidupan akan berakhir dengan kematian.
Ketidak sempurnaan dan kesempurnaan
Manusia mampu mengkonsepkan realisasi-diri yang sempurna, tetapi karena hidup itu pendek kesempurnaan tidak dapat dicapai. Ada orang berusaha memecahkan dikotomi ini melalui mengisi rentang sejarah hidupnya dengan prestasi di bidang kemanusiaan, dan ada pula yang meyakini dalil kelanjutan perkembangannya sesudah mati.

Kesendirian dan kebersamaan
Manusia adalah pribadi yang mandiri, sendiri, tetapi manusia juga tidak bisa menerima kesendirian.
Dualisme-dualisme di atas merupakan kondisi eksistensi manusia. Pemahaman tentang jiwa manusia harus berdasarkan analisis tentang kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi-kondisi eksistensi manusia. Konflik yang dibawa dari lahir antara tesa-antitesa eksistensi manusia, disebut dilema eksistensi. Ada dua cara menghindari dilema eksistensi, pertama dengan menerima otoritas dari luar, yaitu tunduk kepada penguasa dan menyesuaikan diri dengan masyarakat. Cara kedua, orang bersatu dengan orang lain dalam semangat cinta dan kerja sama, menciptakan ikatan dan tanggung jawab bersama dari masyarakat yang lebih baik.
Kebutuhan Manusia
Pada umumnya, kata “kebutuhan” diartikan sebagai kebutuhan fisik, yang oleh Fromm dipandang sebagai kebutuhan aspek kebinatangan dari manusia, yakni kebutuhan makan, minum, seks, dan bebas dari rasa sakit. Kebutuhan manusia dalam arti kebutuhan sesuai dengan eksistensinya sebagai manusia, menurut Fromm meliputi dua kelompok kebutuhan:
  1. Kebutuhan Kebebasan dan Keterkaitan
    1. Keterhubungan (relatedness): kebutuhan mengatasi perasaan kesendirian dan terisolasi dari alam dan dari dirinya sendiri. Kebutuhan untuk bergabung dengan makhluk lain yang dicintai, menjadi bagian dari sesuatu.
    2. Keberakaran (rootedness): kebutuhan keberakaran adalah kebutuhan untuk memiliki ikatan-ikatan yang membuatnya merasa kerasan di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan; pertama,di direngkut dari akar-akar hubungannya oleh situasi ( ketika manusia dilahirkan dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alaminya),kedua,pikiran dan kebebasan yang dikembangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/tak berdaya. Keberakaran adalah kebutuhan untuk mengikatkan diri dengan kehidupan.
    3. Menjadi pencipta (trancendenci): karena individu menyadari dirinya sendiri dan lingkungannya, mereka kemudian mengenali betapa kuat dan menakutkan alam semesta itu, yang membuatnya menjadi merasa tak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketakmenentuan semesta. Orang membutuhkan peningkatan diri,berjuang untuk mengatasi sifat pasif dikuasai alam menjadi aktif,bertujuan dan bebas,berubah dari mahluk ciptaan menjadi pencipta. Seperti pada keterhubungan transendensi bisa positif (menciptakan sesuatu) atau negatif (menghancurkan sesuatu).
    4. Kesatuan (unity): kebutuhan untuk mngatasi eksistensi keterpisahan antara hakekat binatang dan dan non binantang dalam diri seseorang. Orang dapat unitas,memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakekat kebinatangan dan kemanusiaan itu bisa didamaikan, dan hanya dengan berusaha untuk menjadi manusia seutuhnya, melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang lain.
    5. Identitas (identity): kebutuhan untuk menjadi “aku”, kebutuhan untuk sadar dengan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang terpisah. Manusia harus merasakan dapat menontrol nasibnya sendiri, harus bisa membuat keputusan,dan merasa bahwa hidupnya nyata-nyata miliknya sendiri.
  2. Kebutuhan untuk memahami dan beraktifitas
    1. Kerangka orientasi (frame of orientation): adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup yaitu tingkah laku yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.
    2. Kerangka kesetiaan (frame of devotion): adalah peta yang mengarahkan pencarian makna hidup,menjadi dasar dari nilai-nilai dan titik puncak dari semua perjuangan.
    3. Keterangsangan-stimulasi (excitation-stimulation): kebutuhan untuk melatih sistem syaraf, untuk memanfaatkan kemampuan otak.
    4. Keefektifan (effectivity): kebutuhan untuk menyadari eksistansi diri yaitu melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan.
Mekanisme Melarikan Diri dari Kebebasan
Menurut Fromm, ciri orang yang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya,sekaligus Fromm,normalitas adalah keadaan optimal dari pertumbuhan (kemandirian) dan kebahagiaan (kebersamaan) dari individu. Ada tiga mekanisme  pelariaan yang terpenting:
  1. Otoritarianisme (authoritarianism)
Kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya, untuk memperoleh kekuatan yang dirasakan tidak dimilikinya.
  1. Perusakan (destruktiveness)
Seperti otoritarianisme destruktif berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Destruktif mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan pihak luar, tetapi melalui usaha membalas atau merusak kekuatan orang lain.
  1. Penyesuaian (conformity)
Bentuk pelarian dari perasaan kesepian dan isolasi berupa penyerahan individualitas dan menjadi apa saja seperti yang diinginkan kekuatan dari luar titik. Orang menjadi robot, mereaksi sesuatu persis seperti yang direncanakan dan mekanis menuruti kemauan orang lain. Konformis tidak pernah mengekspresikan opini dirinya, menyerahkan diri kepada standar tingkah laku yang diharapkan, dan sering tampil diam dan mekanis.

