RESENSI ARTIKEL:
MASYARAKAT “POST-SEKULER”
TUGAS MATA
KULIAH: PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
NAMA:
I R W A N T O
NIM.
163104101125
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI UMUM
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Fenomena kehidupan keagamaan
di negeri ini tak dimungkiri semakin marak. Semarak orang pergi ke gereja,
pura, wihara, kelenteng, serta mesjid tidak terbantahkan. Sebagai masyarakat,
bangsa ini secara artikulatif tampak kasatmata: semakin religious, bukan makin sekuler, inilah masyarakat “post sekuler”. Masalahnya,
kemakinsemarakan aktivitas artikulasi keislaman (keagamaan) yang terjadi di
negeri ini adakah berhubungan dengan internalisasi dan obyektivikasi nilai
keagamaan yang dianut masyarakat, perlu mendapat serius kaum agamawan. Ada
pesan kuat bahwa keagamaan di negeri ini sebenarnya masih bersifat formalistis,
bukan substansialistis.
Keagamaan masyarakat kita
adalah keagamaan yang simbolis, bukan esensialistis. Beragama, tetapi puas
dengan simbol, atribut, serta berbagai aksesori yang tak jarang sekadarmenyenangkan
pihak lain untuk member pujian, serta kepuasan aksesoris semata pada para
penganutnya. Inilah abu dari agama,
bukan api agama yang jadi pengangan
kaum beragama. Kaum agama dalam masyarakat “post-sekuler”,
dikatakan Bryan S. Turner, merupakan fenomena keagamaan yang tak jarang “berbalut kemarahan dan kerakusan”.
Mereka beragama, tetapi kurang menghayati nilai substansial agama itu sendiri.
Selain itu, kaum beragama juga tak peduli kesensaraan orang lain sehingga
perilakunya tak sederhana, secukupnya sesuai dengan kebutuhan hidupnya, tak
mengambil hak orang lain, menipu serta memanipulasi keagamaan dengan bungkus
kesalehan simbolis. Orang beragama, tetapi tak dapat merasa cukup dengan yang
telah diperoleh. Orang beragama tak pernah puas dengan ibadah umrah tiga kali
sebagaimana contoh Nabi Muhammad dan haji satu kali saja. Orang muslim tiap
bulan menjalankan umrah sebagai bagian dari artikulasi kesalehan tanpa batas.
Inilah sebenarnya beragama, tetapi dalam kerakusan yang nyata. Bukan hanya rakus
harta benda, tetapi rakus akan hak orang lain sehingga orang lain tak dapat
menikmati kesejahteraan dan kenikmatan yang selalu dimiliki oleh kelas menengah
Muslim Indonesia.
Beragama “formalistis” inilah fenomena mutakhir
dari keagamaan kaum “post-sekuler”.
Orang tak mencari-cari keagamaan yang spiritualitas, tetapi “puas dengan
keagamaan” yang artikulatif sekalipun semu dan nihil akan kritik sosial. Di
kalangan umat muslim, misalnya banyaknya aktivitas doa bersama, jemaah duha,
jemaah majelis taklim, jemaah haji dan umrah, serta jemaah sedekah rombongan
tak berbanding positif dengan pengangguran kemiskinan, kebodohan serta
kejahatan yang dibuat kaum beragama. Ini menandakan kaum beragama yang tampak
rajin di satu pihak tak berhubungan dengan berkurangnya fenomena kemungkaran
sosial yang juga di kerjakan kaum beragama.
Kekerasan orang tua terhadap
anaknya, pemerkosaan seorang guru terhadap siswa, kejahatan para siswa terhadap
sesama siswa, serta kejahatan para guru ngaji “gadungan” atas jemaah adalah bukti otentik jika kaum beragama dalam
masyarakat “post-sekuler” sejatinya
bisa dikatakan “hanya ramai diartikulasi”
kesalehan individual, tetapi “sepi dalam
kesalehan sosial” apalagi membasmi kemungkaran sosial. Terlalu banyak
manipulasi dalam beragama. Terlalu sering agama itu dijadikan mesin penarik
uang dari para pemimpinnya. Masih terlalu banyak umat beragama (Muslim) sebagai
mayoritas yang tak dapat menikmati “kebahagiaan
hidup” bersama keluarganya karena kekurangan makanan sehat dan biaya
menyekolahkan anaknya, serta terlalu banyak keluarga miskin yang hidup serba
kekurangan.
Hal-hal yang
negatif dalam penulisan opini yang berjudul masyarakat “post-sekuler adalah kurang fokus apa yang dibicarakan sehingga yang
dimaksud dengan post-sekuler itu
belum muncul pengertian yang jelas mengenai dengan masyarakat Indonesia. Tulisannya
sulit dipahami untuk masyarak, terlalu banyak bahasa Inggris sehingga sulit
dipahami. Tulisannya hanya membahas permasalahan saja, tetapi belum ada
solusinya yang diberikan dalam opini.
Hal-hal yang
positif dalam penulisan opini yang berjudul “post-sekuler”, adalah sebagai
berikut:
1. Mengingatkan kita mengenai
masyarakat yang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda tetapi tetap satu
jua.
2. Masyarakat agama dalam
kondisi modern senantiasa berhubungan dengan ekonomi, bentuk keagamaan,
ritualitas serta komodifikasi agama.
3. Dalam opini ini, sudah
memberikan beberapa contoh yang nyata dalam agama mengenai masyarakat dalam
kritik sosial dalam kehidupan yang nyata.
4. Opini sudah memberikan
contoh yang nyata dalam kehidupan beragama terutama dalam masyarakat
post-sekuler di Indonesia.
Sumber:
Qodir, Z. (2017). Masyarakat
“Post-Sekuler). Kompas, 30 Mei, Halaman 7.
0 komentar:
Posting Komentar