Fx.
Wahyu Widiantoro
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Perayaan
valentine di Indonesia selalu menimbulkan kontroversi. Bagi sekelompok
masyarakat melihat perayaan hari tersebut sebagai sebuah bentuk perayaan yang
berasal dari budaya barat dan merusak tatanan budaya yang telah ada. Sedangkan
bagi kelompok lainnya cenderung menerima budaya tersebut dan tertarik untuk
menerimanya. Kaum muda biasanya lebih mengenal tentang hari valentine dan bagi
sebagian kelompok cenderung merayakannya secara berlebihan. Perayaan hari
valentine biasa identik dengan warna merah muda. Pernak-pernik berupa pakaian,
pita, hiasan berbentuk bunga mawar merah, boneka dan coklat dengan bungkus yang
bertuliskan kata-kata mutiara yang bertemakan cinta. Perayaan valentine
tepatnya dilakukan setiap tanggal 14 Februari.
Perayaan
Valentine bukan hari raya tapi SOCIAL DESIREBELITY masyarakat, mengingat
peristiwa tentang “cinta kasih”. Pada dasarnya masyarakat memandang hari
valentine hanya sebagai simbol mengingatkan akan pentingnya cinta kasih dalam
kehidupan sehari-hari dan yang terpenting adalah relasi dari cinta kasih
terebut setiap harinya. Tanggal 14 Februari tidak perlu dipergunjingkan sebab
tidak ada yang menjadikan sebagai hari raya. Kondisi psikologis akan labil
dengan fenomena masyarakat jika individu tidak bisa memahami dan menerima
kesamaan dan perbedaan. Individu tidak berpandangan luas atas peristiwa
sebab-akibat. Hendaknya adanya kebebasan dalam bersikap, bagi yang merayakan
ataupun yang tidak. Hal terpenting adalah esensi dan jangan berlebihan. Di
sinilah pengalaman dan kesempatan untuk mengembangkan hasrat membantu, memberi,
mengasihi atau yang sering disebut dengan ALTRUISM.
*Materi pada Siaran Interaktif Psikologi di RRI Kotabaru DIY, pada
hari Rabu, 18 Februarui 2015, pukul 20.15 – 21.00.
0 komentar:
Posting Komentar