Tipologi Sosial
Karakter Sosial
Menurut Fromm karakter manusia berkembang berdasarkan kebutuhan mengganti insting kebinatangan yang hilang ketika mereka berkembang tahap demi tahap. Menurut Fromm, karakter berkembang dan dibentuk oleh “social arrangements” (pengaturan sosial) dimana orang itu hidup. Hal ini mirip dengan Freud, tetapi karakter itu bukan dihasilkan oleh penyaluran enerji seksual masa anak-anak, tetapi dihasilkan dari tekanan sosial untuk bertingkah laku dengan cara tertentu.
Karakter dan Masyarakat
Masyarakat membentuk karakter pribadi melalui orang tua dan pendidik yang membuat anak bersedia bertingkah laku seperti yang dikehendaki masyarakat. Pada masyarakat kapitalis, anak diajar menabung sehingga cukup modal untuk mengembangkan ekonomi. Fromm yakin bahwa baik masyarakat kapitalis maupun komunis keduanya membuat orang menjadi robot dengan menjadikan mereka budak pemakan gaji dan mengisolasi mereka dari makna dan hasil pekerjaannya. Dia sangat mengkritik masyarakat modern yang consumer-oriented yang terus menerus menciptakan kebutuhan baru bagi setiap orang. Menurutnya, tidak semua kebutuhan manusia harus dipuaskan; jika saja jumlah materi yang dapat dimiliki hanya sedikit dan insentif untuk mendapatkannya juga sedikit, orang mungkin akan bebas untuk memuaskan dirinya secara lebih kreatif.

