SITI HANIFAH
(16.310.410.1151)
Psikologi Sosial
(16.310.410.1151)
Psikologi Sosial
Kesehatan mental tidak
hanya berhubungan dengan karekteristik individu dan rumah tangga, tetapi juga
dengan fitur-fitur sosial, konteks, dan ekologi dimana individu berada. Kota
memiliki bentuk, kepadatan, keragaman, dan pola interaksi sosial yang unik. Dan
sebuah tempat memiliki relevansi tertentu bagi warganya terkait dengan
kesehatan mental warganya. Wilayah perkotaan ditandai dengan kepadatan penduduk
yang tidak proporsional dan secara sosial memiliki banyak masalah (konsentrasi
warga miskin, tuna wisma, etnis minoritas, pendatang, dan sebagainya yang
mempunyai kebutuhan mental yang beragam). Kesehatan kota telah banyak dibahas
dalam bidang kesehatan masyarakat dan sosiologi, namun perhatian yang diberikan
bidang psikologi masih kurang memadai. Teori-teori psikososial dalam kerangka
ekologi kota sebenarnya bisa membantu memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang bagaimana kualitas ruang lingkungan yang berbeda mempengaruhi kesehatan
mental, sikap, dan perilaku warga (Fitzpatrick dan Lagory, 2003).
Menurut Krieger dkk
(2003), sebuah daerah miskin di wilayah perkotaan dapat dilihat dalam dua cara.
Yang pertama konteks, yaitu warga di daerah miskin memiliki kesehatan fisik dan
mental yang buruk karena konsentrasi kemiskinan menciptakan interaksi-interaksi
yang membahayakan. Yang kedua kondisi lingkungan, yaitu daerah miskin yang
memiliki sedikit fasilitas umum yang baik dan biasanya berdekatan dengan lokasi
industry sehingga memberikan dampak negative bagi kesehatan.
Oleh sebab itu,
kepadatan penduduk yang tinggi, populasi kendaraan, dan industry yang
menciptakan polusi udara, air, dan suara di perkotaan perlu mendapat perhatian
khusus. Selain itu, kemiskinan meningakatkan setres dan perasaan putus asa.
Studi menunjukkan bahwa status sosial ekonomi (SES) adalah predicator utama
dari berbagai masalah mental dengan korelasi yang negative, yaitu semakin
rendah SES maka akan semakin tinggi masalah mentalnya (Williams dan Collins,
2002). Dengan menggunakan model ekologi, Saegert dan Evans (2003) menjelaskan
bagaimana kemiskinan, pasar perumahan dan kebijakan perumahan menarik warga
miskin ke dalam sebuah ekologi kota penuh resiko yang mempengaruhi kesehatan
fisik secara langsung (misalnya polusi dan limbah) maupun tidak langsung melaui
stress yang dihasilkan lingkungan seperti itu dengan sumber daya yang sangat
rendah untuk mengatasinya. Studi ini juga menunjukkan bahwa masalah kematian
bayidan tindak kekerasan di wilayah perkotaan sama hebatnya dengan isu masalah
sosial dan diskriminasi ras.
Keluarga-keluarga
miskin mengalami penurunan kualitas, kekacauan lingkungan serta ketidaklayakan
hidup dan beberapa studi telah melihat efek kumulatif pada kondisi tersebut.
Evans dan Kantrowitz (2002) menjelaskan bahwa status kesehatan warga miskin
dapat dijelaskan dari kondisi lingkungan yang buruk. Ellen, Mijanovich, dan
Dilman (2001) menyimpulkan bahwa kualitas lingkungan yang buruk menurunkan
tingkat kesehatan mental melalui dua tahap, yaitu a) secara langsung akan
mempengaruhi perilaku, sikap, dan pemanfaatan layanan kesehatan, dan b)
penglumrahan yang secara jangka panjang berhubungan dengan akumulasi stress dan
sumber daya lingkungan yang terbatas.
Kondisi di atas akan
menciptakan generasi yang secara mental berkembang tidak sehat karena terbuang
dan tersingkir sehingga tidak lagi punya cita-cita dan akhirnya memiliki
pandangan yang negative terhadap hidup. Di Jakarta, kemiskinan bahkan memaksa
orang tua, (khususnya kaum pendatang) harus mempekerjakan anak-anak mereka pada
usia sangat muda di sektor-sektor informal dan kondisinya semakin parah ketika
anak-anak tersebut dieksploitasi menjadi pengemis hanya untuk sekedar bertahan
hidup. Anak-anak seperti ini akan mengalami gangguan kepribadian akibat
perkembangan mental yang tidak sehat. Sebagian menjadi agresif, hipervigilan (terlalu
curiga tak beralasan), dan tidak lagi mengindahkan moral dan etika yang
akhirnya menjadi bibit-bibit kriminalitas, sebagian lagi mengalami rendah diri
(inferior complex) kronis yang membuat mereka murung dan putus asa serta
kehilangan kegembiraan masa anak-anak yang sangat dibutuhkan dalam membangun
konsep diri dan nilai-nilai hidup. Ironisnya kota seakan tidak peduli sehingga
jumlah pengemis cilik pun semakin banyak. Untuk mengatasi isu ini, ahli
psikologi dapat memiliki peran penting untuk bekerja sama dengan professional
lainnya dalam meningkatkan kesehatan warga kota.
Untuk itu kita sebagai
warga Indonesia hendaknya saling kasih mengkasihi tidak pandang orang miskin
atau orang kaya mereka sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang berhak mendapatkan
perlakuan yang sama.
Referensi :
Halim, Deddy Kurniawan. (2008). Psikologi Lingkungan Perkotaan. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
0 komentar:
Posting Komentar