24.9.17

REVIEW: MANUSIA KREATIF MENURUT TEORI HUMANISTIK (TEORI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW)



REVIEW: MANUSIA KREATIF MENURUT TEORI HUMANISTIK
(TEORI KEBUTUHAN ABRAHAM MASLOW)

Dosen: Fx. Wahyu Widiantoro, S.Psi, MA.
TUGAS 1. PSIKOLOGI KEPRIBADIAN 2


IRWANTO
NIM. 163104101125
FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UMUM
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

Abstrak
Hasil review ini membahas mengenai manusia sebagai makhluk kreatif. Dibekali akal dan jiwa yang memampukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya ke arah yang lebih baik dan benar, demikialah yang dipaparkan dalam paham humanistik. Manusia akan terus berkembang dan memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara sesuai dengan potensi yang dimiliki. Potensi-potensi ini menumbuhkan motivasi/dorongan untuk kreatif memenuhi kebutuhannya. Terdapat manusia yang tidak kreatif, tidak tertarik menemukan cara yang memungkinan kebutuhannya terpenuhi. Manusia yang tidak kreatif hidup dengan motivasi rendah dan masalah hidup yang kompleks. Kreatifitaslah yang dapat menguak diri manusia sehingga mampu bertahan dengan baik melalui potensi-potensi yang di milikinya. Sumber dari kreatifitas manusia berasal dari dalam diri manusia dan dari luar diri manusia. Dari dalam manusia, kreatifitas membentuk perbuatan-perbuatan yang dilatar belakangi oleh kebutuhan dasar hidup manusia. Sedangkan sumber dari luar datang dari alam semesta terutama pencipta diri manusia, Allah SWT. Tidak salah mengatakan manusia tidak berubah jika ia tidak memulainya dari dirinya sendiri sehingga manusia sendiri harus mengupayakannya. Upaya-upaya ini tidak akan pernah terpenuhi jika Allah tidak menghendaki kebaikan bagi manusia. Sehingga manusia harus tetap mengupayakan kreatifitasnya melejit dalam potensi-potensinya untuk meraih eksistensi dalam hidupnya dan menyadari segalanya tergantung pada kehendak Allah SWT. Allah-lah yang menjadi sumber motivasi manusia untuk hidup, merancang berbagai kebutuhan dasarnya, menggunakan kreatifitas terbaiknya, guna menjadi insan paripurna.


Kata kunci: Manusia, Kebutuhan Dasar, Kreatifitas.

PENDAHULUAN
Kebutuhan manusia merupakan dasar pemikiran dari teori humanis. Pelopor teori humanistik adalah Abraham Maslow yang terkenal dengan teori hakikat kebutuhan manusia. Kemunculan dari teori Maslow banyak mengkritisi teori Freudian. Bagi Freudian, manusia dipahami melalui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya, atau sudut pandang negatif. Sedangkan Maslow, mencoba lenilik manusia dari potensi baik yang melekat dalam diri manusia sejak lahir. Teori humanis menekankan pada lima unsur kebutuhan hidup manusia: kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan dan mengaktualisasikan diri. Lima kebutuhan ini merupakan rumusan Khirarki kebutuhan, Maslow. Melihat kembali potensi yang dimiliki manusia, kebutuhan apapun akan selalu terpenuhi dengan syarat kreatifitas membentuk manusia.
Hirarki kebutuhan tertinggi merupakan kebutuhan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Orang yang teraktualisasikan dirinya biasanya berjalan ke arah kematangan hidup. Proses aktualisasi diri adalah perkembangan atau penemuan jati diri dan mekarnya potensi ada atau terpendam. Meskipun kesehatan psikologi tidak mendukung, individu masih bisa mencapai kematangan dan aktualisasi diri. Sejumlah  tokoh yang sangat terkenal ternyata tidak sehat secara psikologis, seperti  Byron, Van Gogh dan Wagner. Orang yang mampu mengaktualisasikan diri mampu berfikir objektif, melihat hidup apa adanya sesuai keinginan mereka, tidak bersikap emosional, mereka tidak akan membiarkan hasrat-hasrat dalam dirinya menyesatkan pemikirannya sendiri. Mereka mampu menganalisis secara tepat ketika menilai orang lain. Dalam pemikiran Maslow, kreatifitas jauh lebih berkembang dan bermanfaat bagi orang lain ketika ia sampai pada aktualisasi dirinya. Problematika hidupnya tidak begitu banyak, nilai kepercayaan, kebaikan dan keindahan melebur menjadi satu kesatuan. Pertentangan antara kebaikan dan keburukan tidak begitu menjadi masalah besar, mereka lebih cenderung tertarik dengan sikap yang luhur. Seseorang yang teraktualisasi dirinnya memiliki apa yang disebut Maslow sebagai “kemerdekaan psikologis”. Mental yang dimilikinya melebihi yang lain, ia mampu mengambil keputusan-keputusan sendiri meskipun melawan pendapat khalayak ramai.
Munculnya kreatifitas pada level aktualisasi diri ini melejit karena tidak terhalang lagi oleh masalah pemenuhan kebutuhan lain. Lebih santai dan bebas dalam menginterpretasikan ide-idenya, imajinasinya. Manusia memang akan mampu berkreatifitas disetiap tinggkat pemenuhan kebutuhannya, namun dalam tingkatan mencapai eksistensi diri, kreatifitas tersebut keluar dengan ide-ide segar yang tidak terikat oleh raa takut atau kebutuhan-kebutuhan diri sendiri. Ini terjadi pada Leo Nardo Davinci, ketika menuangkan ide-ide jeniusnya yang kemudian menggemparkan dunia.
Teori humanis merupakan teori yang dipelopori oleh Abraham Maslow. Ia berusaha mengkritisi pemikiran Freudian yang memandang manusia dari segi kesalahan dan kelemahannya. Maslow mencoba mengangkat derajat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dengan banyak kelebihan. Maslow banyak mempertanyakan bagaimana orang-orang hebat dan terkenal melakukan hal yang luar biasa, bagi dia manusia memiliki motivasi untuk menjalankan hidupnya sebagai manusia. Konsep Maslow tentang manusia sama sekali tidak mengesampingkan kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan genetik yang dibawa sejak lahir, namun konsepsi itu sekaligus mengakui adanya kemampuan-kemampuan yang bersifat umum pada seluruh spesies. Kemampuan kemampuan yang hebat ini yetdapat pada manusia tetapi sukar di ukur. Kita tidak pernah bisa mengukur seberapa pandai seseorang dalam kondisi yang serba baik, kita hanya dapat mengukur dalam kondisi-kondisi yang yang ada. Manusia memiliki kemampuan untuk bersikap kreatif, spontan, penuh perhatian pada orang lain, penuh rasa ingin tahu, kemampuan berkembang secara terus menerus, kemampuan mencintai dan dicintai serta semua ciri lain yang terdapat pada orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya.
