RESENSI ARTIKEL:
ERA BARU PERPAJAKAN
TUGAS MATA
KULIAH: PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
NAMA:
I R W A N T O
NIM.
163104101125
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI UMUM
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Tak sekadar berlindung di
Negara suaka pajak (tax haven) yang
kerap disebut rezim kerahasiaan, perusahaan-perusahaan multinasional berlaku
lancing dengan merancang skema penghindaran pajak supercanggih yang pada
akhirnya menggerus hak Negara dan juga rakyatnya, akan pendapatan pajak. Gejala
global yang merisaukan itu disebut stateless income (penghasilan tak bertuan)
untuk menandai betapa sulitnya menentukan hak dan cara memajaki.
Di awal tahun 2000 dengan
tax information Exchange Agreements (TIEA), proyek menangkal penghindaran pajak
agresif dimulai. Namun, sepanjang 2000-2012, banyaknya Negara yang terlibat
dalam perjanjian bilateral untuk bertukar informasi keuangan bukannya
menyurutkan penghindaran, melainkan justru menyebabkan penghindaran pajak
membiak dan merajalela. Salah satu penyebabnya adalah skema pertukaran on
request (atas permintaan) yang pasif dan rawan ditelikung oleh Negara mitra.
Tentu saja ini menjadi
penanda dimulainya era baru perpajakan, yang meninggalkan rezim kerahasiaan
menuju rezim keterbukaan. Lebih dari itu, luasnya partisipan aktif atas
inisiatif global ini menandai babak baru kerja sama perpajakan yang saling
menguntungkan. Salah satu faktor kunci kesuksesan amnesty pajak adalah
partisipasi Indonesia dalam program pertukaran informasi otomatis pada tahun
2018 sehingga tidak menyediakan pilihan bagi wajib pajak selain jujur dan
patuh.
Meski akan terus
disempurnakan dan akan mencakup informasi tentang dividen, bunga, royalty,
gaji, pensiun, perubahan kewarganegaraan, restitusi pajak dan lainnya di tahap
awal ini yang bisa dipertukarkan adalah data keuangan berupa identitas nasabah,
lembaga keuangan penyimpan dan nomor rekening, serta informasi keuangan berupa
nilai simpanan, bunga dan pendapatan lainnya. Pencapaian deklarasi harta dan
uang tebusan dinilai cukup berhasil dan termasuk yang terbaik di dunia. Hanya
saja, repatriasi yang menjadi tujuan utama program ini justru seret. Baru
sekitar Rp. 143 triliun komitmen repatriasi, jauh di bawah target Rp. 1000
triliun.
Saat melirit data amnesty,
terbabar dua hal yaitu: (1) ini, wajah lemahnya sistem administrasi perpajakan
kita karena sangat besar harta domestic yang selama ini tak dilaporkan dan
tidak terjangkau. (2) problem ketimpangan juga terkonfirmasi karena 2,5 persen
peserta amnesty pajak mencerminkan 60 persen kepemilikan harta. Ini menjadi
pekerjaan rumah untuk mengoptimalkan fungsi pajak sebagai instrumen yang
efektif dalam meredistribusi kekayaan dan pendapatan.
Dalam pacuan waktu, rencana
pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) layak diapresiasi dan didukung penuh. Perppu yang secara efektif
mengubah pasal-pasal yang menghambat bimplementasi AEOI, sekaligus meletakkan
dasar baru bagi pembangunan infrastruktur yang memadai. Tak kalah penting, sisi
lain dari tuntutan transparansi adalah akuntabilitas. Harus ada jaminan bagi
masyarakat bahwa privasinya dijamin, terlebih jika mereka sudah taat pajak.
Sistem akuntabilitas yang berintegritas tinggi harus dibangun dan segala bentuk
penyimpangan serta penyalagunaan data harus dihukum berat, demi merawat
kepercayaan publik. Kekhawatiran ini tentu saja beralasan dan dapat dimaklumi.
Memasuki era baru
perpajakan, dibutuhkan perubahan paradigma seluruh elemen bangsa, termasuk para
pejabat Negara, pegawai pajak, pegawai sektor keuangan, penegak hukum dan
masyarakat wajib pajak. Sebagai inisiatif global, AEOI juga menuntut perubahan
corak keterbukaan domestikagar penggalian potensi pajak lebih optimaldan
perbankan dalam negeri tidak justru menjadi tempat persembunyian baru bagi
wajib pajak dalam negeri.
Kini, tidak ada lagi opsi
untuk berkelana dan mencari suaka bagi penghindaran pajak. Selagi masih ada
waktu, mari bersiap dengan memanfaatkan amnesti pajak dan berbenah seraya
mengakrabi slogan “jika jujur, jangan takut hancur, kalau patuh, tak perlu
rikuh”.
Hal-hal yang negatif dalam penulisan opini
yang berjudul era baru perpajakan adalah dalam opini seharusnya di jelaskan
terlebih dahulu hukum dan persyaratan perpajakan dalam suatu pekerjaan,
sehingga para pembaca lebih paham mengenai arti pentingnya membayar pajak.
Belum ada sansi yang melanggar pajak dan korupsi di dalam kantor perpajakan,
Cuma memberikan secara umum saja mengenai pelanggaran korupsi tidak ada
kepastian pelanggaran tersebut.
Hal-hal yang
positif dalam penulisan opini yang berjudul “era baru perpajakan”, adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan wawasan mengenai
wacana perpajakan, sehingga masyarakat lebih taat lagi membayar pajak tersebut.
2. Penjelasannya mudah dipahami
karena di sertai beberapa analisis data yang terjadi di lapangan.
3. Di utamakan kejujuran dalam
melaksanakan tugas di kantor perpajakan, karena sangat riskan terjadi korupsi
bagi pegawai pajak itu sendiri.
4. Pelanggaran yang terjadi di
kantor pajak, seharusnya memberikan hukuman yang setimpal bagi pegawai yang
melanggarnya.
Sumber:
Prastowo, Y. (2017). Era Baru Perpajakan. Kompas, 7 Maret, Halaman 6.
0 komentar:
Posting Komentar