Aplikasi
Sosialisme Komunitarian Humanistik (Humanistic Communitarian Socialism)
Masyarakat yang disarankan Fromm adalah huanistic communitarian socialism (sosialisme komunitarian humanistik), masyarakat di mana orang-orang bergaul dengan cinta, yang berakar dalam hubungan persaudaraan dan solidaritas. Dalam masyarakat semacam itu orang mencapai perasaan diri dan mampu berbuat kreatif alih-alih destruktif. Ide Fromm mungkin bagus tetapi banyak yang tidak dapat dilaksanakan.
Karakter Masyarakat
Pada tahun 1957, Fromm melakukan peneltian di sebuah desa di Meksiko mengenai karakter masyarakat. Ada dua kesimpulan penting, pertama, ternyata masyarakat memiliki tiga jenis karakter, yakni Productive-hoarding, Nonproductive-receptive, Productive-exploitative. Kedua, dari perkembangan karakter-karakter masarakat itu dapat disimpulkan bahwa karakter pribadi dan karakter sosial berhubungan timbal balik. Karakter pribadi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh struktur sosial dan perubahan-perubahan sosial.
Psikoterapi: Psikoanalisis Humanistik
Dibandingkan dengan psikoanalisis Freud, Fromm lebih peduli dengan aspek interpersonal dan hubungan teraputik. Menurutnya, tujuan klien dalam terapi adalah untuk memahami diri sendiri. Tanpa pengetahuan tentang diri sendiri, orang tidak akan tahu orang lain. Fromm juga yakin bahwa klien mengikuti terapi untuk mencari kepuasan dari kebutuhan dasar kemanusiaannya, yakni keterhubungan, keberakaran, transendensi, perasaan identitas dan kerangka orientasi. Karena itu terapi harus dibangun melalui hubungan pribadi antara terapis dengan kliennya. Menurut From, terapis tidak seharusnya terlalu ilmiah dalam memahami kliennya. Klien hendaknya tidak dilihat sebagai orang sakit, tetapi diterima sebagai manusia dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tidak berbeda dengan kebutuhan terapis.

            DAFTAR PUSTAKA
Gabbard, G.O, 2004, Long Term Psychodynamic Psychotherapy a Basic Text, London, American University Press.
Sabur, Alex, 2003,  Psikologi Umum, Bandung, Pustaka Setia. 
Rahayu, Siti, 2006, Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, UGM Press.
Alwisol, 2005, Psikologi Kepribadian, Malang, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang.
Semiun, Yustinus, 2006, Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik Freud, Yogyakarta, Kanisius.
Sumadi Suryabrata, 2005, Psikologi Kepribadian, Jakarta, CV. Rajawali.
Koeswara, E, 1991,  Teori-teori Kepribadian, Bandung,  Eresco.
Bischof, Ledford J, 1970, Interprening Personality Theories,  Harper and Row Publisher, 2nd Edition, New York.
Jaali, H, 2008, Psikologi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Rahayu, Siti, dkk. 2006, Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, UGM Press
Koeswara, E, 1991,  Teori-teori Kepribadian, Bandung,  PT. Eresco.
Masrun, 1977,  Aliran-aliran Psikologi, Yogyakarta,  Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Berry, Ruth, 2001, Freud: Seri Siapa Dia, Jakarta, Erlangga. 
Boeree, C.G, 2005, Sejarah Psikolog,  Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern (Alih Bahasa: Abdul Qodir Shaleh),  Yogyakarta, Primasophie.
Boeree, C. G, 1997, Personality Theories,  Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia, (Alih bahasa, Inyiak Ridwan Muzir),  Yogyakarta,  Primasonhie.
Koeswara, E, 1991, Teori-teori Kepribadian, Bandung,  Eresco.
Supratik, 1993, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta,  Kanisius.
Alwisol, 2005,  Psikologi Kepribadia,  Malang,  Penerbit Universitas Muhammadyah Malang.  
Payne, Malcolm, 2005, Modern Social Work Theory, Edisi Ketiga, New York, Palgrave Macmillan.
Rahayu, Siti, dkk,  2006,  Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya,  Yogyakarta, UGM Press.
Bimo Walgito, 2010, pengantar psikologi umum, Andi, Yogyakarta.
Neil J. Salkin, 2009, Teori-Teori Perkembangan Manusia, Bandung, Nusa Media.
Calvin s. Hall dan Garden Lindzey, 1993, Teori-Teori Psikodinasmika (klinis),Yogyakarta, Kanisius




0 komentar:

Posting Komentar