Psikologi humanistik merupakan suatu aliran psikologi yang di plopori oleh Abraham H. Maslow yang disebut sebagai kekuatan ke tiga, dimana sebelumnya telah muncul psikoanalisis oleh Sigmun Preud dan Behaviorisme oleh Watson dan Skiner. Psikologi humanistik telah menjadi kekuatan terbesar karena memandang manusia sebagai eksistensi yang utuh dan humanis. Eksistensialisme mempengaruhi teori motivasi Abraham H. Maslow secara implisit. Kemudian pengaruhnya secara ekplisit pada tema aktualisasi diri dan kebebasan. Aktualisasi diri merupakan nilai tertinggi dalam eksistensialisme dan begitu pula dalam teori motivasi Abraham H. Maslow. Psikologi humanistik menekankan pada kekuatan-kekuatan dan aspirasi positif manusia, pengalaman sadar, kehendak bebas, pemenuhan potensi manusia, dan keyakinan pada hakikat manusia sebagai suatu keseluruhan. Kita melihat bahwa tema-tema diatas cukup berbeda dari tema-tema yang ada dalam behaviorisme dan psikoanalisis (Feist, 2016). Akar dari posisi humanistik juga dapat ditemukan dalam psikoanalisis. Adler, Horney, dan para teoris kepribadian lainnya sangat tidak setuju dengan pemikiran Preud bahwa hidup kita ditentukan oleh kekuatan-kekuatan tak sadar. Para penentang psikoanalisis ini yakin bahwa kita adalah makhluk sadar yang memiliki spontanitas dan kehendak bebas serta dipengaruhi oleh masa kini, masa depan, dan juga masa lalu (Schultz, 2013).
Bagi para psikolog Humanistik, psikologi behavioral adalah sebuah pendekatan steril yang sempit dan artifisial terhadap hakikat manusia. Mereka yakin bahwa memfokuskan pada sesuatu yang kasatmata dapat melenyapkan sifat kemanusiaan (dahumanisasi). Ia mereduksi manusia ke status yang hanya sekedar organisme dan mesin. Mereka memperdebatkan pandangan bahwa untuk merespon kejadian-kejadian stimulus manusia itu lebih kompleks dari pada tikus-tikus atau robot-robot laboratorium dan tidak dapat diobjekkan, dikuantifikasi, ataupun direduksi menjadi unit-unit S-R (stimulus-respon) (Feist, 2016).
Behaviorisme bukanlah satu-satunya target para psikolog  humanistik, mereka juga menentang tendensi-tendensi deterministik dalam psikoanalisis Freudian dan caranya dalam meminimalkan peran kesadaran. Dan mereka mengkritik pengikut Freudian karena hanya mengkaji orang-orang yang mengalami neurotik dan psikotik.Apabila para psikolog berkonsentrasi hanya pada disfungsi mental, bagaimana mereka dapat mempelajari suatu mengenai kesehatan emosional dan kualitas-kualitas positif manusia lainnya? Dengan mengabaikan kesenangan, kepuasan, kegembiraan, kebaikan dan kemurahan hati misalnya, dan lebih memilih untuk mengurusi sisi gelap kepribadian manusia, psikologi telah mengabaikan kekuatan-kekuatan dan kelebihan-kelebihan unik manusia. Sehingga untuk merespon batasan-batasan yang dipersepsikan oleh behaviorisme dan psikoanalisis, para psikolog humanistik mengembangkan apa yang mereka harap akan menjadi kekuatan ke tiga dalam psikologi. Sebagai sebuah study yang serius mengenai aspek-aspek hakikat manusia yang terabaikan, psikologi humanistik paling baik diekspresikan oleh karya-karya Abraham Harol Maslow dan Carl Rogers (Schultz, 2013).
Humanisme lebih memfokuskan diri pada sisi perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat bagaimana manusia membangun dirinya untuk hal-hal yang lebih positif. Abraham H. Maslow berpendapat bahawa manusia adalah makhluk bebas, makhluk yang rasional, makhluk yang harus dipandang secara menyeluruh, makhluk yang berubah, dan makhluk yang tidak dapat diketahui sepenuhnya (Feist, 2016).
Dalam hal ini akan dibahas pandangan Abraham H. Maslow tentang Motivasi dan hirarki kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan akan cinta dan keberadaan, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Adapun teori kepribadian maslow di buat berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. yaitu, keseluruhan dari seseorang, bukan hanya satu bagian atau fungsi, termotivasi. Pertama, Maslow mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari beberapa hal yaitu bahwa tingkah laku manusia dapat muncul dari beberapa motivasi yang terpisah. Asumsi ketiga adalah bahwa orang- orang berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan. Artinya ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanaya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain. Asumsi lainya adalah bahwa semua orang di manapun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama. Asumsi terakhir adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk menjadi sebuah hirarki (Feist, 2016).
Kemudian Abraham H. Maslow berpendapat bahwa susunan hirarki kebutuhan tersebut merupakan organisasi yang mendasari motivasi manusia. Kebutuhan hirarki yang diungkapkan Maslow beranggapan bahwa kebutuhandilevel rendah yang harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan  di level tinggi menjadi hal yang memotivasi.Lima kebutuhan yang membentuk hirarki ini disebut kebutuhan konatif yang berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan ini memiliki karakter yang mendorong atau memotivasi. Dan itulah kebutuhan yang sering disebut oleh Abraham H. Maslow sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi (Feist, 2016).
1.    Kebutuahn Fisiologis
