13.10.15

RADIKALISME PENDIDIKAN: SALAH SIAPA?

LOMBA ESSAY
TEMA : MENYELAMATKAN GENERASI MUDA DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN DARI PERSOAALAN RADIKALISME
Naurmi Rojab Destiya
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Kehidupan suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan. Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan. Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk dapat mandiri, bertahan hidup, dan bertanggung jawab atas kehodupannya. Pendidikan merupakan upaya membebaskan manusia dari belenggu kebodohan. Pendidikan idealnya merubah tingkah laku manusia dari hal-hal yang buruk menjadi baik, bukan sebaliknya. Tapi dari dahulu sampai sekarang selalu ada saja hal-hal negative dalam dunia pendidikan kita. Sebagai salah satu hal yang sekarang sering terjadi adalah tindakan radikalisme atau kekerasan.
Tidak jarang masalah kekerasan tindakan radikalisme ini, mewarnai berita elektronik maupun surat kabar nasional. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengapa harus terjadi. Masalah radikalisme dalam dunia pendidikan yang sempat menghebohkan dan sering mewarnai media masa adalah kasus kekerasan yang dilakukan oleh senior kepada junior seperti di STPDN yang sampai memakan korban jiwa tewas. Kasus yang baru-baru ini terjadi terkait masalah radikalisme dalam pendidikan adalah LA (18), siswi SMA di Yogyakarta menjadi korban kekerasan yang dilakukan 9 orang. Tujuh di antaranya berstatus pelajar. Aksi brutal ini diotaki oleh RT, seorang janda muda bersama pacar laki-lakinya. Sepanjang waktu, ia dianiaya dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta mulut dibungkam. Ia dipukuli beramai-ramai hingga lebam. Kemaluannya juga jadi sasaran 'penganiayaan'. Kekerasan ini terjadi lantaran LA membuat tato Hello kity yang menyamai tato Hello kity RT. Entah apa yang dipikirkan oleh pelajar- pelajar ini, sehingga mereka melakukan tindakan radikalisme, padahal hal ini merupakan hal yang sepele dan seharusnya tidak terjadi.
Tindak radikalisme lainnya, kadang kali dilakukan oleh guru kepada siswa, memukul, memberikan hukuman berlebihan, dipukul dengan penggaris kayu, dan membully. Dan praktek bullying yang sering terjadi diantara pelajar, maupun oleh guru kepada siswanya, yang tidak sedikit hal ini membuat korban bullying menjadi down dan stress. Tak sedikit pula kasus tawuran antar pelajar dan mahasiswa. Mahasiswa yang notabene mereka adalah seseorang yang belajar diperguruan tinggi, harusnya mempunyai kontrol untuk melakukan tindakan radikalisme.
Contoh-contoh kasus yang telah dipaparkan, menimbulkan keprihatinan terhadap dunia pendidikan. Padahal seharusnya dunia pendidikan, suci dari tindak radikalisme. Kalau sudah seperti ini siapa yang salah? Guru? Siswa? Kurikulum? Atau materi pendidikan? Semuanya tentu harus kita pikirkan secara dingin tidak usah saling menyalahkan satu sama lain, karena semuanya mungkin salah. Walaupun tidak semua pendidik melakukan tindakan kekerasan dan menerapkan budaya menghukum kepada peserta didiknya tetapi apa yang muncul kepermukaan menjadi suatu hal buruk bagi kemajuan dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Terutama pengaruh tindakan radikalisme ini bagi generasi muda para penerus bangsa. Karena persoalan radikalisme ini harus dihilangkan, demi menyelamatkan generasi penerus bangsa yang lebih baik, sehat dan tidak meneruskan tindakan radikalisme yang baru dan menurun.
Sungguh suatu ironi bahwa radikalisme justru tumbuh dilembaga pendidikan negeri. Selain itu, dampak yang lain adalah adanya oknum-oknum guru tertentu yang menyemai bibit radikalisme dalam proses pembelajaran atau kegiatan ekstrakulikuler disekolah yang menyebabkan adanya orang-orang yang mau mengembangkan radikalisme menggunakan system sekolah. Bentuk-bentuk radikalisme juga berujung pada anarkisme, kekerasan dan bahkan terorisme yang terus menerus karena menimbulkan dendam, dan adopsi yang menurun.
Guna mengantisipasi masuknya radikalisme dalam pendidikan, Kementrian Pendidikan Naional menekankan kurikulum yang berbentuk nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan pada siswa. Perubahan itu dilakukan tidak hanya dijenjang pendidikan tinggi, namun juga dijenjang sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga menengah.gencarnya gerakan radikalisme yang menyusup di lembaga-lembaga pedidikan membuat dunia pendidikan nasional menjadi perhatian di masyarakat. Kritikan datang dari berbagai kalangan, tentang kelemahan pada system kurikulum pendidikan yang ada.
Guna meredam radikalisme yang terjadi dikalangan pelajar maka seluruh pihak yang terkait dihimbau untuk lebih gencar mengedepankan pendidikan karakter kepada para peserta didik. Melakukan pencegahan dengan menanamkan ajaran agama sejak dini, rasa kasih sayang, toleransi terhadap sesama dan menanamkan rasa cinta tanah air dan rasa empati terhadap sesama kepada para siswa sehingga tidak ada lagi pemikiran untuk melakukan tindakan radikal.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Sehingga sangat diperlukan pendidikan agama dan karakter sedari dini oleh orang tua, guru dan lingkungan yang baik.

Tempat-tempat pendidikan yang pada dasarnya merupakan tempat untuk memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Sehingga tindakan radikalisme bisa saja tidak terjadi bahkan hilang. Jika persoalan radikalisme ini terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat belajar peserta didik. Tempat pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kerukunan dan kedamaian. Bukan untuk ajang gengis, kekerasan dan budaya menghukum dari guru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar