RESENSI ARTIKEL:
SENGKARUT REGULASI DOSEN
TUGAS MATA
KULIAH: PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
NAMA:
I R W A N T O
NIM.
163104101125
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI UMUM
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Di antara banyak faktor,
keterbelengguan dosen terhadap berbagai hal “remeh-remeh” yang bersifat
administratif-birokratis adalah penyebab utama. Saat ini banyak regulasi dosen
yang saling tumpang tidih, menengasinya, dan ujung-ujungnya mengancam
produktivitas dosen. Banyaknya regulasi itu ternyata tidak ekuivalen dengan
tingkat produktivitas ilmiah mereka.
Diketahui dari situs olahan
publikasi ilmiah Scimago (Scimagojr.com) yang mengukur tingkat produktivitas
ilmiah di 239 negara sejak 1996-2014, Indonesia menempati peringkat ke-57,
dengan jumlah publikasi 32.355. di level ASEAN, Indonesia masih kalah
dibandingkan dengan Malaysia (peringkat ke-36 dengan jumlah publikasi 153.378),
Singapura (peringkat ke-32 dengan publikasi 192.942), dan Thailand (peringkat
ke-43 dengan publikasi 109.832. Indonesia hanya menang dari Vietnam (peringkat
ke-66), Laos (137), Kamboja (124), Myanmar (142), Brunei (130), dan Timor Leste
(204).
Berbagai regulasi yang
mengatur kinerja dosen pada awalnya mungkin dimaksudkan untuk meningkatkan mutu
dosen. Ada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, PP No. 37/2009
tentang dosen, dan PP No.53/2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil. Belum
lagi berbagai peraturan di bawah UU dan PP, seperti peraturan menteri dan
peraturan dirjen.
Meski demikian, alih-alih
dapat membuat dosen produktif dan inovatif, berbagai regulasi tersebut justru
menjadi semacam intervensi Negara terhadap dosen yang menyandera dan
membelenggu kreativitas akademik. Sebagai contoh, ketentuan Tri Dharma
Perguruan Tinggi sebagaimana diatur dalam PP No.37/2009, seperti “kotak kecil”
yang memaksa setiap dosen masuk ke dalam skema tersebut, tanpa melihat
keunggulan, talenta dan keistimewaan masing-masing individu.
Mengatasi situasi di atas,
saya menawarkan alternatif solusi sebagai berikut: (1) pemerintah harus membuat
adendum terhadap PP No 53/2010 tentang PNS agar dosen dikecualikan dari PNS
kebanyakan. Dosen tidak semestinya diperlakukan sama dengan PNS lain, seperti
pegawai pemerintah provinsi, kabupaten/kota atau petugas kesehatan yang jam
kerjanya ditentukan secara kaku, ketat dan mekanistik, (2) mengeluarkan dosen
dari skema PNS dan digantikan dengan skema kontrak (tenure ship) tetapi dengan hak-hak yang sama dengan PNS, seperti
jaminan kesehatan dan pensiun sebagaimana telah diterapkan di banyak PT kelas
dunia. Dengan skema semacam ini, dosen bisa berkonsentrasi pada tugas-tugas
akademiknya sebagai produsen ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, skema
semacam ini dapat menciptakan sense of
competition di kalangan dosen untuk melahirkan berbagai terobosan dan
inovasi ilmiah. Skema semacam itu juga memungkinkan dosen melakukan mobilitas
horizontal di berbagai kampus yang disukainya. Jika dosen merasa jenuh dengan
kondisi kampus tempat dia mengajar, dia bisa saja keluar dan melamar ke
universitas lain yang dipilihnya, dan (3) menghilankan aturan-aturan yang
bersifat penyeragaman dan membuka seluas luasnya diversifikasi peran dosen di
PT. selama ini dosen tidak bisa bergerak leluasa di luar kerangka tridarma
(pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat). Di
sejumlah PT terkemuka di dunia, seseorang disebut sebagai staff member (baca: dosen) jika dia menjalankan salah satu dari
fungsi berikut ini: (a) mengajar saja; (b) meneliti dan menulis saja; (c)
mengajar dan menulis dengan komposisi tidak seragam: (d) menjadi unsur
pimpinan; dan (e) petugas proyek (project
manager) yang hanya mencarikan peluang kerja sama dan bisnis yang dapat
menambah pundi-pundi revenue universitas.
Di atas itu semua, seluruh
regulasi semestinya mengapresiasi segala bentuk keunikan dan kekhasan
pengembangan keilmuan di PT sebagai sebuah institusi yang otonom. Otonomi
kampus tidak boleh diintervensi kebijakan-kebijakan Negara yang dapat
mengerdilkan prestasi akademik dosen. Selama kebijakan Negara terhadap kehidupan
kampus, didorong oleh semangat “mendisiplinkan”, jangan harap PT kita akan
berperan maksimal dalam menghasilkan berbagai terobosan dan inovasi ilmiah
bertaraf internasional.
Hal-hal
yang negatif dalam penulisan opini yang berjudul sengkurat regulasi dosen adalah
terlalu luas pembahasannya sehingga apa yang disampaikan di dalam opini
sepertinya suatu wacana yang bersifat negatif semua tentang tugas dosen
tersebut. Seharusnya fokus dalam satu permasalahan saja sehingga jelas apa yang
di sampaikan dalam opini tersebut. Serta memberikan satu contoh nyata mengenai
PT yang di anggap berhasil dalam kinerja dosen, bukan secara wacana yang
disampaikan ke pada masyarakat pada umumnya. Dalam opini ini regulasi dosen
yang dibicarakan hanya negatif saja sehingga seolah-olah regulasi dosen di
Indonesia semuanya negatif mengenai kinerja di PT tersebut.
Hal-hal yang
positif dalam penulisan opini yang berjudul “sengkurat regulasi dosen”, adalah
sebagai berikut:
1. Semoga saja pemerintah
mendengarkan koluhan mengenai kinerja dosen di Indonesia tersebut.
2. Dalam opini menarik di baca
karena dikaitkan dengan UU guru dan dosen, apalagi dilengkapi dengan data
kinerja PT di ASEAN.
3. Dalam wacana opini ini, juga
menyoroti bahwa dosen seharusnya di berikan kebebasan untuk mengembangkan
kreativitasnya masing-masing, jangan di batasi produktivitas dosen di suatu PT
tersebut.
4. Mengharapkan kipra dosen di
pentas akademik dunia dalam proses produksi IPTEK.
5. Dosen bukan hanya mengajar
di dalam kelas, tetapi memberikan suatu bukti bahwa dosen itu merupakan suatu
asset PT untuk bisa mengembangkan kreativitas melalui pengabdian masyarakat.
Sumber:
Hilmy, M. (2016). Sengkarut
Regulasi Dosen. Kompas, 19 Mei, Halaman 7.
0 komentar:
Posting Komentar