Kebutuhan yang paling mendasar dari setiap manusia adalah kebutuhan fisiologis yang termasuk didalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuh, dan lain sebagainya. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan yang mempunyai kekuatan atau pengaruh paling besar dari semua kebutuhan. Orang yang terus-menerus merasa lapar akan termotivasi untuk makan hingga tidak termotivasi untuk mencari teman atau memperoleh harga diri. Dan selama kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka motivai utama adalah untuk mendapatkan sesuatu untuk dimakan (Feist, 2016). Abraham H. Maslow mengatakan bahwa hal yang cukup benar apabila manusia hidup hanya dengan roti saja yaitu ketika ada roti.
Kebutuhan fisologis berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan lainya setidaknya dalam dua hal penting. Pertama, kebutuhan fisiologis adalah satu-satunya kebutuhan yang dapat terpenuhi atau bahkan selalu terpenuhi. Berbeda yang kedua dari kebutuhan fisiologis adalah kemampuannya untuk muncul kembali. Setelah orang-orang selsai makan, mereka lama kelamaaan menjadi lapar lagi; mereka terus mengisi ulang pasokan makan dan air; akan tetapi kebutuhan kebutuhan di level lainnya tidak muncul kembali lagi secara trus menerus(Feist,2016).
2.    Kebutuhan akan Keamanan
Ketika manusia telah memenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka menjadi termotivasi dengan kebutuhan akan keamanan, yang termasuk di dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan yang mengancam, seperti perang, terorisme, penyakit, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan, dan bencana alam. Kebutuhan akan hukum, ketentraman, dan keteraturan juga merupakan bagian dari kebutuhan akan keamanan (Maslow,1970). Kebutuahan akan keamanan berbeda dengan kebutuhan fisiologis dalam hal ketidakmungkinan kebutuhan akan keamanan untuk terpenuhi secara berlebihan. Manusia tidak akan pernah benar-benar terlindung dari meteor, kebakaran, banjir, atau peristiwa berbahaya lainnya (Feist, 2016).
Sebagian besar orang-orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan akan keamanan mereka setiap waktu hingga menjadikan kebutuhan ini cenderung tidak penting. Akan tetapi anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan rasa aman karena mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang asing, dan hukuman dari orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa cenderung tidak aman karena ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa hingga masa dewasa dan menyebabkan mereka bertindak seolah mereka takut akan hukuman dari orang tua. Mereka menghabiskan banyak energi daripada energi yang dibutuhkan orang yang sehat untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan ketika mereaka tidak berhasil memenuhi kebutuhan rasa aman terebut, mereka akan mengalami apa yang disebut Maslow sebagai kecemasan dasar.
3.    Kebutuhan akan Cinta dan Keberadaan
Setelah manusia memenuhi kebutuhan fisiologis dan keamanan, mereka akan termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan, seperti keinginan untuk berteman, keinginan untuk mempunyai pasangan dan anak, kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, sebuah perkumpulan, lingkungan masyrakat, atau negara. Cinta dan keberadaan juga mencakup beberapa aspek dari seksualitas dan hubungan dengan manusia lain dan juga kebutuhan untuk memberi dan mendapatkan cinta (Maslow, 1970). Manusia yang kebutuhan akan cinta dan keberadaan cukup terpenuhi sejak maa kecil tidak menjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang semacam ini memiliki kepercayaan diri bahwa mereka akan diterima oleh orang-orang yang penting bagi mereka, jadi ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak merasa hancur (Feist, 2016).
Kelompok orang kedua adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang yang tidak pernah merasakan cinta dan keberadaan, dan oleh karena itu mereka menjadi tidak mampu memberikan cinta. Mereka jarang atau bahkan tidak pernah dipeluk ataupun disentuh ataupun mendapatkan pernyataan cinta dalam bentuk apapun. Namun Abraham Maslow percaya bahawa orang-orang semacam ini lama-kelamaan akan belajar untuk tidak mengutamakan cinta dan terbiasa dengan ketidakhadiran cinta (Feist, 2016). Katagori ketiga adalah orang-orang yang menerima cinta dan keberadaan hanya dalam jumlah sedikit. Oleh karena itu dia hanya menerima sedikir cinta dan keberadaan, maka mereka akan sangat termotivasi untuk mencari cinta dan keberadaan itu sendiri. Dengan kata lain, orang yang menerima sedikit cinta mempunyai kebutuhan akan kasing sayang dan penerimaan yang lebih besar daripada orang yang menerima cinta dalam jumlah cukup atau yang tidak menerima cinta sama sekali (Abraham H. Maslow) (Feist, 2016).
4.    Kebutuhan akan Penghargaan
