RESENSI
ARTIKEL: FENOMENA KLITHIK DAN
PERKEMBANGAN
MENTAL REMAJA
Arundati
Shinta
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Klithik (Jawa: golek-golek) adalah perilaku yang mencari-cari
perkara. Perkara itu biasanya menjurus pada kekerasan yaitu menusuk dengan
pisau. Akhir-akhir ini, fenomena klithik sangat sering terjadi di Yogyakarta.
Remaja, dalam hal ini yang paling sering adalah laki-laki, tanpa alasan apa pun
ia langsung menyakiti orang lain. Perilaku menyakiti itu antara lain menyilet
dan menusuk tubuh orang yang kebetulan ditemui secara tidak sengaja, sehingga
menjadi target.
Persoalan yang berhubungan dengan perilaku klithik adalah
korban dan masyarakat tidak mengetahui penyebab dari perilaku menyakiti
tersebut. Hal ini karena pelaku dan korban sama-sama tidak saling mengenal,
bahkan bertemu pun belum pernah. Oleh karena tidak tahu penyebabnya, maka
masyarakat pun juga bingung untuk mencegahnya.
Apa penjelasan perilaku klithik ini dari teori psikoanalisa
yang dikemukakan Sigmund Freud? Freud menjelaskan bahwa dalam setiap manusia
ada dua dorongan instink yang saling berlawanan. Dorongan instink pertama
adalah dorongan untuk hidup (eros), dan kedua adalah dorongan untuk mati
(thanatos). Contoh perilaku yang didominasi oleh dorongan eros antara lain
menolong orang sakit, saling membantu sesama, membuat program yang membuat
orang lain bisa bekerja dengan nyaman, membalas kejahatan dengan kebaikan, dan
sebagainya. Contoh perilaku yang didominasi dorongan thanatos antara lain
menggunakan narkoba secara tidak bertanggung jawab, menekuni olah raga
berbahaya seperti balap mobil, terjun payung, perilaku klitihik, dan mentato
tubuhnya meskipun dengan alasan demi kesenian.
Dalam pengertian sehari-hari, dorongan eros adalah dorongan
untuk membangun. Sementara itu dorongan thanatos adalah dorongan untuk merusak.
Mana yang lebih cepat menuai hasil dan pelakunya menjadi terkenal? Tentu saja
perilaku merusak adalah yang jauh lebih mudah dilakukan dan cepat membuat
pelakunya menjadi terkenal, dibanding dengan perilaku eros. Perilaku merusak
hanya membutuhkan waktu 5 menit, sedangkan perilaku membangung membutuhkan
waktu bertahun-tahun.
Bagaimana cara menerangkan perilaku klithik / thanatos ini
dari segi perkembangan mental remaja? Erik Erikson, seorang tokoh psikoanalisa
pengikut setia Freud, telah memberikan suatu teori perkembangan yang mampu
menjelaskan fenomena klithik. Erikson telah mengaitkan teori perkembangan
mental anak terutama biologis seksual infantil dengan pengaruh timbal balik
interaksi sosial anak dengan dunia sekitarnya. Secara lebih jelas, Erikson
mengemukakan 8 stadium perkembangan yang berurutan. Setiap stadium harus
diselesaikan secara memuaskan untuk kemudian dilanjutkan pada stadium
berikutnya. Jika stadium tertentu tidak berhasil, maka stadium berikutnya juga
akan gagal dilakukan. Bentuk dari kegagalan itu antara lain ketidakmampuan
individu untuk menyesuaikan diri secara fisik, kognitif, sosial, dan emosional
dengan lingkungan sosialnya. Apa saja 8 stadium dari Erikson itu?
