BULLYING VS EMPATI
NAMA : RATIH SETIYANINGSIH
NIM : 16.310.410.1140
MATA KULIAH:
PSIKOLOGI SOSIAL
BULLYING di lingkungan sekolah
merupakan topik yang menarik perhatian semua lapisan masyarakat, baik ahli
pendidikan, akademisi, orangtua, masyarakat maupun siswa itu sendiri.
Beberapa
tahun yang lalu, kata bullying masih terdengar asing di telinga masyarakat
awam, sampai kemudian beberapa kejadian bullying terungkap di berbagai kota.
Sekarang, kata bullying mulai banyak digunakan oleh generasi muda menjadi
sebuah candaan, “bully-bully: (baca:buli-buli). Mereka menggunakan kosakata
tersebut ketika sedang bercanda, khususnya menggambarkan ketika seseorang
dipojokkan oleh teman-temannya.
Penekanan
pada tindakan yang negatif membuat bullying berkonotasi dengan tindakan yang
dilakukan secara sengaja untuk memberikan perasaan tidak nyaman pada orang
lain. mencaci, merendahkan, mencela, memberikan julukan, menedang, mendorong,
memukul, meminta uang (merampas, memalak) , menghindar, menolak untuk berteman
merupakan bentuk – bentuk nyata dalam tindakan bullying.
Menurut
Hurlock(1999:188), empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang
perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri
di tempat orang lain. terjadinya kasus bullying sebagai bukti kurangnya bahkan
tidak ada rasa empati terhadap korban bullying pada diri siswa baik yang berperan
sebagai pelaku maupun penonton bullying. Hal itu dapat dilihat pada
karakteristik dari pelaku dan penonton bullying itu sendiri.
Menurut Rigby (2002), definisi
tindakan bullying, yaitu berulangnya tindakan negative dan ketidakseimbangan
kekuatan yang dimiliki antara korban dengan pelaku. Ketidakseimbangan ini dapat
terlihat dari perbedaan secara fisik maupun posisi, namun dapat pula terjadi
secara mental. Ketidakseimbangan dapat pula berupa ketidakseimbangan kemampuan
verbal dalam melakukan tindakan negative terhadap anak kurang secara verbal
sehingga anak ini tidak dapat membantah atau melindungi dirinya sendiri.
Ketidakseimbangan ini memosisikan korban sebagai pihak yang tidak berdaya dan
tidak dapat melakukan apa-apa sehingga aksi negative yang diberikan oleh pelaku
tidak dapat dihindari.
Menurut
Farrington (1993), memperjelas definisi mengenai bullying sebagai sebuah
penindasan berulang dari orang yang memiliki kekuatan kepada seseorang yang
lebih lemah.
Lebih
jauh lagi, menurut Joliffe & Farrington (2010), menjelaskan bahwa alasan
pelaku bullying umumnya memiliki empati yang rendah dikarenakan individu
tersebut melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampak perilakunya. Mereka juga
kesulitan memahami perasaan orang lain. rendahnya kemampuan tersebut mencegah
orang untuk melakukan tindakan prososial.
Jika
dilihat dalam konsep kecerdasan emosi maka pelaku bullying memiliki nilai yang
rendah dalam dimensi memahami emosi orang lain.
Hal
ini dapat dikatakan sejalan dengan konsep empati karena inti dari konsep empati
merupakan proses “memahami” (Lomas, Stough, Hansen, & Downey, 2011, In Press).
Perilaku yang popular di kalangan
remaja saat ini adalah memojokkan siswa baru atau adik kelas. Niat ini sering
kali disamarkan dengan ungkapan keinginan mereka untuk “mengajari” adik kelas
perihal perilaku sopan santun di dalam sekolah. Tak heran tindakan bullying
sering kali tidak terdeteksi oleh pihak sekolah. Dalam sebuah sekolah di
Jakarta, tindakan bullying ternyata telah menjadi tradisi yang mengakar dari generasi
ke generasi lainnya. Beberapa tradisi bullying dalam sekolah tersebut ternyata
memiliki konsekuensi yang cukup bervariasi, dari memar hingga gagar otak.
Hal yang sebenarnya sangat dibutuhkan
oleh orang korban bullying adalah empati dari pelaku dan penonton bullying. Jika
saja pelaku bullying dapat berempati dengan membayangkan jika dirinya berada
pada posisi korban bullying, dia tidak akan sudi mendapat perlakuan yang tidak
mengenakkan bahkan merugikan dirinya, oleh karena itu tidak mungkin ia
melakukan bullying terhadap temannya maupun membiarkan temannya di-bully.
Perlu
banyak upaya agar tindak kekerasan maupun bullying tidak terjadi. Salah satu
upayanya adalah dengan menumbuhkan rasa empati yang ditanamkan pada diri siswa
atau remaja terhadap temannya yang menjadi korban bullying.
DAFTAR
PUSTAKA :
Hurlock,
Elizabeth. (1999). Perkembangan Anak.
Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi
Keenam. Jakarta:Erlangga.
Istiqomah,
Nurul Ayu. (2012). Psikologi Untuk
Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,63-73.
0 komentar:
Posting Komentar