22.4.17

ARTIKEL PSIKOLOGI SOSIAL : BULLYING VS EMPATI

BULLYING VS EMPATI



NAMA             : RATIH SETIYANINGSIH
NIM                 : 16.310.410.1140
MATA KULIAH: PSIKOLOGI SOSIAL


BULLYING di lingkungan sekolah merupakan topik yang menarik perhatian semua lapisan masyarakat, baik ahli pendidikan, akademisi, orangtua, masyarakat maupun siswa itu sendiri.
Beberapa tahun yang lalu, kata bullying masih terdengar asing di telinga masyarakat awam, sampai kemudian beberapa kejadian bullying terungkap di berbagai kota. Sekarang, kata bullying mulai banyak digunakan oleh generasi muda menjadi sebuah candaan, “bully-bully: (baca:buli-buli). Mereka menggunakan kosakata tersebut ketika sedang bercanda, khususnya menggambarkan ketika seseorang dipojokkan oleh teman-temannya.
Penekanan pada tindakan yang negatif membuat bullying berkonotasi dengan tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk memberikan perasaan tidak nyaman pada orang lain. mencaci, merendahkan, mencela, memberikan julukan, menedang, mendorong, memukul, meminta uang (merampas, memalak) , menghindar, menolak untuk berteman merupakan bentuk – bentuk nyata dalam tindakan bullying.
Menurut Hurlock(1999:188), empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. terjadinya kasus bullying sebagai bukti kurangnya bahkan tidak ada rasa empati terhadap korban bullying pada diri siswa baik yang berperan sebagai pelaku maupun penonton bullying. Hal itu dapat dilihat pada karakteristik dari pelaku dan penonton bullying itu sendiri.
            Menurut Rigby (2002), definisi tindakan bullying, yaitu berulangnya tindakan negative dan ketidakseimbangan kekuatan yang dimiliki antara korban dengan pelaku. Ketidakseimbangan ini dapat terlihat dari perbedaan secara fisik maupun posisi, namun dapat pula terjadi secara mental. Ketidakseimbangan dapat pula berupa ketidakseimbangan kemampuan verbal dalam melakukan tindakan negative terhadap anak kurang secara verbal sehingga anak ini tidak dapat membantah atau melindungi dirinya sendiri. Ketidakseimbangan ini memosisikan korban sebagai pihak yang tidak berdaya dan tidak dapat melakukan apa-apa sehingga aksi negative yang diberikan oleh pelaku tidak dapat dihindari.
Menurut Farrington (1993), memperjelas definisi mengenai bullying sebagai sebuah penindasan berulang dari orang yang memiliki kekuatan kepada seseorang yang lebih lemah.
Lebih jauh lagi, menurut Joliffe & Farrington (2010), menjelaskan bahwa alasan pelaku bullying umumnya memiliki empati yang rendah dikarenakan individu tersebut melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampak perilakunya. Mereka juga kesulitan memahami perasaan orang lain. rendahnya kemampuan tersebut mencegah orang untuk melakukan tindakan prososial.
Jika dilihat dalam konsep kecerdasan emosi maka pelaku bullying memiliki nilai yang rendah dalam dimensi memahami emosi orang lain. 
Hal ini dapat dikatakan sejalan dengan konsep empati karena inti dari konsep empati merupakan proses “memahami” (Lomas, Stough, Hansen, & Downey, 2011, In Press).

Perilaku yang popular di kalangan remaja saat ini adalah memojokkan siswa baru atau adik kelas. Niat ini sering kali disamarkan dengan ungkapan keinginan mereka untuk “mengajari” adik kelas perihal perilaku sopan santun di dalam sekolah. Tak heran tindakan bullying sering kali tidak terdeteksi oleh pihak sekolah. Dalam sebuah sekolah di Jakarta, tindakan bullying ternyata telah menjadi tradisi yang mengakar dari generasi ke generasi lainnya. Beberapa tradisi bullying dalam sekolah tersebut ternyata memiliki konsekuensi yang cukup bervariasi, dari memar hingga gagar otak.
Hal yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh orang korban bullying adalah empati dari pelaku dan penonton bullying. Jika saja pelaku bullying dapat berempati dengan membayangkan jika dirinya berada pada posisi korban bullying, dia tidak akan sudi mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan bahkan merugikan dirinya, oleh karena itu tidak mungkin ia melakukan bullying terhadap temannya maupun membiarkan temannya di-bully.
Perlu banyak upaya agar tindak kekerasan maupun bullying tidak terjadi. Salah satu upayanya adalah dengan menumbuhkan rasa empati yang ditanamkan pada diri siswa atau remaja terhadap temannya yang menjadi korban bullying.


DAFTAR PUSTAKA :
Hurlock, Elizabeth. (1999). Perkembangan Anak. Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi Keenam. Jakarta:Erlangga.
Istiqomah, Nurul Ayu. (2012). Psikologi Untuk Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta:Pustaka Pelajar,63-73.





0 komentar:

Posting Komentar