Jati
Pramono
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
BANYAK
orang ang suka menggunakan istilah “gagal move on” dalam berkelakar
sehari-hari. Istilah ini merujuk kepada mereka yang terus terpaku pada masa
lalunya dan sulit menerima perubahan baru yang dihadapi saat ini. Situasi ini
bisa dialami baik oleh tua maupun muda.
Meskipun istilah ini
digunakan dalam kelakar harian, bisa jadi sebenarnya situasi ini mengandung
banyak kebenaran,. Selain itu mengakibatkan konsekuensi yang tidak kecil bagi
yang mengalaminya. Sekarang, apakah kita termasuk orang yang mudah untuk move
on? Menerima situasi baru, atasan baru, lingkungan baru, peraturan baru?
Mengapa orang sering
terbelenggu dengan kebiasaan lama, seolah-olah kapasitas untuk belajar dan
mempelajari situasi baru demikian alot? Seorang
psikolog Carol Dweck melakukan riset selama beberapa tahun dan
mengidentifikasi 2 jenis mindset yang mendasari sukses
tidaknya seseorang dalam menghadapi tantangan. Yang pertama adalah fixed
mindset, yaitu seseorang lebih percaya bahwa kualitas – kualitas
pribadi yang mendasar, seperti kecerdasan dan bakat adalah sesuatu hal yang
tidak bisa diubah. “Memang dasarnya saya tidak bisa, ya saya terima
saja,”demikian biasanya si individu mengatakan pada dirinya sendiri. Biasanya
individu seperti ini tidak henti-hentinya mengkaji apa kekuatannya, tetapi lupa
bahwa dengan upaya keras, kelemahannya akan bisa diatasi. Dengan sendirinya,
individu seperti ini tidak meyakini kekuatan upayanya.
Sementara itu, individu lain
dengan growth mindset, melihat bahwa kelemahannya saat ini merupakan
potensi yang masi terpendam yang masih harus digarap. Intelegensi dan bakat
dianggap sebagai modal yang masih harus dikembangkan, sementara kegagalan
dianggap hanya sebagai salah satu langkah salah dalam mencapai tujuan sehingga
ia harus mencari cara lain untuk mencapainya. Orang seperti ini sangat haus
belajar dan kuat melenting dalam kegagalan.
“Mindset”,
akar perilaku
Ada beberapa keyakinan yang
tumbuh menyatu di dalam benak individu yang mempengaruhi keputusannya dalam
bersikap, memilih tindakan, dan kemudian berpendapat tentang diri sendiri dan
dunia sekitarnya.
Keyakinan yang fixed
menyaring informasi baru yang masuk, memilah-milah, dan menerima apa yang
selama ini sudah dipahami. Cepatnya perkembangan teknologi dan informasi sudah
tidak memungkinkan kita berdiam diri, apalagi sekedar menghadap ke masa lalu.
Oleh sebab itu, kita perlu meninjau kembali mindset dan mempertanyakan kembali
apakah mindset yang dimiliki masih cocok dalam situasi sekarang.
Berbicara
pada diri sendiri
Orang yang paling dekat
dengan diri kita sebenarnya adalah diri sendiri, Ada orang yang menyadari
tentang suara hatinya, ada yang tidak mau mendengar kecamuk atau pertikaian
alias konflik di dalam dirinya, dan ada yang sama sekali bebal tidak
mendengarkan dirinya. Kita tidak bisa memulai berbenah mindset bila tidak
berusaha mendalami keyakinan-keyakinan lama.
Dalam dunia pekerjaan,
keyakinan seperti kecerdasan, bakat, upaya, dinamika organisasi dan keadaan
politik adalah contoh dari beberapa hal yang perlu kita tinjau kembali karena
memang mempengaruhi reaksi kita. Kita perlu berani mengganti keyakinan yang
sudah tidak sesuai dengan zaman lagi, dan belajar mengembangkan keyakinan baru.
Keyakinan seperti “everybody sells”,
“mobile office”, “bekerja 24/7”, “matrix organization”, “flat organization”
perlu kita jejalkan dalam diri dalam bentuk kalimat indoktrinasi diri yang
diulang-ulang sehingga akhirnya dengan sendirinya kita terpengaruh.
Menjaga
“growth mindset”
Ada kalanya kita memang
perlu menghindari orang-orang yang terlalu banyak mengeluh, senantiasa
berpikiran negative dan pesimistis. Bukannya kita tidak mau mendengar informasi
mengenai kenyataan buruk dan realistis, melainkan kita juga perlu mencari sisi
positif dari setiap situasi. Kita perlu menganalisis upaya apa yang sudah
dilakukan untuk menanggulangi beragam masalah, seperti kriminalitas, bencana
alam, ancaman banjir, dan permainan politik yang tidak kunjung selesai,
ketimbang hanya berkomentar negatif pada usaha yang belum membawa hasil yang
diinginkan. Kita pun bisa mencari tokoh yang berkata baik, berpraktik baik,
sebagai panutan bagaimana mereka melakukan problem solving dan menjaga
staminanya. Kita sadar bahwa tidak ada satu pun orang hebat yang tidak pernah
mengalami kesulitan maupun kegagalan. “Great men are not born great, they grow
great,” kata Mario Puzzo.
Sumber
Tulisan:
Suhardono, Rene. 2015. Move
On. Kompas, 10 Oktober.
0 komentar:
Posting Komentar