9.1.21

RESILIENSI PADA REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME

 RESILIENSI PADA REMAJA DARI KELUARGA BROKEN HOME

UJIAN PSIKOLOGI INOVASI

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta

Nama:Wicaksana Ari Wibawa

NIM : 20.310.420.069


Remaja dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003). Pada masa remaja ini, ada beberapa perubahan yang bersifat universal, yaitu meningkatnya emosi, perubahan fisik, perubahan terhadap minat dan peran, perubahan pola perilaku, nilai-nilai dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan (Hurlock, 2000). Mereka cenderung mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi, selalu ingin mencoba hal-hal baru dan mudah terpengaruh dengan teman sebayanya (Sarwono, 2004).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja. Mulai dari faktor dari dalam diri atau faktor internal, serta faktor dari luar dirinya atau faktor eksternal. Faktor dari dalam diri berkaitan dengan aspek kognitif, afektif dan motorik (Santrock, 2003). Sementara faktor di luar berkaitan dengan Lingkungan sosial individu. Salah satu lingkungan sosial yang paling dekat dan berpengaruh yaitu lingkungan keluarga.

Keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang dalam menerima pembelajaran tentang kehidupan. Keluarga pada dasarnya adalah tempat pendidikan yang sempurna untuk melangsungkan pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh, tidak saja bagi kanak-kanak tapi juga bagi para remaja (Andriyani, 2016). Oleh sebab itu, kondisi keluarga sangat berpengaruh terhadap emosi dan perilaku seorang remaja dalam menghadapi kehidupan.

Keluarga juga mempunyai peranan dalam membentuk kepribadian seorang remaja. Dalam keluarga yang sehat dan harmonis, anak akan mendapatkan latihan-latihan dasar dalam mengembangkan sikap sosial yang baik dan perilaku yang terkontrol. Selain itu anak juga memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab serta belajar bekerja sama dan berbagi dengan orang lain. Dengan adanya hubungan yang baik di dalam keluarga, remaja akan lebih mampu melakukan penyesuaian di dalam dirinya terhadap lingkungan di sekitarnya. Sedangkan kegagalan dalam tugas perkembangan ini akan menyebabkan remaja menjadi individu yang kurang peka terhadap aturan dan norma yang berlaku (Fawaid, 2017).

Individu dari keluarga yang broken sangat rentan berperilaku melanggar aturan bahkan melakukan tindak kriminal. Remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis akan cenderung memiliki konsep diri yang rendah dibandingkan dengan yang memiliki keluarga harmonis (Muniriyanto & Suharman, 2014). Surya (2013), juga menemukan bahwa remaja yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis mempunyai risiko lebih besar untuk terganggu jiwanya, yang selanjutnya mempunyai kecenderungan besar untuk menjadi remaja nakal dengan melakukan tindakan-tindakan anti sosial.

Broken home dapat diartikan sebagai keluarga yang retak, yaitu kondisi hilangnya perhatian keluarga atau kurangnya kasih sayang dari orangtua yang disebabkan oleh beberapa hal, bisa karena perceraian sehingga anak hanya tinggal bersama satu orangtua kandung (Willis, 2015). Dewasa ini, banyak keluarga yang rentan dengan broken home dan persoalan yang melatar belakangipun semakin komplit. Faktornya tentu sangat bervariasi sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh masing-masing keluarga. Kondisi rumah tangga yang broken sering menyebabkan anak-anak mengalami depresi mental (tekanan mental), sehingga tidak jarang anak-anak yang hidup dalam keluarganya yang demikian biasanya perilaku sosialnya akan menjadi tidak baik.

Kondisi keluarga yang tidak harmonis, selalu ribut dalam rumah tangga, sikap suami isteri yang kasar dalam berintraksi, mengakibatkan anak-anak menjadi terpengaruh atau perasaan anak menjadi tidak nyaman, serta menyebabkan kondisi emosi anak yang berubah ubah. Hal demikian pada akhirnya berdampak pada perilaku dan kepribadian remaja karena dalam perkembangannya yang masih labil, kemudian harus terbebani dengan kondisi keluarga yang berantakan dapat memndorong remaja melakukan hal-hal yang kontra sosial, seperti mabuk, mengkonsumsi obat terlarang, tawuran dan lain-lain.

