Jati
Pramono
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
DALAM
beberapa kejadian belakangan ini, kita menemui ungkapan Gus Dur mengenai murid
taman kanak-kanak yang disampaikan dengan cukup ekstrem di media-media sosial.
Kemunculan ungkapan itu membuat kita mempertanyakan kembali apa symbol yang
dimaksud dengan murid TK ini.
Umumnya, anak usia 4-5 tahun
adalah anak-anak yang masih lugu, tidak mengerti tanggung jawab, masih senang
bermain, dan tidak banyak pertimbangan. Apakah orang dewasa yang disamakan
dengan anak-anak ini dikarenakan mereka tidak berperilaku sesuai dengan
tuntutan peran dan tanggung jawabnya?
Kita hidup di alam yang
sudah sangat materialistis dan mengalami banyak gejala yang mengherankan
sebagai akibat kekuasaan yang besar, baik kekuasaan dalam uang maupun hukum.
Kita sering melihat betapa orang merunduk-runduk kepada orang yang bermobil
mewah ataupun mengenakan tas ratusan juta. Bahkan, pembelokan keputusan
pengadilan pun bisa terjadi atas nama kekuasaan. Yang hitam bisa jadi putih,
yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa tampak benar bilamana kekuasaan
berbicara.
Bukankah hal-hal seperti ini
yang sering membuat kita lupa akan hal-hal yang lebih hakiki, yaitu membentuk
kekuatan kita sebagai pribadi yang matang, tangguh, dan bijak? Apa gunanya kaya
kalau tidak memiliki komitmen. Apa gunanya berkuasa kalau kita menampilkan
kelemahan emosi, bahkan berintegritas rendah. Bukankah pada dasarnya manusia
memiliki keinginan spiritual membangun kualitas diri yang baik, bertanggung
jawab, berpikir obyektif, dan luwes mengatur emosi?.
“Nobody’s
perfect”
Kita semua terlahir dengan
ketidaksempurnaan jasmani dan jiwani. Ada yang bertemperamen tinggi, ada yang
lambat dalam berespons. Ada yang introvert ada yang ekstrovert. Kita bisa
meyakini bahwa “saya adalah saya”, dan saya “happy” dengan kekurangan saya.
Meski demikian, kita tidak boleh lupa bahwa bertumbuh menjadi dewasa selain
secara fisik juga secara mental dan spiritual.
Membangun
Kewarasan
Seorang teman yang tadinya
berprofesi sebagai seorang dosen, memutuskan untuk menjadi pengusaha. Ia
menghadapi dunia bisnis, jejaring sosial, jam kerja, dan tipe manusia yang
semuanya berbeda. Sampai-sampai suatu saat teman ini merasa gamang dan
bertanya, “Apa sebenarnya yang terjadi pada diri saya? Apa yang saya cari? Apa
yang penting bagi saya? Dan bagaimana saya menyesuaikan dengan kondisi ini?”
Konflik semacam ini bisa membuat seorang individu tegang, tetapi sebenarnya
inilah bentuk alarm yang bisa membuat seseorang mawas diri dan bergerak
mewaraskan dirinya lagi. Adakah patokan untuk mewaraskan diri agar kita memang
menjauh dari kondisi murid “TK” itu?
Pertama-tama, kita perlu
mengkaji apa yang kita cintai, apa yang membuat kita bangga dan menjadikan diri
kita tonggak kebenaran dan “model”.
Dalam menghadapi konflik dan
kesulitan. Kita tetap perlu menyadari bahwa setiap orang pasti mempunyai sisi
“imaturitas”-nya, disinilah respek dan toleransi kita teruji. Manusia yang
waras akan menghadapi berbagai kekurangan tidak dengan mengeluh, merengek, atau
bahkan mengasihani diri sendiri. “Face
the music”, rather than run away,
play dead or hide”. Tetapi, jangan kembali mundur menjadi anak-anak lagi,
kecuali dalam hal semangat dan keingintahuan belajar. To be mature is to have knowledge and experience about the way the
world works, and to have adapted accordingly.
Sumber
Tulisan:
Suhardono, Rene. 2015. Waras.
Kompas, 10 Oktober.
0 komentar:
Posting Komentar