Fx.
Wahyu Widiantoro
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Kalimat yang
sering terlontar dan menjadi sebuah nasehat dari para orang tua kepada anak-anaknya
yaitu ”menolong-tanpa-pamrih”. Kalimat tersebut menjadi janggal dan patut
dicermati bila diubah menjadi ”menolong-dengan-pamrih”. Seperti halnya pada pertengahan
bulan Februari 2015, berbagai media memberitakan tentang pihak Autralia yang
mengingatkan Indonesia dulu pernah menolong Tsunami. Pemberitaan tersebut
membentuk persepsi masyarakat bahwa Australia menolong-dengan-pamrih. Hal yang
mungkin terjadi adalah ketika terjadi bencan Tsunami di Aceh, pihak Australia
memang memiliki dorongan altruism untuk menolong korban di Aceh. Bila sekarang
seolah bersyarat bisa dikarenakan adanya kasus eksekusi oleh pemerintah
Indonesia terhadap warga Australia. Bagi pemerintah Indonesai saat ini waktunya
bangkit, berbagai bentuk peristiwa yang tidak mendukung kemajuan bangsa segera
ditindak dengan tegas. Keputusan tegas pemerintah Indonesia menjadi semacam shock terapi bagi Australia. Cukup bisa
dipahami, karena eksekusi mati biasanya hanya berlaku di negara-negara tertentu
dan apakah tindakan ini tegas dan sungguh berkarakter Indonesia atau karena adanya
faktor lain.
Dorongan untuk
menolong atau yang sering disebut sebagai altruism secara psikologis pasti ada
pada setiap individu, baik disadari maupun tidak. Bila terjadi sikap menolong-dengan-
pamrih biasanya karena adanya faktor eksternal yang mempengaruhi individu,
seperti luka batin, kekecewaan, serta pengalaman yang tidak mengenakan. Pada
dasarnya menolong-dengan-pamrih tetaplah perlu dikritisi. Apabila pamrih yang
dimaksud merupakan simbiosis mutualisme
dalam hal positif maka sikap tersebut akan mendukung kerukunan bersama. Individu
yang memiliki altruism yang baik adalah: memberi, empati, kerelaan yang tentu
saja sesuai dengan porsinya dan tidak bersyarat. Pengembangan altruism
hendaknya dimulai sejak dini. Alternatif cara mendidik anak sedini mungkin untuk
memiliki jiwa altruism yaitu anak sering diajak berkegiatan bersama, dibiasakan
spontan dalam menolong tanpa harus ada alasan tentunya dalam konteks yang positif,
sehingga anak akan terbiasa melakukan “menolong” merupakan sesuatu yang lumrah,
wajar dan memang semestinya.
*Materi pada Siaran Interaktif Psikologi di RRI Kotabaru DIY, pada
hari Rabu, 25 Februarui 2015, pukul 20.15 – 21.00.
0 komentar:
Posting Komentar