29.6.21

Perilaku Agresi

Semester Genap 2020/2021
Shafly Ardhya Saputra  NIM. 20310410027
Dosen Pengampu : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Ahli psikologi menggunakan istilah kekerasan untuk merujuk pada agresi yang tujuannya menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, seperti cedera atau kematian. Jadi kekerasan adalah bagian dari agresi. Semua tindakan kekerasan bersifat agresif, tetapi hanya tindakan yang dimaksudkan untuk menyebabkan kerusakan fisik yang ekstrem, seperti pembunuhan, penyerangan, pemerkosaan, dan perampokan, perusakan sarana prasarana fasilitas umum, dan juga perilaku destruktif lainnya yang merupakan kekerasan. Dalam KBBI, kekerasan didefinisikan dengan perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
 
Perilaku agresif merupakan perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan, yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, perbuatan bermusuhan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda, sifat atau nafsu menyerang sesuatu yang dipandang sebagai hal atau situasi yang mengecewakan, menghalangi, atau menghambat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2011).
 
Dari sudut pandang psikologi, ada sejumlah teori besar yang mendasari pemikiran mengenai agresi, antara lain teori instinct oleh Sigmund Frued, teori survival oleh Charles Darwin dan teori social learning oleh Neil Miller dan John Dollard, yang kemudian dikembangkan lagi oleh Albert Bandura. Teori Freud memandang perilaku agresif sebagai hal yang intrinsik dan merupakan instinct yang melekat pada diri manusia. Selanjutnya Darwin dengan teori survival-nya memandang bahwa secara historis, perilaku agresif ini dianggap sebagai suatu tindakan manusia untuk kebutuhan survival agar tetap dapat menjaga dan mengembangkan kemanusiawiannya ataupun membangun dan mengembangkan komunitas. Teori social learning yang dipelopori oleh Neil Miller dan John Dollard yang meyakini bahwa perilaku agresif merupakan perolehan daripada hasil belajar yang dipelajari sejak kecil dan dijadikan sebagai pola respon. Dalam perkembangannya selanjutnya, Bandura dan Walters mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima.
 
Ada tujuh perspektif agresif dalam ranah psikologi menurut Krahe (dalam Badrun Susantyo,2011), yaitu:
 
