RESENSI
ARTIKEL: TOILET
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Sepanjang hayat, semua orang tentu mempunyai 8 tugas perkembangan.
Tugas perkembangan itu harus dilakukan dan harus lulus. Bila tugas perkembangan
pada awalnya gagal dilakukan, maka hal itu akan mempengaruhi tugas perkembangan
selanjutnya. Individu akan berperilaku aneh, untuk ‘menebus’ kegagalan tugas
perkembangannya pada masa lampau. Konsep tentang tugas perkembangan psikososial
ini dikemukakan oleh Erik Erikson (1902-1994), seorang ahli psikologi. Tugas
perkembangan tahap pertama, misalnya, adalah anak belajar untuk mempunyai rasa
percaya pada orang lain. Bila ia tidak mampu / tidak lulus dalam tugas ini maka
ia akan menjadi orang yang selalu curiga (trust
vs mistrust). Tugas perkembangan pertama ini terjadi ketika anak berusia
0-1 tahun.
Tugas perkembangan yang dibahas dalam tulisan ini adalah
tugas perkembangan kedua yaitu otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu. Tugas
ini berlangsung ketika anak berusia 1-3 tahun. Tugas perkembangan ini juga
sering disebut dengan fase anal (anus). Pada tahap ini, anak diajar tentang
toilet training yaitu semacam pelatihan dari orangtua agar anak mampu
mengendalikan keinginanannya untuk membuang kotoran tubuhnya (buang air besar
dan air kecil). Membuang kotoran itu harus tepat tempatnya, tepat waktunya,
tepat caranya, dan tidak mengganggu orang lain.
Prinsip toilet training yaitu mengajari anak untuk menyadari
apa yang dirasakan dalam tubuhnya, dan merencanakan kapan hal yang tidak
mengenakkan itu harus dikeluarkan tanpa merugikan orang lain. Anak juga belajar
bahwa dirinya tahu tentang kondisinya sendiri dan kondisi lingkungan, sehingga
anak belajar bahwa dirinya bisa mengendalikan diri sendiri (otonomi). Anak juga
belajar tentang cara-cara bagaimana membuat orang lain menjadi bahagia (tidak
mengganggu orang lain).
Agaknya, pelatihan sederhana seperti toiliet training ini
ternyata tidak dikuasai oleh mayoritas masyarakat kita. Ini tentu saja sangat
menyedihkan. Apa saja contoh perilaku orang-orang yang pada masa kanak-kanaknya
tidak lulus toilet training? Dalam artikel ini ada dua perilaku yang akan
dibahas.
Perilaku pertama adalah banyaknya anggota masyarakat yang
tidak mampu menggunakan toilet di rumah / di tempat umum dengan semestinya.
Mendapatkan toilet publik yang bersih adalah seperti mimpi saja. Bahkan toilet
di bandara saja tidak kering lantainya, padahal petugas pembersih toilet selalu
berjaga di dekat toilet tersebut. Sekolah-sekolah pun jarang mempunyai toilet
yang kering lantainya, bersih jambannya, wangi udaranya, terang lampunya, dan
terjaga privasinya. Dampaknya, toilet sering menjadi tempat yang paling dibenci
/ menakutkan bagi kebanyakan anak-anak sekolah. Oleh karena itu tepatlah
kiranya bila Steven Kandouw, Wakil Gubernur Sulawesi Utara, mencanangkan
Revolusi Toilet. Toilet yang bersih akan membuat masyarakat menjadi sehat,
maju, dan membanggakan.
Perilaku kedua yang menggambarkan kegagalan orang-orang dalam
toilet training pada masa anak-anak adalah kebiasaan menghujat di media sosial.
Media sosial merupakan tempat bagi banyak orang untuk menyumpah, menghujat,
memfitnah, menipu, menghasut, dan meneror orang lain. Media sosial digunakan
sebagai tempat primitif seperti halnya sungai untuk mengeluarkan hal-hal yang
tidak mengenakkan bagi tubuh. Orang primitf yang sudah sangat ingin buang hajat
tidak akan berpikir dua kali bila melihat sungai. Ia tidak akan memperhitungkan
bahwa tindakannya akan merugikan orang lain. Ia tidak akan sempat berpikir
bahwa ‘kotorannya’ akan menularkan penyakit pada orang lain. Ia merasa benar
membuang ‘hajat’ di media sosial, karena orang lain juga melakukan hal yang
sama. Jadilah media sosial seperti jamban atau sungai yang sangat kotor, bau,
dan tidak menyehatkan. Akankah kita juga akan menjadi manusia primitif?
Artikel ini sangat bagus, karena memberi pencerahan kepada
pembaca tentang alasan-alasan psikologis bagi perilaku-perilaku tidak bijaksana
yang ada di media sosial. Hal ini karena penulis memang mempuanyi latar
belakang yang sesuai dengan topik tulisannya. Kalimat-kalimatnya yang disusun
juga mudah dipahami. Tulisannya membuat kita semua (termasuk saya) malu, karena
telah melakukan hal-hal negatif di media sosial.
Hal-hal yang kurang dari artikel itu adalah hal-hal yang bisa
dilakukan bagi pembaca untuk mengurungkan niat ‘membuang hajat’ di media
sosial. Penulis tidak melakukannya mungkin karena keterbatasan tempat menulis.
Sumber resensi:
Utami, M.S.S. (2017). Toilet. Kompas. 24 Mei, halaman 6.
0 komentar:
Posting Komentar