Stadium ke-1 adalah untuk anak yang baru lahir sampai dengan
usia 1 tahun. Pada stadium ini, anak belajar tentang rasa percaya dan tidak
percaya yang mendasar sifatnya, terhadap lingkungan sosialnya. Stadium ini
merupakan krisis pertama yang dialami anak. Pada ajaran Freud, stadium ini sama
dengan fase oral, yang diwakili oleh mulut (bagian paling peka pada tubuh
anak). Berdasarkan stadium ini, rasa percaya / tidak percaya anak terbentuk
ketika anak menggunakan mulutnya untuk mendekati puting susu ibunya. Anak akan
membentuk rasa percaya pada lingkungan sosialnya bila kebutuhannya untuk
menyusui pada ibunya terpenuhi. Ibunya tidak menolak, yang berarti ibu
mempercayakan puting susunya pada anaknya. Dampaknya, anak mengenal rasa
percaya pada lingkungan sosialnya. Bila ibu menolak menyusui anaknya, maka
artinya ibu tidak mempercayakan hal yang paling dibutuhkan anaknya. Anak
menjadi belajar rasa tidak percaya. Anak yang tidak terpuaskan pada stadium ini
kelak akan menajd orang dewasa yang tidak mampu mempercayai lingkungan
sosialnya. Ia akan gagal membina hubungan sosial yang didasarkan pada rasa
saling percaya ini.
Stadium ke-2 adalah untuk anak usia 2-3 tahun. Pada stadium
ini, anak belajar tentang otonomi diri dan atau rasa malu / ragu ketika ia
berhubungan dengan lingkungan sosialnya. Pada ajaran Freud, stadium ini disebut
fase anal. Bagian tubuh yang relevan dengan stadium ini adalah anus, sehingga
anak belajar untuk menahan atau melepaskan kotoran yang ada dalam perutnya.
Pada stadium ini, anak belajar tentang perilaku otonomi, atau tidak
menahan-nahan apa yang ingin dilakukannya. Sebagai contoh, anak belajar makan
sendiri, berjalan sendiri, dan berbicara dengan bebas. Bila anak berhasil dalam
fase ini, maka kelak ketika dewasa ia akan menjadi orang yang otonom terhadap
dirinya. Ia menjadi orang yang tidak peragu dan tidak pemalu. Bila anak tidak
berhasil dalam fase ini, misalnya ia diejek dan sering dimarahi orangtuanya,
maka kelak ia akan menjaid orang yang peragu dan tidak percaya diri.
Stadium ke-3 adalah untuk anak usia 3-5 tahun. Pada stadium
ini, anak belajar untuk pembentukan perilaku berinisitatif atau perilaku merasa
bersalah. Pada ajaran Freud, pada fase ini anak akan belajar mencintai orangtua
yang beda jenis kelamin dengna anak. Jadi anak perempuan belajar mencintai
ayahnya, dan anak laki-laki belajar mencintai ibunya. Pada fase ini anak akan
mengembangkan aktivitas motorik dan intelektualnya. Bila anak tidak berhasil
dalam fase ini, misalnya selalu kena marah orangtuanya, maka kelak ia akan
merasa bersalah terhadap inisiatifnya sendiri untuk melatih motorik dan
intelektualnya. Anak akan berkubang dengan rasa bersalah. Pelampiasannya
sebagai orang dewasa adalah individu akan berdiam diri untuk menghindari kesalahan-kesalahan.
Ia cenderung tidak mempunyai inisiatif.
Stadium ke-4 adalah untuk anak usia 6-11 tahun, atau anak
sedang memasuki sekolah. Pada tahap ini anak belajar tentang perilaku rajin dan
atau inferioritas. Pada tahap ini anak belajar dengan teman sebayanya, juga
belajar untuk berperilaku rajin mengerjakan semua tugas-tugas sekolahnya. Bila
pada tahap ini anak gagal, maka ia akan merasa rendah diri dalam mengerjakan
tugas-tugasnya. Ia menjadi orang dewasa yang sering merasa minder terhadap
dirinya dan sering merasa iri terhadap kesuksesan orang lain. Oleh karena itu,
pada tahap ini peran orangtua dan guru sangat penting untuk memperkuat perilaku
rajin anak. Hindarkan anak dari perasaan inferior, yaitu dengan tidak
membentak-bentak anak ketika ia gagal mengerjakan tugas sekolahnya.
