22.4.17

Artikel: Buah Dari Sebuah Label

BUAH DARI SEBUAH LABEL
Ana Istiqomah (16.310.410.1126)
Psikologi Sosial 1
“Budaya Timur” yang seharusnya menjadi kebanggaan orang Indonesia seakan luntur tergerus arus globalisasi dan kecanggihan teknologi. Bahkan, hubungan antar manusia juga semakin canggih –free sex. Alih-alih menjunjung tinggi budaya dan norma yang berlaku, banyak dari kita yang terlena dangan hedonisme budaya Barat. Menuruti keinginan nafsu yang selalu pada jalan “kesenangan”, hingga lahirlah sebutan “anak haram”.
 Sebenarnya, dari zaman dulu memang sudah ada kejadian-kejadian yang menyebabkan lahirnya sebutan itu, hanya saja sekarang keadaannya semakin memprihatinkan. Terlebih hal seperti itu sudah seperti “hal yang dimaklumi”. Dengan kepedulian sosial yang rendah –wajar, karena persaingan perihal bertahan hidup saat ini cukup sulit- orang tak mau repot-repot ikut campur urusan orang lain. Namun, sebaliknya, bila perilaku/kegiatan itu menimbulkan hal buruk, tak segan orang akan memberikan penghakiman. Ironis. Terlebih, sasarannya salah, alih-alih cukup orangtuanya saja, namun anak yang masih suci itu pun terciprat “lumpur” orangtuanya.
Manusia terlahir sebagai makhluk sosial. Ia membutuhkan pergaulan untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain itu, menurut Freud superego manusia sudah mulai dibentuk ketika usia 5-6 tahun dan terus berkembang selama manusia itu masih hidup. Tanpa pergaulan sosial, manusia tak dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya. 
Label yang diberikan untuk seorang anak yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah merupakan sebuah ketidakadilan. Bagaimana bisa, dihari pertama kelahirannya ia sudah mendapat hukuman yang tak pernah ia lakukan?
Sebutan “anak haram” memiliki efek yang tak main-main. Salah satu diantaranya, anak akan dikucilkan dari pergaulan sosialnya. Pelabelan seperti itu juga akan mempengaruhi kepribadian anak, juga perkembangan superegonya. Minder dan kecewa menjadi salah satu yang mendominasi. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, sehingga hukuman sosial seperti itu merupakan hukuman berat. Terlebih, kesalahan itu bukan si anak yang melakukan.
Label seperti itu dapat menjerumuskan anak ke dalam hal-hal yang negatif. Terutama bagi anak yang sudah beranjak dewasa. Karena terlanjur merasa tak dibutuhkan, bahkan tak berharga, ia terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Melampiaskan segala kecewanya pada narkoba maupun minuman keras. Mencari hiburan demi kesenangannya sendiri dalam club malam. Hingga tak sadar, ia mengulangi kesalahan orangtuanya. Begitu seterusnya.
Sudah banyak contoh kasus yang bermula dari sebuah label. Namun, kita sering tak sadar bahwa kita juga berkontribusi di dalamnya. Entah kita sadar apa yang telah kita lakukan atau tidak, namun menghakimi sepertinya merupakan sebuah kegiatan yang “menyenangkan”. Karena kebanyakan, manusia hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.

Daftar pustaka
Gerungan, W. A.. (2010). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.

0 komentar:

Posting Komentar