KRISIS MEMANUSIAKAN MANUSIA DAN
MANTAN TERORIS YANG KEMBALI KE “HABITAT LAMA”
Ana Istiqomah (16.310.410.1126)
Psikologi Sosial 1
Dalam media massa, baik koran maupun
yang lainnya, tak jarang kita mendapati berita mengenai terorisme yang terjadi
di suatu daerah. Kekejaman yang tergambar dalam berita tersebut kadang membuat
kita bergidik ngeri. Bagaimana bisa, seorang manusia melakukan hal yang begitu
tega dan kejam seperti itu terhadap manusia lain? Namun, jarang ada yang
bertanya apa sebab mereka melakukan hal itu. Terlebih, mereka yang sudah pernah
merasakan dinginnya lantai penjara dan kekejaman yang mungkin saja terjadi di
dalamnya. Mengapa bisa tidak kapok dan
malah kembali pada “habitat lama” mereka?
Terorisme menurut KBBI, ialah penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Hukuman
penjara adalah salah satu hukuman yang dijatuhkan pada narapidana terorisme ini
selain hukuman mati.
Penjara adalah institusi negara yang
mencabut secara paksa sebagian hak narapidana terorisme sebagai individu yang
merdeka. Mereka menjadi pesakitan dan didudukkan di lantai terbawah dalam
piramida sosial masyarakat. Hukum rimba yang bekerja dalam penjara membuat mereka
merasakan diskriminasi. Bila mereka masuk golongan yang lemah, maka mereka akan
ditindas dan sebaliknya.
Setelah keluar dari penjara, tak banyak
masyarakat yang mau menerima mereka. Ini merupakan salah satu bentuk
diskriminasi lain yang mereka dapatkan. Self-esteem,
self-worth dan well-being yang
rendah membuat mereka merasa terjepit. Ingatlah bahwa mereka tetaplah makhluk
sosial yang membutuhkan ketiga hal tersebut. Keadaan seperti inilah yang
mendorong sebagian dari mereka untuk kembali pada “habitat lama” mereka. Karena
di sana mereka merasa diakui, dihargai dan mendapat dukungan baik secara sosial
maupun finansial, bahkan malah bisa menjadi pimpinan.
Sesuai dengan teori Karen Horney (1939) “manusia tidak hanya diatur oleh prinsip kesenangan saja, tetapi oleh dua
prinsip, yaitu keamanan dan kepuasan.” Masalah kejiwaan bukan merupakan akibat
dari insting melainkan akibat dari “usaha seseorang mencari jalan agar dapat
melalui jalan yang penuh rintangan.” Keadaan tersebut diciptakan oleh
lingkungan sekitar dan bukan oleh insting atau anatomi.
Manusia diciptakan dengan kemampuan id, ego, dan super-ego untuk menghadapi masalah-masalah mereka dan menentukan
suatu pilihan. Namun, tak hanya dari faktor internal saja sebuah keputusan
diambil, faktor eksternal pun memiliki andil didalamnya. Ketika masyarakat tak
memberikan apa yang dibutuhkannya, sementara “habitat lama” lebih menjanjikan,
maka pilihan untuk kembali pun menjadi pertimbangan teratas mereka.
Contoh kasus, seperti yang terjadi pada narapidana
Juhanda (pelaku pengeboman Gereja di Samarinda) yang kembali ke jaringan
lamanya. Sebelumnya ia sudah pernah mendekam di penjara setelah melakukan
pengeboman di Serpong (2011). Hal ini karena ia mendapatkan dukungan ketika ia
kembali ke “habitat lama”nya.
Krisis memanusiakan manusia ternyata memiliki dampak yang
cukup mengerikan bagi umat. Lebih ngerinya lagi, kita sering tidak sadar bahwa
kita juga memiliki andil didalamnya. Sudah saatnya kita kembali mengasah
“kemampuan memanusiakan manusia” kita lagi demi kehidupan yang lebih
berkualitas dan tentu saja demi perdamaian dan keamanan.
Daftar Pustaka:
Gerungan, W. A.. (2010). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
Rahardanto, Michael S.. Mengkaji sejumlah kemungkinan penyebab tindak
terorisme: kajian sosio-klinis. (Online) (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=113820&val=5214,
diakses 05/04/2017.)
0 komentar:
Posting Komentar