Setelah orang-orang memenuhi kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka bebas untuk mengejar kebutuhan akan penghargaan, yang mencakup penghormatan dir, kemampuan, dan pengetahuan yang tentunya orang lain akan menghargai tinggi. Maslow 1970  mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan hingga reputasi diri. Reputasi  adalah persefsi akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan peribadi seseorang bahwa dirinya bernilai atau bermanfaat dan percaya diri. Harga diri disadari oleh lebih dari sekedar reputasi maupun gengsi. Harga diri menggambarkan “keinginan untuk memperoleh kekuatan, pencapaian atau keberhasilan, kecukupan, penguasaan dan kemampuan, kepercayaan diri di hadapan dunia, serta kemandirian dan kebebasan”. Dengan kata lain, harga diri  didasari oleh kemampuan nyata dan bukan hanya didasari oleh opini dari orang lain. Setelah orang memenuhi kebutuhan mereka akan penghargaan, mereka siap untuk mengejar aktualisasi diri yang merupakan kebutuhan tertinggi yang diungkapkan Malow (Feist, 2016).
5.    Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Ketika kebutuhan dilevel rendah terpenuhi, orang secara otomati beranjak ke level berikutnya, akan tetapi, setelah kebutuhan akan penghargaan terpenuhi, orang tidak selalu bergerak menuju level aktualisasi diri. Awalnya Maslow (1970) berasumsi bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri muncul jika kebutuhan akan penghargaan telah terpenuhi (Feist, 2016). Kebutuhan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreatif mungkin orang-orang yang telah mencapai level aktualisasi diri menjadi orang seutuhnya, memenuhi kebutuhan kebutuhan yang orang lain hanya melihat sekilas atau mungkin tidak pernah melihat sama sekali (Feist, 2016). Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga diri mereka bahkan ketika mereka dimaki, ditolak, dan diremehkan orang lain. Dengan kata lain mereka tidak bergantung pada pemenuhan kebutuhan cinta maupun kebutuhan akan penghargaan. Mereka menjadi mandiri sejak kebutuhan level rendah yang memberi mereka kehidupan (Feist, 2016).
Adapun kriteria orang yang mengaktualisasi diri, pertama; mereka bebas dari psikopatologi atau penyakit psikologis, kedua; orang-orang mengaktualisasi diri ini telah menjalani hirarki kebutuhan, dan yang ketiga; mengenai kriteria aktualisasi diri yang diungkapkan Maslow adalah bahwa orang-orang tersebut menjunjung nilai B. Orang-orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya merasa nyaman dengan dan bahkan menuntut kejujuran, keindahan, keadilan, kesederhanaan, dan  kejenakaan. Dan kriteria terakhir untuk mencapai aktualisasi diri adalah menggunakan seluruh bakat, kemampuan, potensi, dan lainnya (Maslow, 1970) artinya individu-individu yang mengaktualisai diri dalam daftarnya memenuhi kebutuhan mereka untuk tumbuh, berkembang, dan semakin menjadi apa yang mereka bisa.
Dengan melihat pemenuhan kebutuhan dasar manusia, akan dapat disimpulkan sejauhmana kualitas kepribadian seseorang berkembang. Semakin tinggi hirarti kebutuhan seseorang terpuaskan, maka seseorang akan semakin dapat mencapai derajat individualitas atau kemandirian, kematangan jiwa dan berjiwa sehat, dan begitu sebalknya (Hayim, 2002). Selain lima kebutuhan konatif diatas, maslow mengidentifikasi tiga katagori kebutuhan lainya yaitu estetika, kognitif, dan neurotik. Terpenuhinya kebutuhan estetiaka, dan kognitif sejalan dengan tercapainya kesehatan psikologis, jika kedua kenutuhan ini tidak terpenuhi maka akan berakibat pada munculnya hal-hal patologis atau yang tidak bisa dikontrol. Tetapi kebutuhan neurotik mengarah pada munculnya hal-hal patologis, baik jika ini terpenuhi maupun tidak terpenuhi (Feist, 2016).
1.    Kebutuhan Estetika
Kebutuahn estetika (esthetic needs) berbeda dengan kebutuhan konatif. Tidak bersifat universal, akan tetapi, setidaknya beberapa orang disetiap kultur sepertinya termotivasi oleh kebutuhan akan keindahan dan pengalaman yang menyenangkan secara estetis (Maslow.1970).  orang-orang dengan kebutuhan etetika yang kuat mengiginkan lingkungan yang indah dn teratur dan ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka merasa sakit sama halnya seperti orang-orang yang tidak terpenuhi kebututhan-kebutuhan konatifnya. Orang-orang lebih menyukai sesuatu yang indah daripada sesuatu jelek dan mereka bahkan bisa mengalami sakit fisik maupun psikologis jika dipaksa untuk tinggal di lingkungan yang kotor dan tidak teratur (Maslow, 1970) (Feist, 2016).
2.    KebutuhanKognitif
Sebagian besar orang mempunyai keinginan untuk mengetahui, untuk memecahkan misteri, untuk memahami, dan untuk menjadi penasaran. Maslow (1970) menyebut keinginan-keinginan ini sebagai kebutuhan kognitif. Ketika kebutuhan kognitif ini tidak terpenuhi, semua kebutuhan hirarki Malow terancam tidak bisa terpenuhi pula. Karena pengetahuan merupakan kebutuhan yang sngat penting untuk memenuhi kelima kebutuhan konatif tersebut (Feist, 2016). Maslow percaya bahwa orang-orang sehat mempunyai keinginan untuk mengetahui lebih besar, untuk berteori, untuk membuktikan hipotesis, untuk menyelesaikan misteri, atau untuk mencari hal bagaimana suatu hal berfungsi hanya karena penasaran ingin tahu. Akan tetapi orang yan tidak dapat memenuhi kebutuhan kognitif mereka, yang terus menerus berbohong, yang rasa penasarannya terhambat, atau yang trlah menolak informasi-informasi yang masuk ke dirinya, dapat terjangkit penyakit yang berupa sikap skeptis, kecewa, dan sinis (Feist, 2016).
3.    Kebutuhan Neurotik
Setelah terpenuhinya kebutuhan konatif, etetika, dan kognitif merupakan dasar bagi tercapainya kesehatan fisik dan psikologis seseorang. Jika kebutuhan-kebutuhan  tersebut tidak terpenuhi, maka akan mengarah pada penyakit. Tetapi kebutuhan neorotik (neurotic needs) hanya berpengaruh pada kegagalan berkembang dan penyakit (Maslow 1970) (Feist, 2016). Jika dibutuhkan maka kebutuhan neurotik menjadi tidak produktif. Kebutuhan-kebutuhan ini memupuk gaya hidup yang tidak sehat dam tidak adanya keinginan untuk berusaha memperoleh aktualisasi diri. Kebutuhan neuritik biasanya bersifat reaktif, yaitu kebutuhan ini berperan sebagai konpensasi atas kebutuhan-kebutuhan yang dasar yang tidak terpenuhi. Serupa dengan hal ini, seseoramg yang neurotik dapat menjalin hubungan yang erat dengan orang lain, tetapi hubungan tersebut bisa merupakan hubungan yang neurotik dan bisa saling bergantung yang mengarah pada hubungan yang patologis atau ber,asalah daripada cinta yang tulus (Feist, 2016).
KESIMPULAN
Kreatifitas adalah kemampuan manusia mengembangkan potensi dalam dirinya untuk meraih kehidupan yang lebih berkualita. Kreatif sendiri merupakan cara mengaktualisasikan keinginan dari emosi dalam diri yang terpendam untuk memenuhi kebutuhan hidup melalui potensi-potensinya. kreatifitas itu didorong oleh seorang yang kreatif dari luar/lingkungan sosial, kemudian individu akan menggunakan caranya sendiri untuk direfleksikan dalam bentuk tindakan sehingga dapat menggambarkan emosional dan keinginan terpendam/mewujudkan keinginan.
Teori humanis menekankan pada lima unsur kebutuhan hidup manusia: kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta, penghargaan dan mengaktualisasikan diri. Lima kebutuhan ini merupakan rumusan hirarki kebutuhan Maslow. Melihat kembali potensi yang dimiliki manusia, kebutuhan apapun akan selalu terpenuhi dengan syarat mampu menggunakan kreatifitasnya dengan baik dan maksimal. Adapun sumber kreatifitas berasal dari dalam diri manusia sendiri, ada pula yang berasal dari luar diri manusia. Sumber dari dalam diri manusia kreatifitas merupakan dorongan keinginan yang kuat, dapat berupa motivasi hidup. Sedang dari luar diri manusia, sumber kreatifitas itu lebih mempengaruhi manusia tampa terikat oleh tempat dan waktu, berbentuk nyata. Kreatifitas dari luar bersifat objektif, sedangkan kreatifitas dari dalam diri individu adalah bersifat subjektif. Psikologi humanistik mengingatkan kita akan pentingnya pengalaman manusia sebagai individu dan aspek-aspek penting dalam pengalaman manusia, seperti diri (self), pengalaman puncak (peak experince), dan spiritualitas (spirituality) yang diabaikan oleh pendekatan-pendekatan psikologi lainnya. Psikologi humanistik menyediakan model konseling yang sederhana, mudah dimengerti, dan efektif. Artinya, lebih banyak lagi orang yang dapat mengakses bantuan psikologi dari pada jika tidak ada psikologi humanistik. Barangkali yang terpenting adalah psikologi humanistiklah satu-satunya di antara pendekatan-pendekatan utama dalam psikologi yang menekankan sisi-sisi positif dari sifat dasar manusia dan mengambil sikap yang sepenuhnya positif terhadap kemanusiaan.
Pendekatan humanistik telah menghasilkan teori dan gagasan yang sangat sukar diuji dengan penelitian ilmiah, bahkan sampai pada taraf yang lebih luas dari pada pendekatan psikodinamika. Karena pokok permasalahan dalam psikologi humanistik adalah pengalaman pribadi manusia, maka ada masalah logis dalam hal penerapan teori-teori yang berasal dari satu individu kepada individu yang lain. Contohnya, kita tidak bisa menganggap dua orang yang menceritakan suatu pengalaman puncak atau pengalaman spiritual, memiliki pengalaman yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin. (2011). Pendidikan Humanistik (Konsep, teori, dan Aplikasi Praktis dalam Dunia      Pendidikan). (Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Boeree, C. (2010). Personality Theories, diterjemakan: Inyiak Ridwan M. Yogyakarta:  Prismasopie.