a) Perspektif psikoanalisis. Menurut Freud, manusia selalu mempunyai potensi bahwa sadar yaitu suatu dorongan untuk merusak diri atau thanatos. Operasionalisasi dorongan tersebut dikatakan oleh Baron dan Byrne (1994) dapat dilakukan melalui perilaku agresif, dialihkan pada objek yang dijadikan kambing hitam/ korban, atau mungkin disublimasikan dengan cara-cara yang lebih bisa diterima masyarakat;
b) Perspektif frustrasi-agresi. Salah satu teori agresi paling awal, diajukan pada tahun 1939 oleh sekelompok lima psikolog Yale: John Dollard, Neal E. Miller, Leonard W. Doob, Orval H. Mowrer, dan Robert R. Sears. Mereka mendefinisikan frustrasi sebagai sesuatu yang menghalangi atau mengganggu tujuan (definisi yang secara khusus mengecualikan reaksi emosional terhadap tujuan yang diblokir), dan mereka mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang tujuannya adalah melukai atau melukai target
c) Perspektif neo-asosianisme kognitif, atau dikenal sebagai teori pengaruh negatif. Disampaikan oleh psikolog sosial Leonard Berkowitz, yang merupakan pengembangan dari hipotesis frustasi-agresi. Teori tersebut menyatakan bahwa pengalaman atau pengaruh tertentu dapat berkontribusi terhadap timbulnya perasaan atau perilaku agresif. Perspektif ini menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan akan menstimulasi perasaan negative, kemudian, perasaan negatif selanjutnya akan menstimulasi secara otomatis dan reaksi motorik; yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang.
d) Model pengalihan rangsangan. Dibangun berdasarkan teori emosi dua faktor, yang memiliki pandangan bahwa intensitas pengalaman kemarahan merupakan fungsi dua komponen, yaitu 1) kekuatan rangsangan aversif, dan 2) cara rangsangan itu dijelaskan dan diberi label (Schachter, 1964; Zillmann, 1979). Rangsangan yang dibangkitkan oleh sumber yang tidak berhubungan dengan stimulasi aversif mungkin salah diatribusikan pada kejadian aversif sehingga mengintensifkan kemarahan yang ditimbulkan oleh kejadian semacam itu. Tetapi yang penting dalam hal ini adalah adanya kesadaran tentang sumber asli rangsangan telah hilang, sehingga individu tersebut masih merasakan rangsangan itu namun sudah tidak lagi menyadari asalnya;
e) Perspektif sosial kognitif. Dipelopori oleh Huesmann (1988, 1998) telah memperluas perspektif bahwa cara orang memikirkan kejadian aversif dan reaksi emosional yang mereka alami sebagai sebuah akibat, merupakan aspek penting dalam menentukan manifestasi dan kekuatan respon agresifnya. Pendekatan ini telah menemukan titik temu tentang perbedaan individual dalam agresi sebagai fungsi perbedaan dalam pemrosesan informasi sosial dengan melontarkan dua issue khas yaitu: 1) perkembangan skemata ( kognitif yang mengarahkan performa sosial perilaku agresif, dan 2) cara-cara pemrosesan informasi individu yang agresif dan yang non agresi (Krahe, 2001);
f) Teori pembelajaran sosial. yang dikembangkan secara lebih luas oleh Albert Bandura. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku agresif merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu apakah melalui pengamatan langsung (imitasi), pengukuh positif, dan karena stimulus diskriminatif. Perilaku agresif juga dapat dipelajari melalui model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Perilaku agresi yang disertai pengukuh positif akan meningkatkan perilaku agresi. Pengukuh positif dalam konteks sehari-hari seringkali diekspresikan dengan persetujuan verbal dari orang-orang di sekelilingnya (Wiggins Wiggins & Zanden, 1994). Hal ini sering kali dijumpai pada kelompok yang mempunyai sub budaya agresif separti gang remaja, kelompok militer, maupun kelompok olah raga beladiri seperti tinju, silat dan lain-lain
g) Perspektif model interaksi sosial. Menurut model ini perilaku agresif dipandang sebagai pengaruh sosial yang koersif. Tedeshci dan Felson (1994) telah memperluas analisis perilaku agresif menjadi teori interaksi sosial mengenai tindakan koersif.
Pencegahan perilaku agresif merupakan sebuah upaya besar untuk membina sebuah bangsa yang besar dan berjaya. Oleh karena itu Polri dalam hal ini Polres ataupun Polsek yang merupakan ujung tombak dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat perlu menyusun program-program dalam menghadapi kejahatan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku, seperti melakukan pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk bersama-sama mencegah dan mengatasi perilaku kekerasan dan atau kejahatan. Polri sebagai organisasi pelayan publik bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban publik masyarakat, serta bertugas dalam menegakkan hukum. Polri memiliki beban tugas yang tinggi dalam artian selalu berhadapan dengan imbas dari berbagai persoalan pergolakan ekonomi dan politik, persoalan sosial termasuk diantaranya unjukrasa, tawuran dan perkelahian warga. Petugas selalu mengahadapi situasi yang fluktuatif dan sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tidak terkendali. Dalam menangani berbagai situasi tersebut, Polri bertindak dalam mekanisme kontrol dan berpedoman pada SOP.
 
Daftar pustaka :
Siby, P.S. (2020). Perilaku agresif. Manado Post. 4 Nov. Retrieved on June 27, 2021 from: https://manadopost.jawapos.com/opini/04/11/2020/perilaku-agresif/
 

0 komentar:

Posting Komentar