Manik Muthmain
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Menjadi pelatih fisika
Syahdan,
College of William and Marry, Virginia, Amerika Serikat, berkesempatan menjadi
tuan rumah ajang Olimpiade Fisika tingkat dunia pada tahun 1993. Terpilihnya
College of William and Mary sebagai tuan rumah mengalahkan Massachussetts
Institute of Technology, yang kala itu juga menyatakan kesediannya menjadi tuan
rumah.
Gembar-gembor
penyelenggaraan Olimpiade Fisika untuk kali ke-24 ini merebak ke sejumlah
mahasiswa di Amerika Serikat. Tak terkecuali, informasi itu hinggap ke Yohannes
Surya, yang kala itu sedang menimba ilmu tingkat doktoral di Physics
Department, College of William and Mary. Dari informasi itu, terbayang oleh
Yohannes untuk membawa siswa-siswa Indonesia mengikuti ajang tersebut.
Sejumlah
rencana lalu disusun oleh Yohannes. Dia menghubungi Universitas Indonesia,
tempat kuliahnya dulu, minta disiapkan sejumlah siswa sekolah menengah atas.
Setelah diseleksi, akhirnya terpilih lima siswa terbaik. Sayang, Yohannes tak
memiliki banyak waktu untuk melatih mereka. Karena waktu yang mepet dengan
gelaran Olimpiade, praktis hanya dua bulan dia memberikan pelatihan.
Meski
demikian, Yohannes boleh berbangga. Sebab, keikutsertaan Indonesia untuk kali
pertama ini langsung menorehkan gelar medali meski hanya perunggu. Dalam ajang
itu, Indonesia menempati peringkat ke-16 dari 42 negara peserta. Berbekal
pencapaian awal yang cukup membanggakan itulah, Yohannes mantap memilih jalan
hidupnya mengabdi kepada bangsa melalui pendidikan. Selepas lulus program
doktoral pada 1994, dia sempat bekerja selama enam bulan di Pusat Fisika Nuklir
Amerika Serikat. Namun, akhirnya dia memutuskan pulang ke Indonesia. Kesempatan
berkarier di Negeri Paman Sam itu dia tinggalkan.
Metode pembelajaran
Melatih
anak-anak agar mencintai fisika sungguh tidak mudah bagi Yohannes. Banyak
kendala kerap dia jumpai. Menurut dia, kendala yang sering kali muncul adalah
persoalan motivasi. Pasalnya, mengikuti Olimpiade Fisika butuh perjuangan
besar. Latihan dari pagi hingga malam menjelang dini hari rutin dilakukan
hampir setiap hari. Bila latihan seperti itu tidak didasari motivasi tinggi,
mustahil rasanya bisa menjuarai Olimpiade Fisika tingkat dunia.
Karena
itu, untuk memotivasi agar anak menikmati dan tidak merasa bosan belajar
fisika, Yohannes menciptakan metode pembelajaran yang mudah dimengerti. Metode
pembelajaran ciptaannya itu dia namakan Gasing (Gampang, Asyik, dan
Menyenangkan). Baginya, kegiatan Yohannes mengatakan, selama ini, banyak
siswa mempelajari fisika menggunakan rumus. Cara ini, meski jadi anjuran, tak
mudah bagi siswa mempelajarinya, lebih-lebih bagi anak yang masih tertinggal.
Besar kemungkinan, mereka merasa bosan, lantas meninggalkan pelajaran yang
terkenal sulit itu.
Pencapaian
sejauh ini
Sejak
kali pertama mengikuti Olimpiade Fisika Internasional pada 1993, Indonesia
lantas tak pernah absen dalam ajang bergengsi itu. Setiap tahunnya, Indonesia
kerap langganan meraih medali. Meski belum bisa meraih medali emas, setidaknya
ada peningkatan dengan raihan tambahan medali perak.
Setelah
mondar-mandir hanya meraih perak dan perunggu selama tujuh tahun sejak
keikutsertaannya, pada tahun 1999, akhirnya Indonesia mampu mendulang medali
emas. Medali emas untuk kali pertama ini disumbangkan oleh anak didik Yohannes
asal Bali, yakni Made Agus Wirawan.
Sejak
meraih emas pertama itu, Yohannes semakin yakin akan kemampuan anak-anak
Indonesia. Maka dari itu, tujuh tahun berikutnya, dia menargetkan pencapaian
lebih tinggi lagi. Tak tanggung-tanggung, kali ini ia menginginkan prestasi
juara dunia.Karena target ambisiusnya inilah, Yohannes bergerilya menyambangi
250 kabupaten di Indonesia, dari Papua, Ambon, Kupang, Flores, Belitung Timur,
Palembang, Kalimantan, hingga Sulawesi. Dia mencari anak-anak Indonesia
berbakat yang akan dia latih untuk meraih target impiannya itu.
Cita-cita
ke depan
Meski
telah sukses menjadikan Indonesia juara dunia dalam ajang Olimpiade Fisika,
bagi Yohannes, itu belum cukup. Dia memiliki cita-cita dan impian lebih “gila”
lagi. Dia ingin Indonesia mempunyai peran besar di dunia. Target pertama ia
canangkan pada 2030. Pada tahun itu, Indonesia bisa berjaya di kancah global.
Untuk
mencapai itu, dia kemudian menciptakan banyak guru melalui beasiswa kepada
anak-anak dari berbagai pelosok negeri. Mereka dilatih menjadi guru profesional
yang tak hanya bisa menguasai materi pelajaran fisika dengan baik, tetapi juga
bisa mengajar dengan berbagai macam metode pengajaran.Dia berharap, guru-guru
inilah yang nantinya, ketika pulang ke kampung halaman masing-masing, bisa
menjadi garda terdepan memberikan pendidikan kepada generasi penerus di pelosok-pelosok
Nusantara.
Selanjutnya,
target kedua yang dicanangkannya pada 2045 adalah menjadikan Indonesia sebagai
salah satu negara superpower dunia. Pencapaian tersebut dia targetkan
karena berkaca pada kekuatan China saat
ini. Yohannes mengatakan, China bisa bangkit menguasai ekonomi dunia hanya
dalam 20 tahun.Jika target Yohannes menjadikan Indonesia negara superpower
pada 2045, maka Indonesia masih punya waktu sekitar 29 tahun untuk berbenah
agar dapat melampaui Negeri Tirai Bambu. Hal ini juga merupakan kado momentum
100 tahun Indonesia setelah merdeka. (Tito Dirhantoro)
Sumber : Kompas
| Senin, 9 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar