30.5.17

RESENSI ARTIKEL: MASYARAKAT “POST-SEKULER”



RESENSI ARTIKEL:
MASYARAKAT “POST-SEKULER

TUGAS MATA KULIAH: PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
 

NAMA: I R W A N T O
NIM. 163104101125

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI UMUM
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

Fenomena kehidupan keagamaan di negeri ini tak dimungkiri semakin marak. Semarak orang pergi ke gereja, pura, wihara, kelenteng, serta mesjid tidak terbantahkan. Sebagai masyarakat, bangsa ini secara artikulatif tampak kasatmata: semakin religious, bukan makin sekuler, inilah masyarakat “post sekuler”. Masalahnya, kemakinsemarakan aktivitas artikulasi keislaman (keagamaan) yang terjadi di negeri ini adakah berhubungan dengan internalisasi dan obyektivikasi nilai keagamaan yang dianut masyarakat, perlu mendapat serius kaum agamawan. Ada pesan kuat bahwa keagamaan di negeri ini sebenarnya masih bersifat formalistis, bukan substansialistis.
Keagamaan masyarakat kita adalah keagamaan yang simbolis, bukan esensialistis. Beragama, tetapi puas dengan simbol, atribut, serta berbagai aksesori yang tak jarang sekadarmenyenangkan pihak lain untuk member pujian, serta kepuasan aksesoris semata pada para penganutnya. Inilah abu dari agama, bukan api agama yang jadi pengangan kaum beragama. Kaum agama dalam masyarakat “post-sekuler”, dikatakan Bryan S. Turner, merupakan fenomena keagamaan yang tak jarang “berbalut kemarahan dan kerakusan”. Mereka beragama, tetapi kurang menghayati nilai substansial agama itu sendiri. Selain itu, kaum beragama juga tak peduli kesensaraan orang lain sehingga perilakunya tak sederhana, secukupnya sesuai dengan kebutuhan hidupnya, tak mengambil hak orang lain, menipu serta memanipulasi keagamaan dengan bungkus kesalehan simbolis. Orang beragama, tetapi tak dapat merasa cukup dengan yang telah diperoleh. Orang beragama tak pernah puas dengan ibadah umrah tiga kali sebagaimana contoh Nabi Muhammad dan haji satu kali saja. Orang muslim tiap bulan menjalankan umrah sebagai bagian dari artikulasi kesalehan tanpa batas. Inilah sebenarnya beragama, tetapi dalam kerakusan yang nyata. Bukan hanya rakus harta benda, tetapi rakus akan hak orang lain sehingga orang lain tak dapat menikmati kesejahteraan dan kenikmatan yang selalu dimiliki oleh kelas menengah Muslim Indonesia.

Beragama “formalistis” inilah fenomena mutakhir dari keagamaan kaum “post-sekuler”. Orang tak mencari-cari keagamaan yang spiritualitas, tetapi “puas dengan keagamaan” yang artikulatif sekalipun semu dan nihil akan kritik sosial. Di kalangan umat muslim, misalnya banyaknya aktivitas doa bersama, jemaah duha, jemaah majelis taklim, jemaah haji dan umrah, serta jemaah sedekah rombongan tak berbanding positif dengan pengangguran kemiskinan, kebodohan serta kejahatan yang dibuat kaum beragama. Ini menandakan kaum beragama yang tampak rajin di satu pihak tak berhubungan dengan berkurangnya fenomena kemungkaran sosial yang juga di kerjakan kaum beragama.
Kekerasan orang tua terhadap anaknya, pemerkosaan seorang guru terhadap siswa, kejahatan para siswa terhadap sesama siswa, serta kejahatan para guru ngaji “gadungan” atas jemaah adalah bukti otentik jika kaum beragama dalam masyarakat “post-sekuler” sejatinya bisa dikatakan “hanya ramai diartikulasi” kesalehan individual, tetapi “sepi dalam kesalehan sosial” apalagi membasmi kemungkaran sosial. Terlalu banyak manipulasi dalam beragama. Terlalu sering agama itu dijadikan mesin penarik uang dari para pemimpinnya. Masih terlalu banyak umat beragama (Muslim) sebagai mayoritas yang tak dapat menikmati “kebahagiaan hidup” bersama keluarganya karena kekurangan makanan sehat dan biaya menyekolahkan anaknya, serta terlalu banyak keluarga miskin yang hidup serba kekurangan.

Hal-hal yang negatif dalam penulisan opini yang berjudul masyarakatpost-sekuler adalah kurang fokus apa yang dibicarakan sehingga yang dimaksud dengan post-sekuler itu belum muncul pengertian yang jelas mengenai dengan masyarakat Indonesia. Tulisannya sulit dipahami untuk masyarak, terlalu banyak bahasa Inggris sehingga sulit dipahami. Tulisannya hanya membahas permasalahan saja, tetapi belum ada solusinya yang diberikan dalam opini.   

Hal-hal yang positif dalam penulisan opini yang berjudul “post-sekuler”, adalah sebagai berikut:
1.      Mengingatkan kita mengenai masyarakat yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
2.      Masyarakat agama dalam kondisi modern senantiasa berhubungan dengan ekonomi, bentuk keagamaan, ritualitas serta komodifikasi agama.
3.      Dalam opini ini, sudah memberikan beberapa contoh yang nyata dalam agama mengenai masyarakat dalam kritik sosial dalam kehidupan yang nyata.
4.      Opini sudah memberikan contoh yang nyata dalam kehidupan beragama terutama dalam masyarakat post-sekuler di Indonesia.

Sumber:
Qodir, Z. (2017). Masyarakat “Post-Sekuler). Kompas, 30 Mei, Halaman 7.

 

  

0 komentar:

Posting Komentar