14.6.20

KORBAN PERILAKU AGRESIF PACAR? JANGAN TINGGAL DIAM!


UJIAN AKHIR PSIKOLOGI SOSIAL
(Semester Genap 2019/2020)


KHARISMA AYU MUTIARA DEWI
19310410070
Arundati Shinta (NIK. 1.60 / DY / UP45)
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

  Saat ini di Indonesia sudah tidak asing lagi bagi kita perilaku remaja yaitu perilaku pacaran. Pacaran merupakan proses menyatukan antara dua insan manusia yang masih berada dalam rangakaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan yang lebih serius yaitu pernikahan. Kita sering melihat remaja remaja yang sedang berpacaran di taman atau tempat tempat yang romantis. Berpegangan tangan, memberikan perhatian yang lebih dengan cara pacaran mereka tanpa melihat situsi. Atau yang sering kita ucapkan adalah seakan dunia milik mereka berdua.
                   
Baik pria maupun wanita jika sudah terbuai dengan kata kata atau terlalu cinta dengan lawan jenis pasangan. Apapun mereka akan  lakukan atau menerima perilaku pasangan tanpa memerdulikan resikonya atau bahasa remaja saat ini adalah BUCIN. Yang lebih sering bucin terhadap pasangan adalah seorang wanita. Wanita rela mendapatkan apapun, mulai dari perilaku atau melakukan apapun untuk pasangannya. Demi bersama pasangannya dan selagi pasangannya bahagia. Apalagi yang sudah lama berpacaran. Ada pernyataan bahwa “Pacaran yang berjangka lama yang didepannya manis tetapi lama kelamaan akan muncul sifat/perilaku aslinya”. Lalu bagaimana jika perilaku agresif yang dia dapatkan sebagai perilaku aslinya? Bagaimana itu terjadi? Apa yang harus dia lakukan jika mendapatkan perlakuan seperti itu?
Scheneiders (1955) mengartikan perilaku agresif sebagai luapan emosi atas reaksi terhadap kegagalan individu yang ditunjukkan dalam bentuk perusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan kata-kata (verbal) dan perilaku non-verbal. Sars (1985) beranggapan bahwa agresi merupakan setiap perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain, atau adanya perasaan ingin menyakiti orang lain yang ada dalam diri seseorang. Sedangkan Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1988) memandang perilaku agresif sebagai tingkah laku kekerasan. Secara fisik ataupun verbal terhadap individu atau objek-obejek lain.
Kasus kekerasan pada perempuan sudah tercatat oleh Komnas Prempuan (Ridwan, 2006) sebanyak 3169 kasus kekerasan terhadap perempuan, kaum perempuan paling banyak mengalami kekerasan dan pengani ayaan oleh orang orang terdekatnya (40%) serta tindak perkosaan dikomunitasnya sendiri (32%) dari 14 daerah yang tercatat di Indonesia. Pola ini berlaku dikota kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta, di daerah yang miskin dan penuh konflik, maupun di daerah yang diwarnai kedinamisan ekonomi serta budaya seperti Surabaya dan Sulawesi Selatan.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) atau Dating Violence biasanya berasal dari faktor pengalaman kekerasan dalam keluarga. Yaitu ketika remaja tersebut melihat kekerasan ayahnya terhadap ibunya atau diri sendiri yang selalu mendapatkan kekersan dari keluarganya. Pengalaman kekerasan inilah yang membuat remaja tersebut akan memebentuk karakter atau kepribadian dalam dirinya bahwa kekerasan merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan dan tertanam dalam diri individu. Jika hal tersebut terjadi maka dalam diri individu tersebut terdapat gangguan kepribadian. Remaja tersebut akan menirukan hal tersebut jika pasangannya melakukan kesalahan yang membuatnya sangat marah. Yang kedua adalah faktor dari remaja yang sering melihat konten kekerasan di media online. Tayangan pada media seperti tayangan film juga sedikitnya memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan. Penelitian yang dilakukan psikolog Albert Bandura mengenai paparan kekerasan di media dengan sikap agresif anak menemukan keterkaitan antara paparan kekerasan di media saat masa kanak-kanak dan serangkaian masalah di masa dewasa. Misalnya, orang yang sejak kecil sudah terpapar tayangan kekerasan di televisi secara intens dua kali lebih mungkin untuk menyiksa pasangan mereka secara fisik dibandingkan dengan mereka yang kurang terpapar.
Seperti yang sudah kita ketahui kekerasan ini bisa berbetuk fisik maupun verbal. Fisik seperti memukul, menjambak, menampar yang berkaitan dengan fisik manusia atau anggota tubuh. Sedangkan secara verbal atau simbolis berupa kata-kata kasar, kata-kata tidak layak dengar kata makian, hinaan, mengancam, dan membatasi pergaulan. Lalu kenapa wanita yang sudah diperlakukan kekerasan masih bertahan? Karena mereka mendapatkan ancaman dari pria seperti contoh “Kalau kamu masih bertemu dengan cowok lain. Jangan harap hubungan kita masih berlangsung! Ngerti!” atau kalimat “Kamu jangan kebanyakan bacod. Kamu mau apa nggk!” wanita tersebut menerima karna kembali kagi pia itu adalah pacarnya dan berpikiran dia bisa berubah.

Kepribadian seseorang ada yang bisa dirubah namun ada juga yang tidak bisa dirubah. Jika tidak berubah apakah harus bersama selamanya? Ini malah akan merusak diri wanita sendiri. Yang bisa berakibat trauma kepada Pria dan enggan untuk dekat atau pacaran lagi dengan pria. Maka dari itu putuskan pria tersebut dan mencari yang lain. Adapun pencegahan untuk kekerasan dalam pacaran. Cohen dan Wills (1985) mengklasifikasikan dukungan sosial dalam lima kategori yaitu: pertama yaitu emotional support, yang meliputi ekspresi empati, peduli, dan perhatian terhadap orang lain. Kedua yaitu esteem support, bentuk dukungan ini berupa penghargaan positif pada individu, pemberian semangat, persetujuan pada pendapat individu, dan perbandingan yang positif dengan individu lain. Bentuk dukungan ini membantu individu dalam membangun harga diri dan kompetensi. Ketiga yaitu tangible or instrumental support, bentuk dukungan ini merupakan penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti pinjaman uang, pemberian barang, makanan, serta pelayanan. Bentuk dukungan ini dapat mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Keempat yaitu informational support, bentuk dukungan ini melibatkan pemberian informasi, pengetahuan, petunjuk, saran atau umpan balik tentang situasi, dan kondisi individu. Jenis informasi seperti ini dapat menolong individu untuk mengenali dan mengatasi masalah dengan lebih mudah. Kelima yaitu network support, bentuk dukungan ini akan membuat individu merasa menjadi anggota dari suatu kelompok yang memiliki kesamaan minat dan aktivitas sosial dengan kelompok. Dengan begitu individu akan memiliki perasaan senasib (Sarafino & Smith, 2002).
Yang paling penting adalah dukungan dari keluarga yaitu dalam membangun interaksi dengan lawan jenis yang lebih sehat dan konstruktif. Dalam ini significant others tidak memiliki korelasi dengan kecenderungan perilaku kekerasan dalam berpacaran. Hal ini mungkin dikarenakan oleh significant others bukanlah seseorang yang memiliki dampak langsung dalam kehidupan remaja. Seperti memberi perhatian dan meningkatkan komunikasi yang baik dengan anak remajanya agar mereka dapat terbuka ketika anak ingin bercerita hal apapun pada orang tua terutama masalah pacar agar anak tidak merasa segan atau takut.

Daftar Pustaka
Susantyo, B. (2011). MEMAHAMI PERILAKU AGRESIF: Sebuah Tinjauan Konseptual. Informasi, Vol. 16 No. 03.
Febryana, R & Aristi, D. (2019). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tindakan Kekerasan dalam Pacaran pada Siswa SMA. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat. Vol.8 No. 3: 123-129. DOI: 10.33221/jikm.v8i03.352.
Khaninah, A. N & Widjanarko, M. (2016). PERILAKU AGRESIF YANG DIALAMI KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN. Jurnal Psikologi Undip. Vol.15 No.2. 151-160.
Mardiah, A., Satriana, D. P & Syahriati, E. (2017). PERANAN DUKUNGAN SOSIAL DALAM MENCEGAH KEKERASAN DALAM PACARAN: STUDI KORELASI PADA REMAJA DI JAKARTA. Jurnal Psikologi Ulayat. Vol. 4 No. 1. Hlm. 29-42

Referensi gambar

0 komentar:

Posting Komentar