15.6.20

Menjadi Mahasiswa yang Cerdas Dengan Memiliki Percaya Diri dan Mengontrol Cemas Saat Berbicara Depan Umum


Ujuan Akhir Semester Genap 2019/2020
Nama : Maily Qisti Rofiq
NIM : 19310410095
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A
Berbicara di depan publik adalah kegiatan yang selalu menyertai seseorang, tak terkecuali mahasiswa. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa memiliki kompetensi berbicara di depan publik, agar dapat mendukung kelancaraan tugasnya dan memudahkan ketika akan mencari kerja nantinya. Berbicara dengan satu dua orang hal yang mudah, tetapi berbicara di depan puluhan orang perlu kiat-kiat khusus untuk melakukannya. Ketika berbicara di depan banyak orang, maka materi yang disampaikan harus tersusun dengan baik dan sistematis. Sebab hal ini dapat mempengaruhi pikiran seseorang, dan pikiran yang jermih, mood (suasana hati) yang baik, dan kepiawaian merangkai kalimat merupakan modal utama seseorang dapat berbicara lancar dan berhasil di depan audien. Selain itu juga diperlukan kecerdasan berpikir dan kecekatan menalar agar dapat memberikan argumen-argumen jitu dan meyakinkan kepada audien.
Kepercayaan diri suatu bagian dari kehidupan yang unik dan berharga karena dengan kepercayaan diri seseorang akan lebih berani dalam menyampaikan pendapat didepan orang banyak dan lebih percaya dengan kemampuan yang dimilikinya. Tapi pada kenyataannya masih banyak yang belum bisa menerapkan percaya diri terlihat ketika kesulitan dalam mengkomunikasikan pendapat kepada orang lain, dan menghindari berbicara didepan umum karena takut orang lain akan menyalahkannya. Orang yang memiliki kepercayaan diri mempunyai ciri-ciri: toleransi, tidak memerlukan dukungan orang lain dalam setiap mengambil keputusan atau mengerjakan tugas, selalu bersikap optimis dan dinamis, serta memiliki dorongan prestasi yang kuat.
Kurangnya kepercayaan diri ini juga dipengaruhi oleh kecerdasan mengelola emosi yang masih belum matang. Atkinson mengungkapkan bahwa kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan, yang ditandai dengan istilah seperti ”kekhawatiran”, ”keprihatinan”, dan ”rasa takut”, yang kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Begitu pula menurut Kartono, bahwa kecemasan adalah semacam kegelisahan kekhawatiran dan ”ketakutan” terhadap sesuatu yang tidak jelas, yang difus atau di baur, dan mempunyai ciri mengazab pada seseorang.
terdapat pengaruh signifikan dari pengaruh kepercayaan diri dan kecerdasan emosi. semakin tinggi kepercayaan diri dan kecerdasan emosi maka semakin tinggi hasil belajar mahasiswa. Sebaliknya apabila semakin rendah kepercayaan diri dan kecerdasan emosi rendah pula hasil belajar mahasiswa rendah. Padahal Komunikator (pembicara) memiliki banyak kesempatan untuk mempengaruhi audiensnya antara lain dengan storytelling (bercerita), body language (bahasa tubuh), tone of voice (nada suara), pauses (jeda), visual cues atau menggunakan isyarat visual (Nikitina, 2011).
Namun, permasalahan yang dihadapi bukan hanya itu, tak jarang seorang mahasiswa juga merasakan kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan tersebut memiliki pengaruh negatif pada diri seorang mahasiswa baik ketika masih duduk di bangku kuliah maupun ketika sudah lulus kelak. Hal tersebut dapat dipahami karena dalam proses belajar mengajar, salah satu metode yang sering digunakan dosen adalah diskusi, sehingga kemampuan berbicara di depan umum sangat dibutuhkan. Seseorang dengan kecemasan berbicara di depan umum, kendati sudah lulus dan memiliki ijazah, dimungkinkan akan mengalami kendala dalam melamar pekerjaan tertentu, terlebih pekerjaan yang menekankan pada kemampuan atau keahlian berbicara di depan orang banyak.

