Jati
Pramono
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
MAAF,
Saya
sibuk! Berapa sering Anda, saya, dan kita mengucapkan kalimat pendek yang sakti
itu? Berapa kali kita menempatkan kata “sibuk” atau “busy” di status WhatsApp,
Line, atau BBM (jika masih keukeuh menggunakan platform percakapan ini tentunya
:p)? Apa sebenarnya yang diharapkan setiap kali menyatakan “sibuk”? Apakah
memang benar-benar tidak ada waktu tersisa atau sekedar mencari alasan agar
tidak harus melakukan sesuatu hal lain. Atau, apa ya?
Sebelum anda merasa tidak
nyaman membaca tulisan ini, perlu dicatat kalau saya menuliskan sederet
pertanyaan ini pada diri sendiri terlebih dulu.
Saya hamper selalu merasa
sebagai orang paling sibuk. Walaupun, tidak punya skedul rutin setiap hari,
tetap saja saya merasa… sibuk. Menariknya, setiap kali berjumpa banyak orang
lain dengan berbagai profesi saya juga mendapati hal serupa – hamper semua
orang tersebut (juga) merasa sebagai orang paling sibuk. Sehingga, setiap kali
bertegur sapa sangat terasa semangat kompetisi sibuknya. Contohnya begini:
Saya: “Apa kabar?”
Teman: “OK-lah, tapi sibuk
banget nih. Loe gimana?”
S: Sama banget. Sibuk parah.
Sehari 24 jam gak cukup.”
T: “Sibuk artinya banyak
rezeki… Walaupun kangen liburan juga sih.”
Busyness is a sickness. Yes,
really. Nah, cara pandang melihat kesibukan sebagai trofi kesuksesan atau
lambing kehebatan berubah 180 derajat setelah ngobrol dengan orang keren yang
tidak ingin namanya disebut disini.
Most
people are very good at looking busy. Sibuk apa hari ini? Kenapa
sibuk? Apa yang membuat diri merasa sibuk? Hmmm… belum pernah ada yang
menanyakan soal ini sehingga harus memikirkan jawabannya sejenak. Hari ini saya
meeting dengan penerbit buku, bicara untuk mahasiswa tingkat akhir, soal social
entrepreneur, dan belanja untuk masak akhir pecan. Setelah mendengar penjelasan
ini beliau berujar sambil tersenyum lebar: “Wah, menyenangkan sekali harinya.
Enjoy!”.
Busy
culture = toxic culture. Respons itu membantu saya untuk
melihat bahwa kesibukan tidak perlu jadi kebanggaan. Kesibukan juga bukan ajang
untuk dikasihani. Jangan-jangan selama ini tanpa sengaja ataupun tidak – kita
telah menjadi ahli untuk tampak sibuk. Lebih jauh lagi, kesibukan tidak perlu
menjadi kesibukan jika dipandang dari perspektif mengisi waktu untuk
berinteraksi, berkolaborasi, dan berkarya – dengan makna.
Dalam konteks organisasi
juga tidak jauh berbeda. Budaya organisasi yang mendorong kasibukan hanya akan
berujung pada keletihan mental dan kesulitan memunculkan harmoni antara
kehidupan professional dan pribadi. Produktivitas tidak sekedar ditentukan oleh
panjangnya jam kerja atau lembur tanpa akhir. Produktivitas manusia modern
terjadi saat setiap orang punya kesempatan berkiprah sesuai dengan kekuatan
(baca: passion) mereka dalam memunculkan karya dengan asyik dan penuh makna. Go home early. Meet your family. Enjoy every
moments with them. Think less – feel more.
Sumber Tulisan:
Suhardono, Rene. 2015.
Nothing Cool About Being – or Looking Busy. Kompas,
28 November.
0 komentar:
Posting Komentar