Dean, K. (2001). History Bilogi And Sosio-Curtural: The Psychology Of Creativity, University of California, Amerika Serikat, Vol. 66 No. 8.

Duene, S. (2013). Sejarah Psikologi Modern. Bandung: Nusa Media.
Frank, G. (1987). Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Penerjemah, A. Supratiya, Yogyakarta: Kartasius.

Graham, H. (2005). Psikologi Humanistik Dalam Konteks Sosial, Budaya, dan       Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jarvis, M. (2009). Teori-teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku, Perasaan dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusamedi.

Jess, G. (2016). Teori Kepribadian Edisi 7. Jakarta: Salemba Humanika.
Kyle, A. (2014). Behind The Mirror : Reflective Listening and its Tain in the Work of Carl Rogers. Routledge Taylor and Francis Group : The Humanistic Psychologist, Vol 42. No. 14

Montuori, A. (2003). Jurnal Psikologi Humanistik:The Creator And Maker, Vol. 10, No. 11.

Muhammad, H. (2012). Dialog antara Tasawuf dan Psikologi; Telaah atas Pemikiran       Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taufik. (2012). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.
Vlad, G. (2008). Paradigma dalam Studi Kreativitas: Memperkenalkan Perspektif Psikologi Budaya, Ide-Ide Baru dalam Perspektif  Psikologi, Elsevier, Vol. 28, No.145.

0 komentar:

Posting Komentar