Namun demikian, ada remaja yang mampu bertahan dan tetap tabah dalam menjalani kehidupan di dalam keluarga yang broken home. Mereka tidak terjebak pada perilaku yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Meskipun berada dalam situasi keluarga yang tidak harmonis dan penuh problematika, remaja ini mampu bersabar dan tetap menjalani kehidupannya dengan efektif. Ada hikmah yang dapat mereka ambil sebagai motivasi bagi korban broken home untuk menjadi individu yang lebih positif dan sikap mandiri yang tercipta karena tuntutan beradaptasi dengan keadaan hidup yang harus dijalani tanpa perhatian dari orangtua. Sikap kedewasaan biasanya muncul pada diri korban keluarga broken home karena terbiasa menghadapi masalah sendiri dan bertanggungjawab atas dirinya sendiri.

Kemampuan seseorang untuk dapat bertahan kemudian bangkit kembali dalam menghadapi problematika hidup dapat disebut sebegai resiliensi. Resiliensi atau daya lentur adalah proses kemampuan psikologis individu dalam berespon terhadap stressor kehidupan (Desmita, 2009). Resiliensi dapat menjadi prevensi bagi remaja yang dalam resiko depresi karena membantu remaja tersebut mengatasi pengaruh negatif dari konflik rumah tangga dalam kehidupan sehari hari. Ketika individu memiliki sikap resilien, maka individu tersebut bisa untuk mengatasi berbagai stressor yang ada di dalam kehidupan dan menjadi terbiasa hidup dalam berbagai tekanan yang ada.

Semakin tinggi resiliensi seorang remaja, maka kualitas hidupnya akan semakin baik. Resiliensi juga dapat meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan pada remaja (Rahmawati dkk, 2019). Namun demikian, tidak mudah bagi seseorang untuk memiliki resiliensi dalam dalam menghadapi tekanan hidup. Perlu ada usaha yang keras serta dukungan agar individu menjadi seseorang yang resilien. Seperti peneilitan yang dilakukan oleh Desi dan Nailul (2019), bahwa religiusitas dan dukungan emosional dari lingkungan memiliki pengaruh terhadap penerimaan diri seorang remaja yang tumbuh di dalam keluarga broken home.

Resiliensi akan memberikan dampak terhadap strategi coping seseorang dalam menghadapi permasalahan. Remaja yang memiliki resiliensi tinggi akan menempatkan perasaan dan stress yang dialaminya kemudian mengalihkannya ke dalam hal-hal yang bermanfaat, seperti menambah jam belajar, ikut kegiatan ekstrarkulikuler, ataupun aktif dalam kegiatan sosial organisasi. Dalam perkembangannya yang sedang labil, resiliensi dapat menempatkan individu dalam situasi yang positif dan produktif meskipun individu tersebut dihadapkan dalam situasi yang penuh dengan tekanan.





DAFTAR PUSTAKA


Andriyani, J. (2016). Korelasi Peran Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri Remaja. Jurnal

Al-Bayan. VOL. 22 NO. 34. UIN Ar Raniry Banda Aceh

https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/bayan/article/download/878/692


Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya


Fawaid, A. 2017. Pengaruh Keharmonisan Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja DI SMK

Bustanul Ulum Pamekasan Madura. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam

Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang: Malang.

http://etheses.uin-malang.ac.id/10993/1/12410213


Hurlock, Elizabeth, B. (2000). Psikologi perkembangan (Edisi Lima). Jakarta: Erlangga.


Monks, F. J, Knoers, A. M. P & Haditono, S. R.. (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Muniriyanto., Suharnan. (2014). Keharmonisan Keluarga, Konsep Diri dan kenalakan Remaja. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 03 No. 02. Universitas 17 Agustus 1945: Surabaya.

https//core.ac.uk/download/pdf/229330382


Rahmawati, B.D., Listiyandini, R.A., Rahmatika, R. (2019). Resiliensi Psikologis dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Hidup terkait Kesehatan pada Remaja di Panti Asuhan. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 11 (1): 21 – 30

https://ojs.uma.ac.id/index.php/analitika/article/view/2314


Santrock, John W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga


Sarwono, Sarlito Wirawan. (2004). Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada


Willis, S. S. (2015). Konseling keluarga (family counseling). Penerbit Alfabeta: Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar