JUDUL ARTIKEL KETUJUH: GANGGUAN SOMATOFORM
(SOMATISASI)
I R W A N T O
NIM. 16.310.410.1125)
Dosen Pembimbing. Wahyu Widiantoro, S.Psi, MA.
MATA
KULIAH: PSIKOLOGI ABNORMAL
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Gangguan
somatisasi atau disebut juga somatoform adalah suatu kelompok kelainan
psikiatrik yang manifestasinya dapat berupa berbagai gejala fisik yang
dirasakan signifikan oleh pasien, namun tidak ditemukan penyebabnya secara
medis. Sebuah penelitian di Jakarta menyebutkan bahwa di Puskesmas, jenis
gangguan piskiatri yang tersering adalah neurosis, yaitu sebesar 25,8%, dan di
dalamnya termasuk gangguan somatoform. Angka ini cukup besar, dan meningkat
lebih banyak di daerah perkotaan. Pasien biasanya datang dengan keluhan fisik
tertentu dan spesifik.
Apa saja ciri khas gangguan
somatisasi?
- Biasanya menyerang usia sebelum usia 30 tahun dan lebih sering pada wanita.
- Keluhan atau gejala fisik berulang, banyak gejala dan berubah-ubah. Gejala yang sering dialami pasien antara lain:
- Sakit perut, diare, atau sembelit
- Sakit kepala yang berpindah-pindah
- Sakit punggung, sakit lengan, dan sendi-sendi tubuh seperti lutut dan pinggul
- Pusing bahkan sampai pingsan
- Masalah menstruasi, misalnya kram saat menstruasi
- Sesak napas
- Sakit dada dan jantung berdebar-debar
- Mual, kembung, begah
- Masalah saat berhubungan seksual
- Gangguan tidur, baik insomnia atau hipersomnia
- Lemah, letih, lesu dan kurang bertenaga
- Perilaku tersebut sudah berlangsung lebih dari 2 tahun.
- Pasien datang dengan disertai permintaan pemeriksaan medis, bahkan sampai memaksa dokter.
- Hasil pemeriksaan medis yang dilakukan dokter tidak menunjukkan adanya kelainan yang dapat menjelaskan keluhan tesebut.
- Pasien biasanya menolak membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis. Pasien selalu mencari informasi tentang gejala yang dialaminya dan bersikap “sok tahu”.
- Gejala awal dan lanjutan dari keluhan yang dialami berhubungan erat dengan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau konflik-konflik di kehidupan pasien.
- Pasien biasanya menunjukkan perilaku mencari perhatian (histrionik), terutama karena pasien tidak puas dan tidak berhasil membujuk dokter menerima pikirannya bahwa keluhan yang dialami merupakan penyakit fisik dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
- Pasien selalu tidak mau menerima nasihat dari berbagai dokter yang menyatakan tidak ada kelainan medis yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut
Bagaimana bila Anda atau anggota keluarga
mengalami gangguan somatisasi
Langkah awal untuk menghentikan gangguan
somatisasi adalah menerima bahwa gejala yang timbul berasal dari pikiran.
Dengan sikap menerima, Anda akan lebih mudah untuk mengatasi gejala yang
diderita. Kemudian, hentikan kebiasaan “belanja dokter” secara
bertahap.Periksakan gejala yang Anda alami konsisten pada satu dokter dan
bangun kepercayaan pada dokter tersebut. Anda
juga sebaiknya mengontrol tingkat stress yang dapat memicu gejala tersebut
datang menghampiri.
Caranya dengan banyak melakukan aktivitas
fisik, hobi, olahraga, ataupun rekreasi bersama keluarga.Selain itu, olahraga
yang memadukan olah fisik dan pikiran seperti yoga, dapat dicoba sebagai
pengalaman baru.Relaksasi dan olah napas juga dapat membantu meredakan gejala
yang dialami. Keluhan yang dialami
berasal dari pikiran, sehingga Anda harus mampu mengendalikan jika keluhan
tersebut mulai datang.Perbanyak komunikasi dengan keluarga dan sahabat tanpa
membantu melupakan gejala tersebut.Bergabung dengan komunitas baru juga mampu
mengusir gejala yang selama ini Anda alami secara bertahap.Jika memungkinkan,
Anda bisa meminta dokter kepercayaan untuk mengikuti program tertentu.Salah
satu program untuk penderita gangguan ini adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).Terapi
ini merupakan salah satu tatalaksana yang efektif untuk mengelola gangguan
somatoform dalam jangka panjang.
Contoh kasus
Iwan pegawai
swasta berusia 34 tahun ini sudah hampir satu tahun merasakan keluhan penyakit
yang sering berpindah-pindah. Dia mengeluh merasa pegal-pegal, badannya terasa
tidak enak, perut terasa penuh dan mual serta sering merasa seperti keluar
keringat dingin.
Iwan juga sering merasa dadanya sesak bila bernapas. Dia bercerita bahwa ia pernah berobat di bagian penyakit dalam dan telah dilakukan beberapa tes, namun dinyatakan hasilnya semua dalam batas normal.
Iwan juga sering merasa dadanya sesak bila bernapas. Dia bercerita bahwa ia pernah berobat di bagian penyakit dalam dan telah dilakukan beberapa tes, namun dinyatakan hasilnya semua dalam batas normal.
Pria itu
tentunya tidak percaya hal tersebut, karena sebenarnya dia merasa ada yang
salah memang dengan dirinya.Oleh sejawat dokter ahli penyakit dalam, Iwan
disarankan untuk datang ke bagian psikiatri/jiwa karena mungkin ada problem
psikis yang melatari keluhannya. Dia pun sempat kesal karena saran itu, dia berkata “Memangnya saya gila
Dok?!”.Hal itu dikarenakan dia merasa kehidupannya baik-baik saja. Bilapun ada
masalah, Iwan memang cenderung lebih menyimpannya sendiri dan tidak pernah
membicarakan dengan orang lain bahkan dengan istrinya sekalipun.
Gangguan somatoform adalah suatu
kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri, mual,
dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat.Gejala
dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional
yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi
di dalam peranan sosial atau pekerjaan.Suatu diagnosis gangguan somatoform
mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang
besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.Gangguan somatoform adalah
tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan. Ada lima gangguan somatoform yang
spesifik adalah:
1. Gangguan somatisasi ditandai oleh
banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem organ.
2. Gangguan konversi ditandai oleh satu
atau dua keluhan neurologis.
3. Hipokondriasis ditandai oleh fokus gejala
yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit
tertentu.
4. Gangguan dismorfik tubuh ditandai oleh
kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh
mengalami cacat.
5. Gangguan nyeri ditandai oleh gejala
nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau secara
bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga
memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform:
Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih. Gangguan somatoform dibagi menjadi beberapa sub, namun yang paling sering dijumpai di klinik adalah yang dinamakan gangguan somatisasi dan gangguan hipokondrik. Gangguan Somatisasi, Ganguan ini ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berlangsung lama dan biasanya keluhannya berulang-ulang namun berganti-ganti tempat. Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter (doctor shopping).Beberapa pasien bahkan ada yang sampai dilakukan operasi, namun hasilnya negatif.Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan.Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
Biasanya bermula sebelum usia 30-an dan telah berlangsung beberapa tahun. Pasien biasanya tidak mau menerima pendapat dokter bahwa mungkin ada dasar psikologis yang mendasari gejalanya. (Andri Suryadi, 2007).
Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih. Gangguan somatoform dibagi menjadi beberapa sub, namun yang paling sering dijumpai di klinik adalah yang dinamakan gangguan somatisasi dan gangguan hipokondrik. Gangguan Somatisasi, Ganguan ini ditandai dengan adanya keluhan-keluhan berupa gejala fisik yang bermacam-macam dan hampir mengenai semua sistem tubuh. Keluhan ini biasanya sudah berlangsung lama dan biasanya keluhannya berulang-ulang namun berganti-ganti tempat. Pasien biasanya telah sering pergi ke berbagai macam dokter (doctor shopping).Beberapa pasien bahkan ada yang sampai dilakukan operasi, namun hasilnya negatif.Keluhan yang paling sering biasanya berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung, bertahak, mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar, kesemutan, baal dan pedih. Pasien juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh, misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri saat berhubungan badan.Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan gangguan haid.Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.
Biasanya bermula sebelum usia 30-an dan telah berlangsung beberapa tahun. Pasien biasanya tidak mau menerima pendapat dokter bahwa mungkin ada dasar psikologis yang mendasari gejalanya. (Andri Suryadi, 2007).
1.
Teori Psikodinamika
Menurut teori
psikodinamika, simtom histerikal memiliki fungsi : Memberikan orang tersebut
keuntungan primer dan keuntungan sekunder. Keuntungan primer, yang didapat
adalah memungkinkan individu untuk mempertahankan konflik internal direpresi.
Orang tersebut sadar akan simtom fisik yang muncul namun bukan konflik yang
diwakilinya. Dalam kasus-kasus seperti itu, “simtom” merupakan symbol dari, dan
memberikan orang tersebut “pemecahan sebagian” untuk konflik yang mendasarinya.
2. Teori Belajar
Dalam
pandangan teori belajar, simtom dari gangguan hipokondrias dan gangguan
dismorfik tubuh dihubungkan dengan gangguan obsesif kompulsif (Barsky dkk.,
1992; Cororve&Gleaves, 2001).Pada hipokandrias, orang terganggu oleh
pikiran-pikiran yang obsesif dan menimbulkan kecemasan mengenai kesehatan
mereka. Pergi dari satu dokter ke dokter lain dapat merupakan suatu bentuk dari
perilaku kompulsif yang diperkuat oleh hilangnya kecemasan yang dialami secara
temporer saat mereka diyakinkan kembali oleh dokternya bahwa kekuatan mereka
tidak terbukti. Namun pikiran-pikiran yang menggangu kembali muncul, mendorong
mereka melakukan konsultasi ayng berulang.
3. Teori Kognitif
Teori kognitif
berspekulasi bahwa hipokondrias dapat mewakili sebuah tipe dari strategi
self-handicapping, suatu cara menyalahkan kinerja yang rendah pada kesehatan
yang buruk (Smith, Synder & Perkins, 1983). Teori ini juga berspekulasi bahwa hipokondriasis dan
gangguan panic yang sering kali terjadi secara bersamaan, dapat memiliki
penyebab yang sama, cara berpikir yang terdiostorsi yang membuat orang tersebut
salah mengartikan perubahan kecil dalam sensasi tubuh sebagai tanda dari
bencana yang akan terjadi (Salkovskis7 Clark, 1993). Perbedaan antara kedua
gangguan itu terletak pada apakah interpretasi yang salah dari tanda-tanda
tubuh membawa sebuah persepsi tentang ancaman yang akan segera terwujud dan
lalu menyebabkan terjadinya kecemasan yang berputar cepat ataukah tentang
ancaman dengan kisaran yang lebih panjang dalam bentruk proses penyakit yang
mendasarinya.
Berdasarkan
hasil analisis bahwa subjek sudah hampir satu tahun merasakan keluhan penyakit
yang sering berpindah-pindah. Dia mengeluh merasa pegal-pegal, badannya terasa
tidak enak, perut terasa penuh dan mual serta sering merasa seperti keluar
keringat dingin, hal ini menurut Andri Suryadi (2007), bahwa Pasien biasanya
telah sering pergi ke berbagai macam dokter (doctor shopping). Beberapa pasien
bahkan ada yang sampai dilakukan operasi, namun hasilnya negatif. Keluhan yang paling sering biasanya
berhubungan dengan sistem organ gastrointestinal (perasaan sakit, kembung,
bertahak, mual dan muntah) dan keluhan pada kulit seperti rasa gatal, terbakar,
kesemutan, baal dan pedih. Pasien
juga sering mengeluhkan rasa sakit di berbagai organ atau sistem tubuh,
misalnya nyeri kepala, punggung, persendian, tulang belakang, dada atau nyeri
saat berhubungan badan.Kadang juga terdapat keluhan disfungsi seksual dan
gangguan haid.Gangguan ini lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria.
daripada pria.
Somatization
Disorder
Gangguan somatisasi adalah salah satu
gangguan somatoform spesifik yang ditandai oleh banyaknya keluhan fisik/gejala
somatik yang mengenai banyak sistem organ yang tidak dapat dijelaskan secara
adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.
Gangguan somatisasi dibedakan dari gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan melibatkaan sistem organ yang multiple (sebagai contoh, gastrointestinal dan neurologis). Gangguan ini bersifat kronis dengan gejala ditemukan selama beberapa tahun dan dimulai sebelum usia 30 tahun dan disertai dengan penderitaan psikologis yang bermakna, gangguan fungsi sosial dan pekerjaan, dan perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gangguan somatisasi pada populasi
umum diperkirakan 0,1 – 0,2 %, walaupun beberapa kelompok penelitian percaya
bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 0,5 %. Prevalensi gangguan
somatisasi pada wanita di populasi umum adalah 1 – 2 %. Rasio penderita wanita
dibanding laki-laki adalah 5 berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia
dewasa muda (sebelum usia 30 tahun). Beberapa
peneliti menemukan bahwa ggangguan somatisasi seringkali bersama-sama dengan gangguan
mental lainnya.Sifat kepribadian atau gangguan kepribadian yang seringkali
menyertai adalah yang ditandai oleh ciri penghindaran, paranoid, mengalahkan
diri sendiri dan obsesif konpulsif.
ETIOLOGI
Penyebab ganggguan somatisasi tidak diketahui
secara pasti tetapi diduga terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap
timbulnya gangguan somatisasi yakni:
Faktor Psikososial
Terdapat faktor psikososial berupa konflik
psikis dibawah sadar yang mempunyai tujuan tertentu. Rumusan psikososial
tentang penyebab gangguan melibatkan interpretasi gejala sebagai sutu tipe
komunikasi sosial, hasilnya adalah menghindari kewajiban (sebagai contoh:
mengerjakan ke pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan emosi (sebagai
contoh: kemarahan pada pasangan), atau untuk mensimbolisasikan suatu perasaan
atau keyakinan (sebagai contoh: nyeri pada usus seseorang). Beberapa pasien dengan gangguan somatisasi
berasal dari rumah yang tidak setabil dan telah mengalami penyiksaan
fisik.Faktor sosial, kultural dan juga etnik mungkin juga terlibat dalam
perkembangan gangguan somatisasi.
Faktor Biologis
Ditemukan adanya faktor genetik dalam
transmisi gangguan somatisasi dan adanya penurunan metabolisme (hipometabolisme) suatu zat tertentu di
lobus frontalis dan hemisfer nondominan.Selain itu diduga terdapat regulasi
abnormal sistem sitokin yang mungkin menyebabkan beberapa gejala yang ditemukan
pada gangguan somatisasi.
GAMBARAN KLINIS
Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya
gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple), berulang dan sering
berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum pasien
datang ke psikiater.Kebanyakan pasien mempunyai riwayat pengobatan yang panjang
dan sangat kompleks, baik ke pelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik,
dengan hasil pemeriksaan atau bahkan operasi yang negatif. Keluhannya dapat mengenai setiap sistem atau
bagian tubuh manapun, tetapi paling lajim mengenai keluhan gastrointestinal
(perasaan sakit, kembung, mual, muntah), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan
tungkai, napas pendek yang tidak berhubungan dengan aktivitas dan
keluhan-keluhan perasaan abnormal pada kulit (perasaan gatal, rasa terbakar,
kesemutan, baal, pedih, dsb.), serta bercak-bercak pada kulit.Keluhan mengenai
seks dan haid juga lazim terjadi.
Penderitaan psikologis dan masalah
interpersonal adalah menonjol, dan sering sekali terdapat anxietas dan depresi
yang nyata sehingga memerlukan terapi khusus. Pasien biasanya tetapi tidak
selalu menggambarkan keluhannya dengan cara yang dramatik, emosional, dan
berlebih-lebihan, dengan bahasa yang gamblang dan bermacam-macam. Pasien wanita
dengan gangguan somatisasi mungkin berpakaian eksibisionistik. Pasien mungkin
merasa tergantung, berpusat pada diri sendiri, haus akan pujian atau sanjungan
dan manipulatif. Gangguan somatisasi sering
disertai oleh gangguan mental lainnya, termasuk gangguan depresi berat,
gangguan kepribadian, gangguan berhubungan dengan zat, gangguan kecemasan umum,
dan fobia. Kriteria diagnosis gangguan
somatisasi berdasarkan DSM IV:
a.
Riayat banyak keluhan fisik dengan onset
sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun dan
menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi
penting lainnya.
b.
Tiap kriteia berikut ini harus ditemukan,
dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama perjalanan
gangguan.
c. Empat
gejala nyeri: Riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat
atau fungsi yang berlebihan (misalnya: kepala, perut, punggung, sendi, anggota
gerak, dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual, atau selama
miksi).
d. Dua
gejala gastrointestinal: Riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain
dari nyeri (misalnya: mual, kembung, muntah selain dari kehamilan, diare, atau
intoleransi terhadap berbagai jenis makanan).
e. Satu
gejala seksual: Riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduksi selain
dari nyeri (misalnya: indiferensi seksual, disfungsi erektil, atau ejakulasi,
menstruasi yang tidak teratur, perdaraahan menstruasi yang berlebih, muntah
sepanjang kehamilan).
f. Satu
gejala pseudoneurologis: Riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang
mengarahkan pada kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala
konversi seperti gangguaan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau
kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan ditenggorokan, retensi urin,
hilangnya sensasi sentuh atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia atau hilangnya kesadaran selain
pingsan).
Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau
dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau pura-pura). Diagnosis pasti gangguan somatisasi
berdasarkan PPDGJ III:
1.
Ada banyak dan berbagai gejala fisik yang
tidak dapat dijelaskan adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2
tahun.
2.
Selalu tidak mau menerima nasehat atau
penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat
menjelaskan keluhan-keluhannya.
3.
Terdapat disabilitas dalam fungsinya di
masyarakat dan keluarga, yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan
dampaak daari perilakunya.
PERJALANAN PENYAKIT DAN
PROGNOSIS
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang
berlangsung kronik, berfluktuasi, menyebabkan ketidakmampuan dan sering kali
disertai dengan ketidakserasian dari perilaku sosial, interpersonal dan
keluarga yang berkepanjangan. Episode
peningkatan keparahan gejala dan perkembangan gejala yang baru diperkirakan
berlangsung 6 – 9 bulan dan dapat dipisahkan dari periode yang kurang
simtomatik yang berlangsung 9 – 12 bulan.Tetapi jarang seorang pasien dengan
gangguan somatisasi berjalan lebih dari satu tahun tanpa mencari suatu
perhatian medis.
Seringkali terdapat hubungan antara periode
peningkatan stress atau stress baru dan eksaserbasi gejala somatik. Prognosis gangguan somatisasi umumnya sedang
sampai buruk.
TERAPI
Pasien dengan gangguan somatisasi paling baik
diobati jika mereka memiliki seorang dokter tunggal sebagai perawat kesehatan
umumnya.Klinisi primer harus memeriksa pasien selama kunjungan terjadwal yang
teratur, biasanya dengan interval satu bulan.
Jika gangguan somatisasi telah didiagnosis,
dokter yang mengobati pasien harus mendengarkan keluhan somatik sebagai
ekspresi emosional, bukannya sebagai keluhan medis.Tetapi, pasien dengan
gangguan somatisasi dapat juga memiliki penyakit fisik, karena itu dokter harus
mempertimbangkan gejala mana yang perlu diperiksa dan sampai sejauh mana.
Strategi luas yang baik bagi dokter perawatan
primer adalah meningkatkan kesadaran pasien tentang kemungkinan bahwa faktor
psikologis terlibat dalam gejala penyakit.Psikoterapi dilakukan baik individual
dan kelompok.Dalam lingkungan psikoterapetik, pasien dibantu untuk mengatasi
gejalanya, untuk mengekspresikan emosi yang mendasari dan untuk mengembangkan
strategi alternatif untuk mengekspresikan perasaan mereka. Pengobatan psikofarmakologis diindikasikan
bila gangguan somatisasi disertai dengan gangguan penyerta (misalnya: gangguan
mood, gangguan depresi yang nyata, gangguan anxietas. Medikasi harus dimonitor
karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan obat secara
berlebihan dan tidak dapat dipercaya.
Hipokondria
Kecemasan seorang penderita hipokondria tidak
sebatas meyakininya saja, tetapi diikuti dengan tindakan, misalnya
"Belanja Dokter", "Belanja Rontgen Hipokondria adalah kecemasan yang berlebihan
terhadap suatu atau beberapa penyakit. Penderita hipokondria akan selalu
menanggapi keluhan-keluhan fisik dengan sangat serius, dan menyimpulkan bahwa
dia menderita penyakit tertentu.
Contoh:
Orang normal jika batuk ya menganggap dia sedang batuk saja.
Penderita hipokondria jika batuk berpikir bahwa dia terkena TBC, atau bahkan kanker paru.", sampai "Belanja Lab". Hal ini disebabkan penderita hipokondria selalu meragukan atau bahkan tidak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter yang dia terima.Padahal hasilnya sudah sangat super akurat.
Orang normal jika batuk ya menganggap dia sedang batuk saja.
Penderita hipokondria jika batuk berpikir bahwa dia terkena TBC, atau bahkan kanker paru.", sampai "Belanja Lab". Hal ini disebabkan penderita hipokondria selalu meragukan atau bahkan tidak percaya dengan hasil pemeriksaan dokter yang dia terima.Padahal hasilnya sudah sangat super akurat.
Selanjutnya
dia akan mengunjungi dokter lain yang dianggapnya lebih pintar, dan seterusnya. Tak cukup dengan "Belanja Dokter",
penderita hipkondria juga berusaha mencari informasi tentang penyakitnya
melalui buku-buku
atau internet. Dalam dunia psikiatri,
hipokondria termasuk ke dalam gangguan mental atau psikis.Biasanya ditandai
dengan perhatian berlebih terhadap kesehatan tubuh sendiri.Pikiran penderita
selalu terpusat pada imajinasi tentang penyakit gawat yang menyerang tubuhnya,
sehingga kehidupan pribadi dan sosialnya terganggu.
Penyebab
Penyebab
hipokondria umumnya adalah trauma, kecemasan, emosi negatif yang dipendam,
beban emosional dan konflik psikologis.
Gejala
*
Ketakutan atau kecemasan berlebihan mengalami penyakit tertentu
*
Khawatir bahwa gejala minor berarti ada penyakit yang serius
*
Mencari, mengulangi ujian atau konsultasi medis
*
Sering berganti dokter
*
Frustrasi dengan dokter atau perawatan medis
*
Hubungan sosial tegang
*
Gangguan emosi
*
Sering memeriksa tubuh untuk masalah-masalah, seperti benjolan atau luka
*
Sering memeriksa tanda-tanda vital seperti denyut nadi atau tekanan darah
*
Ketidakmampuan diyakinkan oleh ujian medis
*
Berpikir mempunyai penyakit setelah membaca atau mendengar tentang hal itu
*
Menghindari situasi yang membuat merasa cemas, seperti berada di rumah sakit
TERAPI
Secara umum, pendekatan cognitive-behavioral
terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis (e.g. Bach, 2000; Feranandez,
Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Penelitian
menujukkan bahwa penderita hypochondriasis memperlihatkan bias kognitif dalam
melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu kesehatan (Smeets et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004). Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan
untuk mengubah pemikiran pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya
dikaitkan dengan strategi yang mengalihkan penderita gangguan ini dari
gejala-gejala tubuh dan meyakinkan mereka untuk mencari kepastian medis bahwa
mereka tidak sakit (e.g. Salkovskis&Warwick, 1986;Visser& Bouman, 1992; Warwick & Salkovskis,
2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Somatoform
Pain Disorder atau Gangguan Rasa Nyeri
Gangguan nyeri (pain
disorder)
Pada pain disorder, penderita mengalami rasa
sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan secara signifikan; faktor psikologis
diduga memainkan peranan penting pada kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit
yang dirasakan.Pasien kemungkinan tidak mampu untuk bekerja dan menjadi
tergantung dengan obat pereda rasa sakit. Rasa nyeri yang timbul dapat
berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat pula terjadi agar individu
dapat terhindar dari kegiatan yang tidak menyenangkan dan untuk mendapatkan
perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak didapat. Diagnosis akurat mengenai
pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari rasa nyeri
selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana rasa nyeri
itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti penglihatan
dan pendengaran.Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang dirasakan
merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah sulit.Akan
tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana rasa nyeri
yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa nyeri dari
individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik.
Gejalanya:
Pada gangguan ini individu akan mengalami
gejala sakit dan nyeri pada satu tempat atau lebih, yang tidak dapat dijelaskan
dengan pemeriksaan medis (non psikiatris) maupun neurologis. Simptom ini
menimbulkan stress emosional ataupun gangguan fungsional, dan gangguan ini di
anggap memiliki hubungan sebab akibat dengan factor psikologis. Keluhan yang
dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat dipengaruhi oleh
keadaan emosi, kognitif, atensi, dan situasi (Kaplan , sadock, dan Grebb, 1994).
Ciri-ciri:
Individu yang merasakan nyeri akibat gangguan
fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang dialaminya dengan lebih spesifik,
lebih detail dalam memberikan gambaran sensoris dari rasa nyeri yang
dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa nyeri yang dirasakan menjadi
lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al., dalam Davidson, Neale, Kring,
2004).
Pandangan psikodinamika
Mengemukakan
bahwa rasa sakit yang dialami penderita mungkin secara simbolis mengekspresikan
konflik intrapsikis pada keluhan tubuh.
Terapi:
Prevalensi gangguan nyeri pada perempuan 2
kali lebih banyak dibandingkan laki-laki, dan puncak onsetnya terjadi sekitar
usia 40-50 tahun mungkin karena pada usia tersebut toleransi terhadap rasa
sakit sudah berkurang. Terapi untuk Pain Disorder:
Berdasarkan mutakhir, biasanya tidak ada gunanya membuat perbedaan yang tajam
antara rasa nyeri psikogenik dan rasa nyeri yang benar-benar di sebabkan oleh
factor medis, seperti cedera jaringan otot. Umumnya diasumsikan bahwa rasa
nyeri selalu mengandung kedua komponen tersebut.penanganan yang efektif
cenderung terdiri dari hal-hal berikut:
- Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita.
- Relaxation training
- Memberi reward kepada mereka yang berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri. Secara umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
Conversion
Disorder
Pada conversion disorder, gejala sensorik dan
motorik, seperti hilangnya penglihatan atau kelumpuhan secara tiba-tiba,
menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan rusaknya sistem saraf, padahal organ
tubuh dan sistem saraf individu tersebut baik-baik saja.Aspek psikologis dari
gejala conversion ini ditunjukkan dengan fakta bahwa biasanya gangguan ini
muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang tidak menyenangkan.Biasanya hal ini
memungkinkan individu untuk menghindari beberapa aktivitas atau tanggung jawab
atau individu sangat ingin mendapatkan perhatian. Istilah conversion, pada
dasarnya berasal dari Freud, dimana disebutkan bahwa energi dari instink yang
di repress dialihkan pada aspek sensori-motor dan mengganggu fungsi normal.
Untuk itu, kecemasan dan konflik psikologis diyakini dialihkan pada gejala
fisik.
Gejalanya:
Gejala conversion biasanya berkembang pada
masa remaja atau awal masa dewasa, dimana biasanya muncul setelah adanya
kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup. Prevalensi dari conversion
disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak dialami oleh wanita (Faravelli et
al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Conversion
disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis Axis I lainnya seperti depresi dan
penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan gangguan kepribadian, yaitu
borderline dan histrionic personality disorder (Binzer, Anderson&Kullgren,
1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Teori
Psikoanalisis dari Conversion Disorder
Pada Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer
dan freud menyebutkan bahwa conversion disorder disebabkan ketika seseorang
mengalami peristiwa yang menimbulkan peningkatan emosi yang besar, namun
afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan tentang peristiwa tersebut
dihilangkan dari kesadaran. Gejala
khusus conversion disebutkan dapat berhubungan sebab-akibat
dengan peristiwa traumatis yang memunculkan gejala tersebut.Freud juga
berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal kehidupan,
diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan. Berdasarkan
pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports dan tingkah
laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically blind person
dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan dapat
dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka dapat
melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.
Teori
Behavioral dari Conversion Disorder
Pandangan behavioral yang dikemukakan
Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring, 2004), menyebutkan bahwa
gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana individu mengadopsi simptom
untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan mereka, individu dengan
conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai dengan pandangan mereka
mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang mempengaruhi kemampuan
motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini menimbulkan dua pertanyaan : (1)
Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2) Dalam kondisi seperti apa perilaku
tersebut sering muncul ?Berdasarkan bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan
(1) adalah ya. Seseorang dapat mengadopsi
pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion. Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan
kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat pula dimunculkan pada orang yang
sedang dalam pengaruh hipnotis.Sedangkan untuk pertanyaan (2) Ullman dan
Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang dapat meningkatkan kecenderungan
ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat ditiru. Pertama, individu harus
memiliki pengalaman dengan peran yang akan diadopsi. Individu tersebut dapat
memiliki masalah fisik yang serupa atau mengobservasi gejala tersebut pada
orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut harus diberikan reward.
Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika perilaku itu diharapkan
dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh konsekuensi positif yang lain.
Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya didukung oleh bukti-bukti
literatur.
Faktor
Sosial dan Budaya pada Conversion Disorder
Salah satu bukti bahwa faktor social dan
budaya berperan dalam conversion disorder ditunjukkan dari semakin berkurangnya
gangguan ini dalam beberapa abad terakhir.Beberapa hipotesis yang menjelaskan
bahwa gangguan ini mulai berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam
bidang psikoanalisis menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika
tingkat kemunculan conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku
seksual yang di repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi
gangguan ini. Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya
norma seksual dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad
ke 20, yang lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak
berkaitan dengan hal fisiologis daripada sebelumnya.
Selain itu peran faktor sosial dan budaya
juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka
yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang
rendah (Binzer et al.,1996; Folks,
Ford & Regan,
1984 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan
oleh kurangnya pengetahuan mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu,
diagnosis mengenai hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti
Inggris, dan lebih umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et
al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004 ).
Faktor
Biologis pada Conversion Disorder
Meskipun faktor genetic diperkirakan menjadi
faktor penting dalam perkembangan conversion disorder, penelitian tidak
mendukung hal ini. Sementara itu, dalam beberapa penelitian, gejala conversion
lebih sering muncul pada bagian kiri tubuh dibandingkan dengan bagian kanan
(Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Hal ini merupakan penemuan
menarik karena fungsi bagian kiri tubuh dikontrol oleh hemisfer kanan otak.Hemisfer
kanan otak juga diperkirakan lebih berperan dibandingkan hemisfer kiri
berkaitan dengan emosi negatif.Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih
besar diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi
gejala pada bagian kanan versus bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004).
TERAPI
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
Case report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
Kata somatoform diambil dari bahasa
Yunani soma, yang berarti “tubuh”. Gangguan Somatoform merupakan suatu
kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan tentang masalah atau simtom fisik
yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab kerusakan fisik atau dengan kata lain
gangguan ini muncul karena adanya kekhawatiran patologis seseorang terhadap
penampilan atau fungsi tubuhnya, yang biasanya tanpa disertai oleh kondisi
medis yang dapat diidentifikasi. Jadi Gangguan Somatoform adalah suatu kelompok
gangguan yang meliputi simtom fisik (misalnya : nyeri, mual, dan pening) dimana
tidak dapat ditemukan penjelasan secara medis. Berbagai
simtom dan keluhan somatik tersebut cukup serius, sehingga menyebabkan stress
emosional dan gangguan dalam kemampuan penderita untuk berfungsi dalam
kehidupan sosial dan pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan
penilaian klinis bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk
keparahan dan durasi gejala.
Gangguan somatoform dijelaskan dalam
DSM-IV (American Psychiatric Association (APA),
1994) sebagai adanya gejala fisik yang menunjukkan kondisi medis dasar, tapi
kondisi medis tidak ditemukan sepenuhnya untuk tingkat penurunan
fungsional. Pada diagnosis DSM termasuk gangguan somatisasi, gangguan
konversi, gangguan nyeri, hypochondriasis, dan gangguan dismorfik tubuh, dengan
kondisi terkait termasuk cord
dysfunction, distrofi refleks simpatik, dan nyeri perut berulang.
Gejala somatik yang umum pada anak-anak
didiagnosis jarang. Dalam komunitas sampel 540 anak-anak usia sekolah, Garber,
Walker, dan Zeman (1991) menemukan bahwa hanya 1,1% dari anak-anak memenuhi
kriteria diagnostik untuk gangguan somatisasi penuh sesuai dengan kriteria
DSM-III-R. Demikian pula, tingkat gangguan diperkirakan kurang dari 1% dari
populasi umum (APA, 1994). Ciri-ciri
gangguan somatofm, yaitu:
a.
Kelompok gangguan yang ditandai oleh keluhan
tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab
kerusakan fisik.
b.
Bukan merupakan Malingering: kepura-puraan
simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil eksternal yang jelas, misalnya
menghindari hukuman, mendapatkan pekerjaan, dsb.
c.
Bukan pula Gangguan Factitious/Gangguan
Buatan: gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikis atau fisik yang
disengaja tanpa keuntungan yang jelas atau untuk mendapatkan peran sakit.
Macam-Macam dari Gangguan
Somatofm
DSM-IV menyebutkan lima gangguan somatoform dasar, yakni:
Hypochondriasis, Somatization Disorder, Conversion Disorder, Pain Disorder,
Body Dysmorphic Disorder. Pada masing-masing gangguan, individu secara
patologis mengkhawatirkan penampilan atau fungsi tubuhnya.
1. HYPOCHONDRIASIS
(Hipokondriasis)
Kata “Hypochondriasis” berasal dari istilah
medis lama “hypochondrium”, yang berarti dibawah tulang rusuk, dan
merefleksikan gangguan pada bagian perut yang sering dikeluhkan pasien
hipokondriasis. Pada hipokondriasis ditandai dengan kecemasan atau ketakutan
memiliki penyakit serius. Hipokondriasis merupakan hasil interpretasi pasien
yang tidak realistis dan tidak akurat terhadap gejala somatik, sehingga
menyebabkan ketakutan bahwa mereka memiliki gangguan yang parah (misalnya:
Kanker atau masalah jantung), bahkan meskipun tidak ada penyebab medis yang
ditemukan.
Rasa takut tetap ada walaupun telah
diyakinkan medis bahwa ketakutan itu tidak berdasar.Pada umumnya pasien
hipokondriasis mengalami ketidaknyamanan fisik, seringkali melibatkan system
pencernaan atau campuran rasa sakit dan nyeri.Selain itu pasien ini juga sangat
sensitif terhadap perubahan ringan dalam sensasi fisik, seperti perubahan dalam
detak jantung dan sedikit sakit serta nyeri. Jadi Hipokondriasis adalah
gangguan somatoform yang melibatkan kecemasan berat seseorang karena adanya
keyakinan bahwa dirinya sedang mengalami proses penyakit tanpa adanya dasar
fisik yang jelas. Ciri-ciri diagnostik dari hipokondriasis :
1.
Orang tersebut terpaku pada ketakutan
memiliki penyakit serius atau pada keyakinan bahwa dirinya memiliki penyakit
serius. Orang tersebut menginterpretasikan sensasi tubuh atatu tanda-tanda
fisik sebagai bukti dari penyakit fisiknya.
2.
Ketakutan terhadap suatu penyakit fisik, atau
keyakinan memiliki suatu penyakit fisik, yang tetap ada meski telah diyakinkan
secara medis.Keterpakuan tidak hanya pada intensitas khayalan (orang itu
mengenali kemungkinan bahwa ketakutan dan keyakinan ini terlalu
dibesar-besarkan atau tidak mendasar) dan tidak terbatas pada kekhawatiran pada
penampilan.
3.
Keterpakuan menyebabkan distress emosional
yang signifikan atau mengganggu satu atau lebih area fungsi yang penting,
seperti fungsi social atau pekerjaan.
4.
Gangguan telah bertahan selama 6 bulan atatu
lebih.
5.
Keterpakuan tidak muncul secara eksklusif
dalam konteks gangguan mental lain.
2. SOMATIZATION
DISORDER (Gangguan Somatisasi)
Gangguan somatisasi, sebelumnya dikenal
sebagai sindrom Briquet, yang mengacu pada nama dokter dari Perancis, Pierre
Briquet yang pertama kali menjelaskan gangguan ini. Gangguan somatisasi adalah
suatu tipe gangguan somatoform yang melibatkan berbagai keluhan yang muncul
berulang-ulang, yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab fisik apapun.Gangguan
ini memiliki karakteristik dengan berbagai keluhan atau gejala somatik yang
tidak dapat dijelaskan secara akurat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik
maupun laboratorium.
Keluhan-keluhan yang diutarakan biasanya
mencakup system-sistem organ yang berbeda.Keluhan-keluhan itupun tampak
meragukan dan dibesar-besarkan, dan orang itu sering kali menerima perawatan
medis dari sejumlah dokter.Perbedaan gangguan somatisasi dengan gangguan somatoform lainnya adalah
banyaknya keluhan dan banyaknya system tubuh yang terpengaruh. Ciri-ciri gangguan somatisasi meliputi:
1.
Riwayat banyak keluhan fisik yang mulai
muncul sebelum usia 30 tahun, yang berlangsung selama bertahun-tahun dan
menyebabkan individu mencari penanganan untuk mengatasi masalahnya atau
mengalami hendaya signifikan dibidang-bidang yang dianggap penting.
2.
Menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:(1)
Empat gejala fisik (nyeri) pada lokasi berbeda (misalnya
kepala,pundak,lutut,kaki); (2) dua gejala gastrointestinal yang tidak
menimbulkan nyeri (misalnya mual, diare, kembung); (3) satu gejala seksual
(misalnya pendarahan menstruasi yang sangat banyak, disfungsi ereksi); (4) satu
gejala pseudoneurologis (misalnya penglihatan ganda,gangguan koordinasi atatu
keseimbangan, sulit menelan).
3.
Keluhan-keluhan fisik tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya berdasarkan kondisi medis secara umum atau berdasarkan efek
substansi tertentu (misalnya efek obat atau penyalah gunaan obat) atau bila ada
kondisi medis secara umum, keluhan fisik atau hendayanya melebihi perkiraan
untuk kondisi medis tersebut.
4.
Keluhan atau daya ingat tidak dibuat secara
sengaja atau pura-pura.
3. CONVERSION
DISORDER (Gangguan Konversi)
Gangguan konversi adalah mal-fungsi fisik,
seperti kebutaan atau kelumpuhan yang mengesankan adanya kerusakan neurologis,
tetapi tidak ada patologi organik yang menyebabkan.Pada gangguan ini dicirikan
oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik,
meski tidak ada temuan medis atau neurologi yang dapat ditemukan sebagai simtom
atau kemunduran fisik tersebut.Gejala somatik ini biasanya timbul tiba-tiba
dalam situasi yang penuh tekanan.
Gangguan konversi dinamakan demikian karena
adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran,
atau konversi, dari energy seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom
fisik.Pada masa lampau, konversi ini dikenal dengan istilah hysteria. Gangguan ini biasanya mulai pada masa remaja
atau dewasa muda, terutama setelah mereka mengalami stress dalam
kehidupan.Prevalensinya sekitar 22 orang per 100.000 penduduk, dengan penderita
perempuan 2 kali lebih banyak dibandingkan laki-laki. Ciri-ciri Diagnostik
dari Gangguan Konveksi :
a.
Paling tidak terdapat satu simtom atau
defisit yang melibatkan fungsi motoriknya
atau fungsi sensoris yang menunjukkan adanya gangguan fisik
b.
Faktor psikologis dinilai berhubungan dengan
gangguan tersebut karena onset atau kambuhnya simtom fisik terkait dengan
munculnya stresor psikososial atau situasi konflik.
c.
Orang tersebut tidak dengan sengaja
menciptakan simtom fisik tersebut atau berpura-pura memilikinya dengan tujuan
tertentu.
d.
Simtom tidak dapat dijelaskan sebagai suatu
ritual budaya atau pola respons, juga tidak dapat dijelaskan dengan gangguan
fisik apapun melalui landasan pengujian yang tepat
e.
Simtom menyebabkan distres emosional yang
berarti, hendaya dalam satu atau lebih area fungsi, seperti fungsi sosial atau
pekerjaan, atau cukup untuk menjamin perhatian medis.
f.
Simtom tidak terbatas pada keluhan nyeri atau
masalah pada fungsi seksual, juga tidak dapat disebabkan oleh gangguan mental
lain.
Freud
mengemukakan bahwa terdapat empat proses dasar dalam pembentukan gangguan
konveksi:
a.
Individu mengalami peristiwa traumatik, hal
ini oleh Freud dianggap awal munculnya beberapa konflik yang tidak diterima dan
disadari.
b.
Konflik dan kecemasan yang dihasilkan tidak
dapat diterima oleh ego, terjadi proses represi (membuat hal ini tidak disadari).
c.
Kecemasan semakin meningkat dan mengancam
untuk muncul ke kesadaran, sehingga orang tersebut dengan cara tertentu
“mengkonversikannya” ke dalam simtom fisik. Hal ini mengurangi tekanan bahwa ia
harus mengatasi langsung konfliknya disebut primary gain (peristiwa yang
dianggap member imbalan primer dan mempertahankan simtom konversi).
d.
Individu memperoleh perhatian dan simpati
yang besar dari orang-orang di sekitarnya dan mungkin juga dapat melarikan diri
atau menghindar dari tugas atau situasi tertentu terdapat pula secondary gain.
4. PAIN
DISORDER (Gangguan Nyeri)
Pain disorder atau Gangguan nyeri adalah
ganguan somatoform yang memiliki fitur nyeri riil tetapi baik onset, tingkat
keparahan, maupun persistensinya banyak ditentukan oleh faktor-faktor
psikologis. Gangguan nyeri ini biasanya pada satu tempat atau lebih, yang tidak
dapat dijelaskan secara medis maupun neurologis. Simtom ini menimbulkan stress
emosional ataupun gangguan fungsional sehingga berkaitan dengan faktor
psikologis. Keluhan dirasakan pasien berfluktuasi intensitasnya, dan sangat
dipengaruhi oleh keadaan emosi, kognisi, atensi, dan situasi sehingga faktor
psikologis mempengaruhi kemunculan,bertahannya, dan tingkat keparahan gangguan. Ciri-ciri gangguan nyeri meliputi:
1.
Adanya nyeri/rasa sakit serius di satu lokasi
antomis atau lebih
2.
Nyeri itu menyebabkan distres yang signifikan secara klinis.
3.
Faktor-faktor psikologis di nilai berperan
pokok dalam onset, tingkat keparahan, keadaan yang memburuk, atau persistensi
nyeri.
4.
Nyeri itu bukan pura-pura atau sengaja
dibuat.
5. BODY
DYSMORPHIC DISORDER (Gangguan Dismorfik Tubuh)
Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan yang
memiliki preokupasi disroptif pada kekurangan yang dibayangkan terdapat pada
penampilan seseorang (imagined ugliness). Artinya dimana seseorang memiliki
preokupasi dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata (misalnya hidung yang
dirasakan kurang mancung), atau keluhan yang berlebihan tentang kekurangan
tubuh yang minimal atau kecil.Orang pada gangguan dismorfik tubuh terpaku pada
kekurangan fisik yang dibayangkan atau dibesar-besarkan dalam hal penampilan
mereka. Mereka dapat menghabiskan waktu berjam-jam untuk memeriksakan diri di
depan cermin dan mengambil tindakan yang ekstrem untuk mencoba memperbaiki
kerusakan yang dipersepsikan, bahkan menjalani operasi plastik yang tidak
dibutuhkan. Pada gangguan ini faktor subjektivitas berperan penting.Penyebab
gangguan hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti.Namun diperkirakan
terdapat hubunganhubungan antara gangguan dengan pengaruh budaya atau sosial,
dengan adanya konsep stereotip tentang kecantikan.
PENANGANAN GANGGUAN
SOMATOFORM
- Penanganan biasanya melibatkan terapi psikodinamika atau kognitif-behavioral yang bertujuan untuk mengubah pemikiran pesimistis.
- Penanganan Biomedis yakni penggunaan anti depresan yang terbatas dalam menangani hipokondreasis.
- Terapi kognitif Behavioral dapat berfungsi pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder( keuntungan sekunder), memperbaiki perkembangan keterampilan coping untuk mengatasi stress dan memperbaiki keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan seeorang
- Terapi psikodinamika atau yang berorientasi terhadap pemahaman dapat ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengenali konflik-konflik yang mendasarinya.
1. Gangguan
Somatisasi (DSM III)
a)
Gangguan somatis yang dikeluhkan secara
berulang-ulang dan macam-macam keluhan yang membutuhkan perhatian medis
b)
Secara medis tidak ada bukti
c)
Gangguan terjadi mulai umur 25 tahun
d)
Keluhan : sakit kepala, kelelahan, sakit di
dada, perut, saluran kencing, mau muntah/mual/pingsan.
e)
Prevelensi wanita lebih banyak daripada pria.
“Sick
Role” (modus operan untuk mendapatkan perhatian) → wanita lebih banyak
mengalami somatisasi dibanding pria
Butuh
perhatian
Konstruk
budaya : double burder. Konflik peran yang dialami :nurut, nrimo; tidak boleh complain, hanya bisa menangis.
Biologis
: pengaruh hormonal
f)
Secara memikat dapat menunjukkan keluhannya
g)
Dapat meyakinkan dokter atas keluhannya
h)
Ada unsur “secondary gain”.
Dinamika
Psikologis
Kepribadian tertentu (premorbit; rapuh) → stressor (sumber stress) → coping
maladaptif → defence mechanism → tidak efektif (proses ketidak sadaran) →
keluhan-keluhan fisik → ketidakmampuan mengatasi stress → “secondary gain” (+).
Primary Gain : stressor,
coping maladaptif, defence mechanism.
Menurut DSM IV Gejala-gejala yang muncul harus meliputi :
Sejarah
munculnya berbagai keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun dan muncul
selama beberapa tahun. Keluhan tersebut mengakibatkan usaha untuk mencari
perawatan atau gangguan dalam interaksi sosial, pekerjaan, atau fungsi dalam
bidang lain yang penting. Masing-masing dari kriteria dibawah ini harus
terpenuhi, dengan simtom individu muncul pada beberapa waktu selama terjadinya
gangguan:
(1)
Empat simtom nyeri pada lokasi yang berbeda,
misalnya kepala, pundak, lutut, kaki
(2)
Dua simtom gastrointestinal, misalnya diare,
mual
(3)
Satu simtom seksual yang berbeda dari rasa
sakit atau nyeri, misalnya
ketidakmampuan ereksi
(4)
Satu simtom pseudoneurologis seperti pada
gangguan konversi
Keluhan-keluhan
1.
Kardiovaskuler : berdebar-debar, tengkuk
pegal, dan darah tinggi
2.
Gastro-intestinal (sistem pencernaan) : ulu
hati sakit, perut sakit, kembung, diare kronis
3.
Tractus-respiratorius (sistem pernapasan) :
sesak nafas
4.
Muskulo-skeletal (otot dan tulang) :
encok/rematik, pegel-pegel, sakit kepala, kejang
5.
Dermis (kulit) : gatal-gatal, eksim
6.
Endokrin : banyak keringat, sering gugup,
gangguan haid
7.
Tractus Urogenital (sistem kemih dan alat
kelamin) : mengompol, impoten, nafsu seks berkurang/bertambah
Psikosomatis
Dinamika Psikologis
Kondisi
fisiknya dengan imunitas → stressor → appraisal (penilaian; interpretasi, pola
pikir) (-) → coping maladptif → reaksi psikofisiologis → gangguan fisiologis
yang nyata → perilaku maladptif ketidak mampuan mengatasi stress yang dihadapi
→ “secondary gain” (+).
Primary
Gain : stressor, appraisal (-), coping maladptif.
Perbedaan antara
somatisasi dan psikosomatis
Somatisasi
1.
Timbul masalah, kemudian timbul
keluhan/gejala fisik
2.
Tidak ada penyakitnya; penyakit dibuat-buat;
tidak dapat dijelaskan
3.
Keluhan fisik yang dilakukan secara
berulang-ulang
4.
Secara medis tidak terbukti → ada
keluhan–keluhan fisik muncul beberapa tahun
5.
Menunggu interaksi sosial, pekerjaan/fungsi
dalam bidang lain
Psikosomatis
1.
Keluhan fisik yang sebelumnya telah dimiliki
kemudian baru timbul masalah
2.
Ada penyakitnya; dapat diriwayatkan
(dijelaskan)
3. Psychogenic
Pain
1. Keluhan
yang muncul biasanya pada punggung dan leher
2. Diiringi
atau dicetuskan dengan oleh perubahan yang meyakinkan dalam hubungan sosial
3. Individu
tidak menyadari ada hubungan antara sakitnya dengan stres
4. Ada
kecenderungan menolak dan mengingkari sebab-sebab psikologis
5. Tidak
mudah ditreatment secara psikologis
4. Hypochondriasis
(DSM IV)
1. Keluhan
hampir sama dengan Psychogenic Pain
2. Ada
kecenderungan salah menafsirkan perasaan-perasaan dan sensasi tentang fisiknya
yang normal sebagai indikasi penyakit fisik yang berat
3. Keluhannya
pada setiap bagian tubuh biasanya pada perut dan jantung
4. Pasien
selalu datang ke dokter, meskipun dokter tidak mampu melakukan pengobatan →
Doctor’s Shopping
5. Prognosis
jelek → tidak bisa menerima feedback/sedikit memungkinkan sembuh
6. Untuk
sembuh sangat sulit karena adanya Negative Style (mis. ngeyel)
7. Pasien
dengan Hipokondri sangat pandai berperan sebagai orang sakit dengan tujuan
untuk : mendapatkan sakit, mendapatkan perhatian, dan diterima kegagalannya
5. Body Dysmorphic Disorder
1. Preokupasi
(ketidak sempurnaan) dengan kecacatan tubuh yang tidak nyata (misalnya hidung
yang dirasakan kurang mancung, kulit yang dirasakan kurang putih)
2. Perempuan
lebih memfokuskan pada bagian kulit, dada, paha, dan kaki sedangkan laki-laki
lebih memfokuskan pada tinggi badan, ukuran alat vital, atau rambut tubuh
3. Prevalensi
perempuan lebih banyak daripada laki-laki
4. Onset
biasanya terjadi pada usia 15-20 tahun
6. Konversi → hysteria
1. Mengalami
anesthesia, yaitu kelumpuhan sebagian/seluruhnya pada bagian kaki, tangan,
gangguan koordinasi/kejang
2.
