BUAH DARI SEBUAH LABEL
Ana Istiqomah (16.310.410.1126)
Psikologi Sosial 1
“Budaya Timur” yang seharusnya menjadi
kebanggaan orang Indonesia seakan luntur tergerus arus globalisasi dan
kecanggihan teknologi. Bahkan, hubungan antar manusia juga semakin canggih –free sex. Alih-alih menjunjung tinggi
budaya dan norma yang berlaku, banyak dari kita yang terlena dangan hedonisme
budaya Barat. Menuruti keinginan nafsu yang selalu pada jalan “kesenangan”,
hingga lahirlah sebutan “anak haram”.
Sebenarnya,
dari zaman dulu memang sudah ada kejadian-kejadian yang menyebabkan lahirnya
sebutan itu, hanya saja sekarang keadaannya semakin memprihatinkan. Terlebih
hal seperti itu sudah seperti “hal yang dimaklumi”. Dengan kepedulian sosial
yang rendah –wajar, karena persaingan perihal bertahan hidup saat ini cukup
sulit- orang tak mau repot-repot ikut campur urusan orang lain. Namun,
sebaliknya, bila perilaku/kegiatan itu menimbulkan hal buruk, tak segan orang
akan memberikan penghakiman. Ironis. Terlebih, sasarannya salah, alih-alih
cukup orangtuanya saja, namun anak yang masih suci itu pun terciprat “lumpur”
orangtuanya.
Manusia terlahir sebagai makhluk sosial.
Ia membutuhkan pergaulan untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain
itu, menurut Freud superego manusia sudah mulai dibentuk ketika usia 5-6 tahun
dan terus berkembang selama manusia itu masih hidup. Tanpa pergaulan sosial,
manusia tak dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya.
Label yang diberikan untuk seorang anak
yang lahir dari hasil hubungan di luar nikah merupakan sebuah ketidakadilan. Bagaimana
bisa, dihari pertama kelahirannya ia sudah mendapat hukuman yang tak pernah ia
lakukan?
Sebutan “anak haram” memiliki efek yang
tak main-main. Salah satu diantaranya, anak akan dikucilkan dari pergaulan sosialnya.
Pelabelan seperti itu juga akan mempengaruhi kepribadian anak, juga
perkembangan superegonya. Minder dan kecewa menjadi salah satu yang
mendominasi. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, sehingga
hukuman sosial seperti itu merupakan hukuman berat. Terlebih, kesalahan itu
bukan si anak yang melakukan.
Label seperti itu dapat menjerumuskan
anak ke dalam hal-hal yang negatif. Terutama bagi anak yang sudah beranjak
dewasa. Karena terlanjur merasa tak dibutuhkan, bahkan tak berharga, ia terjerumus
ke dalam pergaulan bebas. Melampiaskan segala kecewanya pada narkoba maupun
minuman keras. Mencari hiburan demi kesenangannya sendiri dalam club malam.
Hingga tak sadar, ia mengulangi kesalahan orangtuanya. Begitu seterusnya.
Sudah banyak contoh kasus yang bermula
dari sebuah label. Namun, kita sering tak sadar bahwa kita juga berkontribusi
di dalamnya. Entah kita sadar apa yang telah kita lakukan atau tidak, namun
menghakimi sepertinya merupakan sebuah kegiatan yang “menyenangkan”. Karena
kebanyakan, manusia hanya melihat apa yang ingin mereka lihat.
Daftar pustaka
Gerungan, W. A.. (2010). Psikologi Sosial. Bandung: PT. Refika Aditama.
0 komentar:
Posting Komentar