Kecemasan berkomunikasi merupakan kecenderungan untuk mengalami kecemasan dalam waktu yang relatif lama dan berbagai situasi yang berbeda. Kecemasan berkomunikasi merupakan bagian dari konsep yang lebih besar dalam konsep psikologi, seperti penghindaran sosial (social avoidence), kecemasan sosial (social anxiety), kecemasan interaksi (interaction anxiety), dan sifat malu (shyness) yang secara umum disebut dengan kecemasan sosial dan komunikasi (social and communication anxiety).
kecemasan sosial dan komunikasi sebagian besar berkenaan dengan bagaimana cara kita berfikir mengenai diri kita terkait dengan situasi komunikasi yang dihadapi. Terkait dengan pemikiran negatif, Patterson dan Ritts mengemukakan: ”negative thinking can lead to anxious self-preoccupation that keeps a person from considering all of the information and cues in the environment” (Littlehohn dan Foss: 2005, 66). Hal ini menyebabkan proses pengolahan informasi yang normal terganggu, yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk menarik diri dari lingkungannya.
Beberapa faktor yang menyebabkan kecemasan dalam berbicara di depan umum, cenderung menyebabkan individu yang bersangkutan merekam di pikiran bawah sadarnya baik secara visual, auditori, kinestetik, maupun hal-hal yang berdampak terhadap kepercayaan dirinya saat berbicara di depan umum. Menurut Rahmat (2009) Ketakutan untuk melakukan komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Individu yang aprehensif dalam komunikasi, akan menarik diri dari pergaulan, berusaha sekecil mungkin untuk berkomunikasi, dan hanya akan berbicara apabila terdesak saja. Bila kemudian ia terpaksa berkomunikasi, pembicaraannya seringkali tidak relevan, sebab berbicara yang relevan tentu akan mengundang reaksi orang lain, dan ia akan dituntut berbicara lagi. Semiun Y (2006) menyebutkan ada empat aspek yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum yaitu :
a.       Aspek suasana hati. Aspek-aspek suasana hati dalam gangguan kecemasan adalah kecemasan, tegang, panik dan kekhawatiran, individu yang mengalami kecemasan memiliki perasaan akan adanya hukuman atau bencana yang akan mengancam dari sumber tententu yang tidak diketahui. Aspek-aspek suasana hati yang lainnya adalah depresi dan sifat mudah marah.
b.      Aspek kognitif. Aspek-aspek kognitif dalam gangguan kecemasan menujukan kekhawatiran dan keprihatianan mengenai bencana yang diantisipasi oleh individu misalnya seseorang individu yang takut berada ditengah khayak ramai (agorapho) menghabiskan banyak waktu untuk khawatir mengenai hal-hal yang tidak menyenangkan (mengerikan) yang mungkin terjadi dan kemudian dia merencanakan bagaimana dia harus menghindari hal-hal tersebut.
c.       Aspek somatik. Aspek-aspek somatik dari kecemasan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu pertama adalah Aspek-aspek langsung yang terdiri dari keringat, mulut kering, bernapas pendek, denyut nadi cepat, tekanan darah meningkat, kepala terasa berdenyut-denyut, dan otot terasa tegang. Kedua apabila kecemasan berkepanjangan, Aspek-aspek tambah seperti tekanan darah meningkat secara kronis, sakit kepala, dan gangguan usus (kesulitan dalam pencernaan, dan rasa nyeri pada perut) dapat terjadi.
d.      Aspek motor. Orang-orang yang cemas sering merasa tidak tenang, gugup, kegiatan motorik menjadi tanpa arti dan tujuan, misalnya jari-jari kaki mengetuk-mengetuk, dan sangat kaget terhadap suara yang terjadi secara tiba-tiba. Aspek-aspek motor ini merupakan gambaran rancangan kognitif dan somatik yang tinggi pada individu dan merupakan usaha untuk melindungi diri dari apa saja yang dirasanya mengancam
Cormier dan Cormier (dalam Abimanyu, 1996) memberi pengertian relaksasi (otot) sebagai usaha mengajari seseorang untuk relaks, dengan menjadikan orang itu sadar tentang perasaan-perasaan tegang dan perasaan-perasaan relaks kelompok-kelompok otot utama, seperti tangan, muka, leher, dada, bahu, punggung dan perut, dan kaki. Dengan melakukan relaksasi, maka reaksi-reaksi fisiologis yang dirasakan individu akan semakin berkurang, sehingga ia akan merasakan rileks. Sedangkan reaksi-reaksi psikologis dilakukan dengan menghilangkan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan negatif ketika berbicara di depan umum.
Penelitian yang dilakukan oleh para ahli di Amerika menunjukkan bahaa Terapi Perilaku Kognitif efektif untuk mengurangi depresi (Dobson, 1989) dan meningkatkan harga diri dan kompetensi sosial pada anak-anak yang agresif (Lochman. 1992). Penelitian yang dilakukan oleh Utami (1991 ) yang membedakan antara Terapi Kognitif dan Relaksasi pada mahasiswa yang rnengalarni kecemasan berbicara di muka umum, menunjukkan bahwa kedua terapi tersebut sama-sama efektif dalarn menurunkan kecernasan mereka

DAFTAR PUSTAKA
Wahyuni, s. (2014). Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa Psikologi.  eJournal Psikologi, 2(1), 2014: 50-64.

Bukhori, B. (2016). Kecemasan Berbicara di Depan Umum di Tinjau dari Kepercayaan Diri dan Keaktifan dalam Organisasi Kemahasiswaan. Jurnal Komunikasi Islam, 06(01), Juni 2016, 2088-6314.
Indriawati, P. (2018). Pengaruh Kepercayaan Diri dan Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa FKIP Universitas Balikpapan. Dimensi, 7(1), Maret 2018, 2085-9996.

Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss. (2005). Theories Of Human Communication. Thomson Wadsworth.

Setianingrum, A. A., Yusmansyah, & Shinta, M. (2013). Upaya Mengurangi Kecemasan Berbicara di Depan Umum Menggunakan teknik Relaksasi. Jurnal Bimbingan Konseling.

Oktavianti, R. & Farid, R. Belajar Public Speaking Sebagai Komunikasi yang Efektif. Jurnal Bakti Masyarakat Indonesia, 2(1), Mei 2019, Hal. 117-122, 2620-7710.

Utami, D. D., Yuni, S. & Amestia, P. P. (2017). Kapsul Motivasi Meningkatkan Kepercayaan Diri Mahasiswa. Prosiding SEMNAS Penguatan Individu di Era Revolusi Informasi, ISBN: 978-602-361-068-6.

Utami, M. S. (1991). Efektivitas Relaksasi dan Terapi Kognitif untuk Mengurangi Kecemasan Berbicara Di Muka Umum. Berkala Penelitian Pasca Surjana UGM, 4 (2A), 3 11-32 1.

Purnamaningsih, E. H. & Muhana, S. U. (1998). Efektivitas Terapi Perilaku Kognitif Unutk Mengurangi Kecemasan Berbicara di Muka Umum. Jurnal Psikologi, No. 1, 1998, 1,65-76.


0 komentar:

Posting Komentar