Tunnel vision : lapangan pandangan terbatas
3.
Aphonia : kehilangan suara
4.
Anosmia (kehilangan atau hendaya dalam
kemampuan penciuman)
5.
Gangguan dengan munculnya satu/beberapa
simtom neurologis
6.
Tidak dapat dijelaskan dengan penjelasan
medis
Asesmen
1. Wawancara
→ Data demografi klien, Riwayat Keluhan Klien
2. Observasi
→ penampilan klien saat datang ke terapis, komunikasi verbal (intonasi suara,
volume suara), komunikasi non-verbal
3. Tes
Psikologis → Tes Kepribadian (Grafis, Ro, TAT-CAT), skala stres dan depresi,
dll.
Interversi
Psikologis
Persiapan Intervensi :
1.
Menyampaikan
langkah-langkah terapi yang akan diberikan, misalnya konseling sebagai langkah
awal
2.
Menjelaskan jenis tritmen yang akan diberikan
dan berapa kali tritmen dilakukan
3.
Mempersiapkan sarana prasarana yang
diperlukan
Jenis
intervensi yang dapat dilakukan:
Konseling
1.
Khusus untuk psikosomatis, konseling
diarahkan tentang pengaturan pola makan, olahraga, kepatuhan minum obat,
problem psikologisnya
2.
Psikoterapi, misalnya relaksasi dan lain-lain
sesuai dengan kebutuhan klien dan penguasaan terapisnya
3.
Pemberian pekerjaan rumah untuk memperlancar
proses terapi, contohnya self-monitoring, mempratekkan relaksasi,
bibliotherapy, terapi musik, terapi psiko-religius, dll.
KASUS
Contoh Kasus
Gangguan Somatoform
Budi
Santoso Spegawai swasta berusia 30 tahun ini sudah hampir satu tahun merasakan
keluhan penyakit yang sering berpindah-pindah. Dia mengeluh merasa pegal-pegal,
badannya terasa tidak enak, perut terasa penuh dan mual serta sering merasa
seperti keluar keringat dingin. Budi
juga sering merasa dadanya sesak bila bernapas. Dia bercerita bahwa ia pernah
berobat di bagian penyakit dalam dan telah dilakukan beberapa tes, namun
dinyatakan hasilnya semua dalam batas normal. Pria itu tentunya tidak percaya hal tersebut, karena
sebenarnya dia merasa ada yang salah memang dengan dirinya.Oleh sejawat dokter
ahli penyakit dalam, Budi disarankan untuk datang ke bagian psikiatri/jiwa
karena mungkin ada problem psikis yang melatari keluhannya. Dia pun sempat kesal karena saran
itu, dia berkata “Memangnya saya gila Dok?!”. Hal itu dikarenakan dia merasa kehidupannya baik-baik saja.
Bilapun ada masalah, Iwan memang cenderung lebih menyimpannya sendiri dan tidak
pernah membicarakan dengan orang lain bahkan dengan istrinya sekalipun.
Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis yang adekuat.Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk
menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada
kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan.Suatu
diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor
psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi
gejala.Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari
atau gangguan buatan. Ada
lima gangguan somatoform yang spesifik adalah:
1.
Gangguan
somatisasi ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem
organ.
2.
Gangguan
konversi ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.
3.
Hipokondriasis
ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan pasien bahwa
ia menderita penyakit tertentu.
4.
Gangguan
dismorfik tubuh ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang
berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.
5. Gangguan nyeri ditandai oleh gejala
nyeri yang semata-mata berhubungan dengan faktor psikologis atau secara
bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform: Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
DSM-IV juga memiliki dua kategori diagnostik residual untuk gangguan somatoform: Undiferrentiated somatoform, termasuk gangguan somatoform, yang tidak digolongkan salah satu diatas, yang ada selama enam bulan atau lebih.
KESIMPULAN
Gangguan somatisasi merupakan gangguan dengan
karakteristik berbagai keluhan atau gejala somatik yang tidak dapat dijelaskan
secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik maupun laboratorium. Keluhan
somatic yang tejadi berkali-kali berupa sakit kepala, lelah, alergi, sakit
perut, dada dan punggung, gangguan yang berhubungan dengan kelamin, jantung
berdebar dan sering juga terjadi simtom konversi, kesulitan menstruasi, ketidak
pedulian seksual. Gangguan somatisasi ini biasanya dimulai sebelum usia 30.
Pada wanita, gangguan ini dapat terdiri dari menstruasi tidak teratur,
menorhagia, atau muntah selama kehamilan.Pada pria, mungkin ada gejala seperti
ereksi atau
DAFTAR PUSTAKA
Ahead. 2008. Gangguan Jiwa: Siapa yang Waras. http://sedanghidup.blogspot.com/
Andri Suryadi. 2007. Gangguan psikomatik, problem psikis yang gerogoti fisik. http://www.maitreya.or.id/forums
Andri Suryadi. 2007. Gangguan psikomatik, problem psikis yang gerogoti fisik. http://www.maitreya.or.id/forums
Arya Verdi. 2008. Gangguan Identitas Gender. http://aryaverdiramadhani.blogspot.com/2008/06/vj33vi2008-gangguan-identitas-gender.html
Barlow & Durand, 1995 Fausiah Fitri, Widury Julianti.
2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Davison & Neale dari Fausiah Fitri, Widury Julianti.
2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa,
Universitas Indonesia. Jakarta
dr. Engelberta Pardamean, SpKJ, 2007. Gangguan Somatoform. Symposium sehari
kesehatan jiwa dalam rangka menyambut hari kesehatan jiwa sedunia. Ikatan
Dokter Indonesia.
Faruq
dalam http://faruqngabar.wordpress.com/2011/10/08/gangguan-somatofm/ diakses
pada tanggal 20/04/12.
Jeffrey S. Dkk. 2003. Psikologi Abnormal Jilid I. Jakarta. Erlangga.
Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994 dari Fausiah Fitri,
Widury Julianti. 2007. Psikologi Abnormal
Klinis Dewasa, Universitas Indonesia. Jakarta.
Kellner, R. (1991). Psychosomatic syndromes and
somatic symptoms. Washington, DC: American Psychiatric Press.
Kendall & Hammen, 1998 dari Fausiah Fitri, Widury
Julianti. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa, Universitas Indonesia.
Jakarta.
Landgraf, J. M., Abetz, L., & Ware, J. E. (1996).The
Child Health Questionnaire (CHQ) user's manual. Boston, MA: The Health
Institute, New England Medical Center.
Nevid
S.Jeffrey dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara.
Senium Yustinus. 2006. kesehatan Mental, Percetakan
Kanius. Yogyakarta.
Supratiknya, Dr. A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal.
Yogyakarta.
Tomb,
David. A. 2000. Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC.
V.
Mark Durank & Dvid H.Barlow.2006.Psikologi Abnormal. Jilid 1 dan 2.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar.
Wiramihardja Sutardjo, Dr. 2005. Pengantar Psikologi
Abnormal, PT.Refika Aditama. Bandung.
Yayudinaul
dalam www.scribd.com/mobile di akses pada tanggal 19/04/2012
0 komentar:
Posting Komentar