Stadium ke-5 adalah untuk anak usia 11 tahun – akhir masa
remaja atau sekitar usia 18 tahun. Pada stadium ini anak belajar untuk mencari
identitas diri dan atau difusi peran (peran yang membingungkan). Pada fase ini
anak belajar mencari identitas dirinya yang mantab, dengan cara mencoba berbagai
hal. Dalam proses pencarian jati diri ini remaja sangat membutuhkan bimbingan
dan panutan dari idolanya. Idolanya bisa saja berupa orangtua, guru, atau orang
dewasa lainnya yang berpengaruh, atau bintang film, bintang olah raga, dan
sebagainya. Idola adalah orang dewasa yang dianggap sukses oleh remaja. Bila remaja
gagal dalam fase ini maka ia akan mengalami kebingungan tentang peran yang akan
dijalaninya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kebingungan dalam berperan
ini membuat individu tidak mempunyai kebanggaan diri dan merasa diri tidak
mampu.
Remaja yang berperilaku klithik itu, besar
kemungkinannyamengalami penumpukan kegagalan dalam stadium-stadium tersebut di
atas. Cara yang paling mudah menurut pemikirannya untuk mengatasi kegagalan
tersebut adalah dengan merusak, agresif, dan menyakiti orang lain. Cara-cara
itulah yang akan membuatnya merasa ia mempunyai peran tertentu dalam
masyarakat, yaitu peran yang menyeramkan. Masyarakat menjadi takut, dan ia
menjadi bangga. Sangat mungkin cara-cara tersebut ia ketahui dari media sosial
yang sekarang ini sudah tidak terbendung / tidak ada sensor sama sekali.
Bagaimana cara mengatasi fenomena klithik ini? Pemberian hukuman
dan pidana ringan adalah langkah yang harus dilakukan oleh masyarakat. Selanjutnya
juga dibutuhkan peran aktif dari terapis dan pemimpin anak-anak muda agar lebih
peduli pada kegalauan remaja ini. Orang-orang dewasa tersebut bisa melakukan
pelatihan outbound, sehingga
potensi-potensi positif mereka tergali.
Hal-hal yang mencerahkan dari artikel ini adalah penulis
membahas fenomena yang aktual dan menggelisahkan di masyarakat Yogyakarta.
Tulisan ini sebagai refleksi atau sentilan bagi para orang dewasa yang lalai
dengan situasi kegalauan remaja-remaja. Orang-orang dewasa tidak waspada bahwa
remaja-remaja itu adalah pemimpin masa depan bangsa. Upaya-upaya ini perlu
dilakukan dengan segera untuk mencegah para remaja itu menemukan thanatos yang
sesungguhnya. Hal lain yang positif dari artikel ini adalah tulisan ini dapat
digunakan para mahasiswa psikologi untuk mencerahkan kembali pengetahuan
psikologi perkembangan yang pernah diterimanya di bangku kuliah. Artikel ini juga
bisa menjadi semacam rujukan bagi esay-esay psikologi perkembangan, psikologi
sosial, patologi rehabilitasi sosial, dan pelajaran ilmu sosial lainnya.
Hal-hal yang kurang dari artikel ini adalah bahasanya kurang
terstruktur dengan baik. Hal ini memaksa saya untuk mencari referensi tambahan
untuk memahami maksud sebenarnya tulisan ini. Selain itu, dari 8 stadium
perkembangan mental remaja, penulis hanya menjelaskan 5 stadium saja. Hal ini
membuat pembaca bertanya-tanya, sehingga pembahasan tulisan ini terasa kurang
lengkap.
Pelajaran yang bisa dipetik dari artikel ini adalah remaja
klithik itu sebenarnya merupakan peluang emas bagi para peneliti psikologi
perkembangan untuk membantu menyelesaikan masalah dalam masyarakat ini. Selain itu
fenomena ini bisa menjadi tema pengabdian masyarakat di daerah KKN (Kuliah
kerja Nyata) para mahasiswa Yogyakarta. Hal ini karena fenomena klithik
ternyata lebih banyak terjadi di daerah pinggiran kota yang sepi.
Sumber tulisan:
Wicaksana, I. (2017). Konsultasi kesehatan jiwa: Fenomena
klithik dan perkembangan mental remaja. Kedaulatan
Rakyat, kolom Husada. 8 Januari,
halaman 10.
0 komentar:
Posting Komentar