10.1.17

HARUSKAH MENYAKITI SESEORANG BERDASARKAN ALASAN TERTENTU?



RESENSI ARTIKEL: FENOMENA KLITHIK DAN
PERKEMBANGAN MENTAL REMAJA


Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta


Klithik (Jawa: golek-golek) adalah perilaku yang mencari-cari perkara. Perkara itu biasanya menjurus pada kekerasan yaitu menusuk dengan pisau. Akhir-akhir ini, fenomena klithik sangat sering terjadi di Yogyakarta. Remaja, dalam hal ini yang paling sering adalah laki-laki, tanpa alasan apa pun ia langsung menyakiti orang lain. Perilaku menyakiti itu antara lain menyilet dan menusuk tubuh orang yang kebetulan ditemui secara tidak sengaja, sehingga menjadi target.

Persoalan yang berhubungan dengan perilaku klithik adalah korban dan masyarakat tidak mengetahui penyebab dari perilaku menyakiti tersebut. Hal ini karena pelaku dan korban sama-sama tidak saling mengenal, bahkan bertemu pun belum pernah. Oleh karena tidak tahu penyebabnya, maka masyarakat pun juga bingung untuk mencegahnya.


Apa penjelasan perilaku klithik ini dari teori psikoanalisa yang dikemukakan Sigmund Freud? Freud menjelaskan bahwa dalam setiap manusia ada dua dorongan instink yang saling berlawanan. Dorongan instink pertama adalah dorongan untuk hidup (eros), dan kedua adalah dorongan untuk mati (thanatos). Contoh perilaku yang didominasi oleh dorongan eros antara lain menolong orang sakit, saling membantu sesama, membuat program yang membuat orang lain bisa bekerja dengan nyaman, membalas kejahatan dengan kebaikan, dan sebagainya. Contoh perilaku yang didominasi dorongan thanatos antara lain menggunakan narkoba secara tidak bertanggung jawab, menekuni olah raga berbahaya seperti balap mobil, terjun payung, perilaku klitihik, dan mentato tubuhnya meskipun dengan alasan demi kesenian.

Dalam pengertian sehari-hari, dorongan eros adalah dorongan untuk membangun. Sementara itu dorongan thanatos adalah dorongan untuk merusak. Mana yang lebih cepat menuai hasil dan pelakunya menjadi terkenal? Tentu saja perilaku merusak adalah yang jauh lebih mudah dilakukan dan cepat membuat pelakunya menjadi terkenal, dibanding dengan perilaku eros. Perilaku merusak hanya membutuhkan waktu 5 menit, sedangkan perilaku membangung membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Bagaimana cara menerangkan perilaku klithik / thanatos ini dari segi perkembangan mental remaja? Erik Erikson, seorang tokoh psikoanalisa pengikut setia Freud, telah memberikan suatu teori perkembangan yang mampu menjelaskan fenomena klithik. Erikson telah mengaitkan teori perkembangan mental anak terutama biologis seksual infantil dengan pengaruh timbal balik interaksi sosial anak dengan dunia sekitarnya. Secara lebih jelas, Erikson mengemukakan 8 stadium perkembangan yang berurutan. Setiap stadium harus diselesaikan secara memuaskan untuk kemudian dilanjutkan pada stadium berikutnya. Jika stadium tertentu tidak berhasil, maka stadium berikutnya juga akan gagal dilakukan. Bentuk dari kegagalan itu antara lain ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri secara fisik, kognitif, sosial, dan emosional dengan lingkungan sosialnya. Apa saja 8 stadium dari Erikson itu?

Stadium ke-1 adalah untuk anak yang baru lahir sampai dengan usia 1 tahun. Pada stadium ini, anak belajar tentang rasa percaya dan tidak percaya yang mendasar sifatnya, terhadap lingkungan sosialnya. Stadium ini merupakan krisis pertama yang dialami anak. Pada ajaran Freud, stadium ini sama dengan fase oral, yang diwakili oleh mulut (bagian paling peka pada tubuh anak). Berdasarkan stadium ini, rasa percaya / tidak percaya anak terbentuk ketika anak menggunakan mulutnya untuk mendekati puting susu ibunya. Anak akan membentuk rasa percaya pada lingkungan sosialnya bila kebutuhannya untuk menyusui pada ibunya terpenuhi. Ibunya tidak menolak, yang berarti ibu mempercayakan puting susunya pada anaknya. Dampaknya, anak mengenal rasa percaya pada lingkungan sosialnya. Bila ibu menolak menyusui anaknya, maka artinya ibu tidak mempercayakan hal yang paling dibutuhkan anaknya. Anak menjadi belajar rasa tidak percaya. Anak yang tidak terpuaskan pada stadium ini kelak akan menajd orang dewasa yang tidak mampu mempercayai lingkungan sosialnya. Ia akan gagal membina hubungan sosial yang didasarkan pada rasa saling percaya ini.

Stadium ke-2 adalah untuk anak usia 2-3 tahun. Pada stadium ini, anak belajar tentang otonomi diri dan atau rasa malu / ragu ketika ia berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Pada ajaran Freud, stadium ini disebut fase anal. Bagian tubuh yang relevan dengan stadium ini adalah anus, sehingga anak belajar untuk menahan atau melepaskan kotoran yang ada dalam perutnya. Pada stadium ini, anak belajar tentang perilaku otonomi, atau tidak menahan-nahan apa yang ingin dilakukannya. Sebagai contoh, anak belajar makan sendiri, berjalan sendiri, dan berbicara dengan bebas. Bila anak berhasil dalam fase ini, maka kelak ketika dewasa ia akan menjadi orang yang otonom terhadap dirinya. Ia menjadi orang yang tidak peragu dan tidak pemalu. Bila anak tidak berhasil dalam fase ini, misalnya ia diejek dan sering dimarahi orangtuanya, maka kelak ia akan menjaid orang yang peragu dan tidak percaya diri.

Stadium ke-3 adalah untuk anak usia 3-5 tahun. Pada stadium ini, anak belajar untuk pembentukan perilaku berinisitatif atau perilaku merasa bersalah. Pada ajaran Freud, pada fase ini anak akan belajar mencintai orangtua yang beda jenis kelamin dengna anak. Jadi anak perempuan belajar mencintai ayahnya, dan anak laki-laki belajar mencintai ibunya. Pada fase ini anak akan mengembangkan aktivitas motorik dan intelektualnya. Bila anak tidak berhasil dalam fase ini, misalnya selalu kena marah orangtuanya, maka kelak ia akan merasa bersalah terhadap inisiatifnya sendiri untuk melatih motorik dan intelektualnya. Anak akan berkubang dengan rasa bersalah. Pelampiasannya sebagai orang dewasa adalah individu akan berdiam diri untuk menghindari kesalahan-kesalahan. Ia cenderung tidak mempunyai inisiatif.


Stadium ke-4 adalah untuk anak usia 6-11 tahun, atau anak sedang memasuki sekolah. Pada tahap ini anak belajar tentang perilaku rajin dan atau inferioritas. Pada tahap ini anak belajar dengan teman sebayanya, juga belajar untuk berperilaku rajin mengerjakan semua tugas-tugas sekolahnya. Bila pada tahap ini anak gagal, maka ia akan merasa rendah diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Ia menjadi orang dewasa yang sering merasa minder terhadap dirinya dan sering merasa iri terhadap kesuksesan orang lain. Oleh karena itu, pada tahap ini peran orangtua dan guru sangat penting untuk memperkuat perilaku rajin anak. Hindarkan anak dari perasaan inferior, yaitu dengan tidak membentak-bentak anak ketika ia gagal mengerjakan tugas sekolahnya.

Stadium ke-5 adalah untuk anak usia 11 tahun – akhir masa remaja atau sekitar usia 18 tahun. Pada stadium ini anak belajar untuk mencari identitas diri dan atau difusi peran (peran yang membingungkan). Pada fase ini anak belajar mencari identitas dirinya yang mantab, dengan cara mencoba berbagai hal. Dalam proses pencarian jati diri ini remaja sangat membutuhkan bimbingan dan panutan dari idolanya. Idolanya bisa saja berupa orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya yang berpengaruh, atau bintang film, bintang olah raga, dan sebagainya. Idola adalah orang dewasa yang dianggap sukses oleh remaja. Bila remaja gagal dalam fase ini maka ia akan mengalami kebingungan tentang peran yang akan dijalaninya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kebingungan dalam berperan ini membuat individu tidak mempunyai kebanggaan diri dan merasa diri tidak mampu.

Remaja yang berperilaku klithik itu, besar kemungkinannyamengalami penumpukan kegagalan dalam stadium-stadium tersebut di atas. Cara yang paling mudah menurut pemikirannya untuk mengatasi kegagalan tersebut adalah dengan merusak, agresif, dan menyakiti orang lain. Cara-cara itulah yang akan membuatnya merasa ia mempunyai peran tertentu dalam masyarakat, yaitu peran yang menyeramkan. Masyarakat menjadi takut, dan ia menjadi bangga. Sangat mungkin cara-cara tersebut ia ketahui dari media sosial yang sekarang ini sudah tidak terbendung / tidak ada sensor sama sekali.

Bagaimana cara mengatasi fenomena klithik ini? Pemberian hukuman dan pidana ringan adalah langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya juga dibutuhkan peran aktif dari terapis dan pemimpin anak-anak muda agar lebih peduli pada kegalauan remaja ini. Orang-orang dewasa tersebut bisa melakukan pelatihan outbound, sehingga potensi-potensi positif mereka tergali.

Hal-hal yang mencerahkan dari artikel ini adalah penulis membahas fenomena yang aktual dan menggelisahkan di masyarakat Yogyakarta. Tulisan ini sebagai refleksi atau sentilan bagi para orang dewasa yang lalai dengan situasi kegalauan remaja-remaja. Orang-orang dewasa tidak waspada bahwa remaja-remaja itu adalah pemimpin masa depan bangsa. Upaya-upaya ini perlu dilakukan dengan segera untuk mencegah para remaja itu menemukan thanatos yang sesungguhnya. Hal lain yang positif dari artikel ini adalah tulisan ini dapat digunakan para mahasiswa psikologi untuk mencerahkan kembali pengetahuan psikologi perkembangan yang pernah diterimanya di bangku kuliah. Artikel ini juga bisa menjadi semacam rujukan bagi esay-esay psikologi perkembangan, psikologi sosial, patologi rehabilitasi sosial, dan pelajaran ilmu sosial lainnya.

Hal-hal yang kurang dari artikel ini adalah bahasanya kurang terstruktur dengan baik. Hal ini memaksa saya untuk mencari referensi tambahan untuk memahami maksud sebenarnya tulisan ini. Selain itu, dari 8 stadium perkembangan mental remaja, penulis hanya menjelaskan 5 stadium saja. Hal ini membuat pembaca bertanya-tanya, sehingga pembahasan tulisan ini terasa kurang lengkap.

Pelajaran yang bisa dipetik dari artikel ini adalah remaja klithik itu sebenarnya merupakan peluang emas bagi para peneliti psikologi perkembangan untuk membantu menyelesaikan masalah dalam masyarakat ini. Selain itu fenomena ini bisa menjadi tema pengabdian masyarakat di daerah KKN (Kuliah kerja Nyata) para mahasiswa Yogyakarta. Hal ini karena fenomena klithik ternyata lebih banyak terjadi di daerah pinggiran kota yang sepi.

Sumber tulisan:

Wicaksana, I. (2017). Konsultasi kesehatan jiwa: Fenomena klithik dan perkembangan mental remaja. Kedaulatan Rakyat, kolom Husada. 8 Januari, halaman 10.

0 komentar:

Posting Komentar