10.6.24

ESSAY 7_PSIKOLOGI LINGKUNGAN OLEH BOBY SANJAYA

 

Bank Sampah Bougenvill Magelang



PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Dosen Pengampu:

Dr. Arundati Shinta, M.A.

Oleh :

Boby Sanjaya (22310410172)

(SP)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA





Sampah menjadi salah satu permasalahan masyarakat yang sulit diurai di berbagai daerah. Bahkan, permasalahan sampah sudah menjadi isu masif sejak tahun 2015 hingga memunculkan wacana perluasan sejumlah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Magelang.

Berangkat dari kejadian tersebut, seorang warga Jurang Ombo Utara, Kota Magelang, Ibu Enti Sri Hardani memiliki ide untuk mengubah sampah agar menjadi lebih bermanfaat. Akhirnya, pada 2015, Ibu Enti mendirikan Bank Sampah Bougenvile yang ia kelola bersama masyarakat sekitar tempatnya bermukim. Awalnya dikelola sekitar 10 orang warga dari kampung ini, sistemnya warga mengumpulkan sampah, lalu dari Bank Sampah memberi uang ke mereka.


Sampah yang dikumpulkan kepada Ibu Enti selanjutnya dipilah berdasarkan bahannya, kardus, plastik, karet dan yang lain, untuk selanjutnya, sebagian diolah menjadi kerajinan tangan, sebagian dijual ke tukang rongsokan. Melalui usaha tersebut, Ibu Enti dan rekan-rekannya mampu mengumpulkan 25 kg hingga 30 kg sampah per hari.

Sampah plastik dan kemasan makanan ringan bisa diolah menjadi tas, vas bunga, hingga hiasan dinding yang cantik, dan dijual dengan harga variatif. Dijual ketika ada pameran saja, mulai dari Rp50.000, tetapi untuk kerajinan tidak setiap saat produksi.


Beliau mendirikan bank sampah tidak hanya membuat kampung tempat tinggalnya bersih, namun juga membantu perekonomian warga. Setiap warga bisa menjual, menabung, bahkan meminjam uang dan membayarnya menggunakan sampah. Setiap sampah di bank tersebut harganya cukup variatif, yakni kantong plastik Rp800 per kg, botol plastik Rp1.000 per kg dan kardus Rp2.000 per kg.


Sekitar 2 tahun berselang setelah bank sampah itu berdiri, Ibu Enti dan rekan-rekannya berhasil menambah unit usaha berupa warung kelontong dengan modal ratusan ribu rupiah. Lantas selama 6 tahun, asetnya pun mencapai Rp 30 juta. Tak sampai di situ saja, kelontong yang dinamai Warung Barter itu bahkan bisa memberikan modal pada usaha angkringan dan catering yang dijalankan anggotanya. Sesuai namanya, Warung Barter bukan hanya menerima alat pembayaran berupa uang saja, namun juga sampah.

Dengan adanya usaha ini, Enti berharap, kebersihan masyarakat bisa lebih terjaga dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya.



0 komentar:

Posting Komentar